Kamis, 29 April 2010

EKSPOSISI 1 KORINTUS 5:6-8

oleh: Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.

Nats: 1 Korintus 5:6-8

Di bagian sebelumnya Paulus sudah mengambil sikap tegas terhadap orang yang melakukan percabulan terus-menerus (5:1), yaitu menyerahkan dia ke dalam tangan iblis (5:4-5). Tindakan ini terpaksa diambil Paulus karena jemaat Korintus tidak mau menjauhkan orang itu dari tengah-tengah mereka (5:2b), bahkan mereka membanggakan hal itu (5:2a). Nah, di 5:6-8 Paulus memberikan alasan atau dasar mengapa ia melakukan disiplin gereja yang keras seperti ini.

Alasan yang dia berikan dikemukakan dalam bentuk metafora yang cukup dikenal oleh jemaat Korintus. Satu dari metafora umum (5:6), sedangkan yang lainnya berasal dari konteks hari raya orang Yahudi (5:7-8). Melalui dua metafora ini Paulus ingin menyatakan bahwa seorang pezinah dapat membawa pengaruh buruk bagi seluruh tubuh Kristus (5:6). Di samping itu, orang Kristen memang ibarat roti yang tidak beragi, sehingga harus menghilangkan semua ragi yang ada dalam diri mereka (5:7-8).

Ragi yang Sedikit Dapat Mengkhamirkan Seluruh Adonan (ay. 6)

Dalam teks Yunani, ayat ini dimulai dengan kata “tidak baik”, seakan-akan Paulus ingin menekankan keburukan dari sikap menyombongkan dosa di ayat 2a (“tidak baik kesombonganmu itu!”). Jika kita mengamati seluruh argumen Paulus di 5:1-13, maka kita akan melihat bahwa yang ditekankan Paulus memang bukan dosa percabulan yang dilakukan, tetapi sikap jemaat Korintus yang salah terhadap dosa itu. Paulus tidak hanya mengatakan bahwa kesombongan itu salah (5:2), tetapi juga tidak baik (5:6). Kata “baik” di sini sebaiknya tidak dipahami dalam konteks moral (salah atau benar), tetapi nilai atau manfaat dari tindakan tersebut. Hal ini didukung oleh pemakaian kata “baik” di 7:1 (“adalah baik bagi laki-laki kalau ia tidak kawin”), 7:8 (“orang-orang yang tidak kawin dan kepada janda-janda...baiklah mereka tinggal dalam keadaan seperti aku”), 7:26 (“adalah baik bagi manusia untuk tetap dalam keadaannya”).

Mengapa kesombongan jemaat Korintus tidak baik? Karena kesombongan itu dapat membawa pengaruh yang buruk bagi seluruh jemaat. Hal ini diungkapkan Paulus melalui sebuah ungkapan “sedikit ragi dapat mengkhamirkan seluruh adonan”. Alkitab versi Bahasa Indonesia Sehari-hari memberi keterangan bahwa ungkapan ini adalah sebuah peribahasa. Sekalipun kata “peribahasa” tidak muncul dalam teks Yunani, tetapi apa yang dikatakan Paulus memang sebuah peribahasa.

Peribahasa di 5:6 tampaknya sangat terkenal. Pertanyaan retoris “tidak tahukah kamu...?” di ayat ini menyiratkan bahwa jemaat pasti mengetahuinya. Beberapa sumber kuno juga memberi bukti bahwa peribahasa ini dapat ditemukan dalam tulisan Yunani-Romawi maupun Yahudi. Dalam Alkitab peribahasa ini sempat disinggung beberapa kali. Yesus menasehatkan murid-murid untuk mewaspadai ragi orang Farisi (Mat. 16:6//Mrk. 8:15). Paulus pun menggunakan peribahasa ini di suratnya yang lain (Gal. 5:9). Philo – seorang penafsir Yahudi terkenal pada abad ke-1 - memakai gambaran ragi untuk kesombongan, karena ragi dapat membuat roti menjadi mengembang. Nabi Hosea pernah memakai gambaran yang sama untuk dosa perzinahan.

Ragi yang dimaksud Paulus bukanlah ragi yang baru yang biasanya dipakai untuk membuat roti (bahasa Inggris “yeast”, kontra NIV). Kata Yunani zume merujuk pada sisa adonan yang dicampur untuk membuat adonan yang baru (bahasa Inggris “leaven”, bdk. ASV/KJV/RSV/NASB). Sering kali adonan seperti ini dicampur dengan jus tertentu, sehingga menimbulkan rasa sedikit asam. Dari sisi kebersihan, campuran sisa adonan yang lama dapat membawa pengaruh buruk bagi kesehatan.

Melalui peribahasa di atas Paulus mengajarkan bahwa sedikit ragi (satu orang yang berbuat dosa) dapat mengkhamirkan seluruh adonan (seluruh jemaat). Bagaimana tindakan satu orang dapat membawa pengaruh buruk bagi seluruh jemaat? Paulus sangat mungkin memikirkan dua hal: (1) tindakan tersebut menyebabkan gereja kehilangan kesaksiannya, apalagi kalau hal itu sudah diketahui oleh banyak orang (5:1); (2) tindakan ini dapat menyebabkan orang lain tergoda untuk menirunya (15:33).

Semua Ragi Harus Dibersihkan Supaya Ada Adonan Baru yang Tanpa Ragi (ay. 7-8)

Dari peribahasa umum di ayat 6, Paulus sekarang berpindah ke metafora dari hari raya orang Yahudi yang masih berkaitan dengan persoalan ragi, yaitu Hari Raya Roti Tidak Beragi dan Paskah. Dua hari raya ini memang saling berkaitan. Pada saat bangsa Israel keluar dari Mesir mereka harus menyembelih domba untuk dioleskan di pintu rumah mereka sehingga dilewati (passover atau Paskah) oleh malaikat kematian dan mereka harus cepat-cepat meninggalkan tanah Mesir sambil memakan roti tidak beragi (Kel. 12). Dalam Markus 14:12 waktu penyembelihan domba Paskah disebut sebagai hari pertama Perayaan Roti Tidak Beragi.
Sebelum Hari Raya Roti Tidak Beragi dimulai, semua orang Israel harus membersihkan seluruh rumah mereka dari segala macam sisa ragi (Kel. 12:15, 18-19; 13:7; Ul. 16:4). Jika ada yang melanggar perintah ini, maka orang itu akan dilenyapkan dari tengah bangsanya. Sebuah tradisi bahkan menyebutkan tindakan ekstrim orang Yahudi yang sampai membersihkan lubang atau rumah tikus untuk memastikan tidak ada ragi dalam rumahnya. Walaupun kebenaran dari tradisi ini dapat dipertanyakan, namun penghormatan orang Yahudi terhadap hari raya ini tidak dapat disangsikan lagi. Hal inilah yang dipakai Paulus untuk menyampaikan pendapatnya di 5:7a.

Walaupun di ayat 7a Paulus mengatakan “buanglah ragi yang lama itu, supaya kamu menjadi adonan yang baru”, tetapi di ayat 7b dia dengan segera menambahkan “karena kamu memang tidak beragi”. Tambahan ini sangat penting. Orang percaya harus membuang ragi yang lama bukan supaya menjadi adonan baru, tetapi mereka harus membuang ragi yang lama karena mereka memang adalah tidak beragi. Jika ini tidak dipahami maka akan muncul kesan bahwa hidup kita yang tanpa ragi adalah karena usaha kita menyingkirkan ragi yang lama. Ini jelas salah! Di akhir ayat 7 Paulus mengatakan bahwa darah Kristuslah yang menjadi dasarnya.

Melalui karya penebusan Kristus orang percaya dikuduskan (6:11), sehingga status mereka berpindah dari orang berdosa menjadi orang kudus (1:2), bahkan menjadi bait Allah yang kudus (3:16-17). Karena kita sudah dikuduskan oleh darah Kristus, maka tidak boleh ada ragi sedikit pun dalam hidup kita.

Dengan menyebut Kristus sebagai anak domba Paskah, Paulus mengajarkan bahwa Paskah Kristiani berakar dari tradisi Paskah Yahudi pada waktu mereka dilepaskan dari kematian karena darah domba yang dioleskan di pintu rumah mereka. Kalau di peristiwa keluarnya bangsa Israel dari Mesir Paskah lebih dipahami dalam konteks keselamatan, maka pada zaman selanjutnya Paskah juga dimengerti dalam konteks penyucian dosa (Yeh. 45:18-22).

Pada zaman PB Yesus disebut sebagai anak domba Allah (Yoh. 1:29, 36). Kematian-Nya pada saat Paskah mempertegas bukti bahwa penebusan-Nya berfungsi sama dengan (atau bahkan melebihi) darah domba Paskah. Yesus sendiri pada waktu merayakan Paskah mengatakan bahwa darah-Nya adalah darah perjanjian yang baru (Mrk. 14:24).

Dengan menghubungkan pembuangan ragi dengan darah Kristus, Paulus telah mengajarkan sesuat yang penting: theologi harus menjadi dasar bagi etika. Agama lain menekankan bahwa etika (kebaikan atau kesalehan) adalah lebih penting atau dasar dari theologi (keselamatan).

Dalam Kekristenan urutannya dibalik. Kita berbuat baik (etika) karena sudah diselamatkan (theologi). Sama seperti jemaat Korintus harus membuang ragi yang lama karena mereka memang roti yang tidak beragi.

Di 5:8 Paulus memberi nasehat agar jemaat berpesta dengan ragi yang baru. Kata “berpesta” di ayat ini berbentuk present tense, sehingga menunjukkan tindakan yang terus-menerus. Karya Kristus memang harus terus menjadi fokus dalam hidup kita. Kita bukan hanya mengingatnya, tetapi juga merayakannya. Ide tentang pesta mengindikasikan adanya sukacita. Sukacita kita bukanlah ketika melihat orang lain melakukan suatu dosa (bdk. 5:2). Sukacita kita bersumber dari karya Kristus. Dengan selalu merayakan karya Kristus kita akan dikuatkan untuk menjauhi dan tidak berkompromi dengan dosa. Sayangnya, tidak semua orang percaya merasa sukacita dengan status mereka yang kudus di dalam Kristus. Mereka mengangga ini sebagai sebuah beban, padahal Yesus sendiri mengatakan bahwa kuk yang Dia pasangkan di pundak kita adalah enak dan ringan (Mat. 11:29-30). Dia bahkan menawarkan kelegaan bagi mereka yang letih dengan beban yang ditaruh orang Farisi melalui ajaran agama mereka (Mat. 11:28). Orang percaya sering kali merasa tidak nyaman dengan status mereka karena kedagingan mereka merasa tidak diuntungkan. Mereka harus mengalah (bukan mengalahkan), melayani (bukan dilayani), dsb. Pesta yang dimaksudkan oleh Paulus di ayat 8a harus menjadi pesta yang tanpa ragi (ay. 8b).

Sama seperti pada Hari Raya Roti Tidak Beragi semua ragi harus disingkirkan, demikian pula kita harus membuang semua ragi yang lama, yaitu kejahatan (kakia) dan keburukan (poneria). Dua kata ini sebenarnya sinonim, namun dipakai bersama-sama untuk memberi penekanan bahwa semua dosa (bukan hanya perzinahan) harus dibuang dari hidup kita. Kita tidak boleh menyimpan dosa tertentu yang masih kita sukai.

Di akhir ayat 8 Paulus menambahkan bahwa pesta ini harus menggunakan roti yang tidak beragi, yaitu kemurnian (eilikrineia) dan kebenaran (aletheia). Kata eilikrineia hanya muncul dalam surat Paulus kepada jemaat di Korintus. Kata ini selalu memiliki arti “kemurnian hati” dalam arti motivasi yang benar (semua versi Inggris memakai kata “sincerity”). Kata aletheia sering muncul dalam tulisan Paