Jumat, 10 Juli 2009

Christian World View
oleh: Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.
Pembahasan tentang Christian World View (seterusnya disingkat CWC) biasanya mencakup dua sisi:
1. Mayoritas theolog dan filsuf Kristen memfokuskan pada validitas CWV dibandingkan dengan world view yang lain. Validitas ini didasarkan pada kekuatan argumentasi rasional CWV. Pendekatan ini bernuansa apologetis dan dalam konteks pluralitas keyakinan (atheisme, pantheisme, panentheisme, deisme, empirisme, skeptisisme, dll).[1]
2. Sebagian kecil lebih menyoroti signifikansi dan implikasi CWV dalam berbagai bidang kehidupan orang percaya.
Sesuai dengan permintaan Panitia Retreat, pembahasan dalam tulisan ini lebih diarahkan pada poin kedua. Pembahasan pun tidak mencakup semua aspek world view, tetapi hanya difokuskan pada world view tentang Allah.
Definisi
Secara sederhana world view dapat didefinisikan sebagai “how one views or interprets reality...it is the framework through which or by which one makes sense of the data of life.[2] Definisi ini sebenarnya jauh dari memadai. Beberapa usulan definisi lain yang telah diajukan ternyata juga belum mencakup semua aspek dari world view. Paling tidak dibutuhkan beberapa kalimat atau satu kalimat panjang untuk menyentuh semua esensi world view. Beberapa kata yang dipakai bahkan masih membutuhkan elaborasi lanjut. Demi mencapai pemahaman yang komprehensif dan tidak bias, world view lebih baik diterangkan melampaui kapasitas definisi. Artinya, pembahasan sebaiknya lebih diarahkan pada karakteristik world view:[3]
1. World view memiliki tujuan yang holistik: mencoba melihat setiap area kehidupan dan pemikiran dalam suatu cara yang integratif.
2. World view merupakan pendekatan yang bersifat perspektif: melihat hal-hal dari titik pandang yang sudah diadopsi sebelumnya yang sekarang menyediakan kerangka integratif. World view lebih mendasar daripada presuposisi. Dalam istilah James W. Sire,world view adalah “basic presuppositions.”[4]
3. World view memiliki proses eksplorasi: mengarahkan hubungan antara satu area dengan area yang lain ke suatu perspektif yang terpadu.
4. World view bersifat pluralistik: perspektif dasar dapat diartikulasikan dalam beberapa cara yang berbeda.
5. World view memiliki tindakan sebagai hasilnya: apa yang dipikirkan dan dinilai membimbing apa yang akan dilakukan.
Setiap orang pasti memiliki world view terlepas dari (1) orang tersebut menyadari atau tidak bahwa ia memilikinya; (2) orang tersebut memahami pengertian world view atau tidak; (3) world viewtersebut benar atau tidak; (3) world view tersebut terintegrasi atau tidak. Presuposisi-presuposisi dalam sistem world view biasanya bersifat interdependensi. Pendeknya, tidak ada satu area kehidupan pun yang tidak bersentuhan dengan world view, meskipun implikasi tersebut kadangkala sangat jauh. Contoh: perdebatan tentang aborsi sangat ditentukan oleh perspektif seseorang tentang Allah sebagai pencipta dan nilai manusia.
Keutamaan Posisi Allah dalam CWV
Keutamaan Allah dalam CWV terlihat dengan jelas dari hal-hal berikut:
1. Alkitab dimulai dengan suatu topik yang dianggap menjadi dasar pembahasan semua world view, yaitu Allah dan alam semesta sebagai ciptaan-Nya (Kej 1:1).
2. Alkitab pada dasarnya merupakan pewahyuan tentang eksistensi dan atribut Allah – suatu topik yang mendasari seluruh bangunan world view seseorang.
3 Kata benda yang paling sering muncul dalam Perjanjian Baru adalah kata theos (Allah), yaitu sebanyak 1317 kali.[5] Lebih dari 40% di antaranya muncul dari pena Paulus, seorang yang sangat mempengaruhi world view Kristiani.[6]
4. Hampir semua buku doktrin, terutama tulisan theolog Reformed, selalu diawali dengan pembahasan tentang Allah atau Alkitab sebagai wahyu Allah.[7] Konsep tentang Allah dianggap menjadi dasar bagi doktrin-doktrin yang lain.
5. Kultur dan perkembangan sains, terutama di dunia Barat, sangat dipengaruhi oleh konsep tentang Allah dan alam semesta di Kejadian 1:26-28 (kontras pantheisme agama kuno dan dualisme Yunani).
Implikasi CWV yang Theosentris
Membicarakan CWV tentang Allah merupakan sesuatu yang kompleks.
(1) Dari sisi kemungkinan pengenalan Allah, CWV tentang Allah merupakan kontras dengan agnostisisme, skeptisisme, relativisme, empirisisme, eksistensialisme, dll.
(2) Dari sisi kemungkinan eksistensi Allah, CWV berbeda dengan atheisme.
(3) Dari sisi personalitas “Allah”, CWV berbeda dengan pantheisme, dan panenteisme.
(4) Dari sisi relasi dengan ciptaan, CWV berbeda dengan deisme dan dualisme Yunani.
(5) Dari sisi pewahyuan yang lebih progresif, CWV berbeda dengan ajaran Yudaisme maupun Islam.
Sisi terakhir inilah yang paling relevan dengan topik retreat kali ini. Namun, perbedaan yang ada juga cukup melimpah dan kompleks. Untuk menghemat ruang dan waktu, CWV tentang Allah hanya akan dibatasi pada Pengakuan Iman Rasuli “Aku percaya kepada Allah yang mahakuasa, khalik langit dan bumi”. Secara verbal beberapa bagian dari pengakuan tersebut memang sama dengan konsep Yudaisme dan Islam, tetapi penjelasan di baliknya memberikan kekhususan CWV.[8]
1. Aku.
Kredo memang dimaksudkan untuk diproklamasikan bersama-sama dengan gereja seluruh dunia (atau minimal gereja-gereja pada waktu itu yang menghadapi ajaran sesat), namun kredo tersebut tetap harus menjadi pengakuan pribadi (“aku”, bukan “kami”).
2. Aku percaya kepada Allah.
Percaya dapat memiliki beragam konotasi. Mempercayai sesuatu yang tidak berpribadi hanya melibatkan segi kognitif, misalnya percaya bumi adalah bualt atau Indonesia akan bertambah maju. Makna ini akan berubah jika dikaitkan dengan objek yang berpribadi, misalnya aku percaya pacarku. Percaya terakhir ini selain melibatkan kognisi (berdasarkan pengalaman pacar tersebut selalu berkata jujur atau kompeten) juga melibatkan relasi. Makna ini akan bertambah dalam jika objek kepercayaan adalah Allah yang berpribadi, karena relasi yang ada sifatnya tidak setara. Kepercayaan kepada Allah berarti memposisikan diri pada relasi sebagai umat yang sangat bergantung dan berfokus pada Allah.
3. Aku percaya kepada Allah Bapa.
Predikat “Bapa” di sini harus dimengerti dalam konteks Tritunggal. Tritunggal adalah setara, tetapi dalam relasi ke-Tritunggalan Pribadi ke-1 disebut “Bapa” dalam hubungan dengan Pribadi ke-2. Poin ini menjadi ciri khas Kekristenan dan sangat fundamental: semua Alkitab merupakan wahyu tentang Allah à Yesus adalah puncak wahyu Allah (Yoh. 1:18; Ibr. 1:1-3) à iman kepada Yesus hanya dimungkinkan melalui pekerjaan Roh Kudus (Yoh. 16:8; 1Kor. 2:10-16).
4. Aku percaya kepada Allah Bapa yang Mahakuasa.
“Mahakuasa” tidak berarti bisa melakukan apa saja. Allah tidak bisa melakukan sesuatu yang kontradiktif dan tidak masuk akal (karena pasti salah). Ia juga tidak bisa melakukan hal-hal yang bertentangan dengan naturnya, misalnya berdusta (Bil 23:19; 1Sam 15:29). “Mahakuasa” berarti Ia bisa melakukan apa pun yang Ia ingin lakukan (Mzm 135:6). “Apa pun” di sini mencakup segala hal (spiritual, historis, sains, dll), tetapi dibatasi oleh frase “yang Ia inginkan” (yang diinginkan Allah pasti benar).
5. Aku percaya kepada Allah Bapa yang mahakuasa, khalik langit dan bumi.
Frase “khalik langit dan bumi” mengingatkan manusia pada tiga hal penting: (1) alam semesta diciptakan untuk kepentingan (kemuliaan) Allah; (2) alam semesta adalah milik Allah, sehingga manusia harus memelihara dan memakainya untuk kemuliaan Allah; (3) manusia juga merupakan salah satu milik Allah. Sebagai ciptaan manusia tunduk secara total kepada Allah sebagai Pencipta (Rm. 9:14-21).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar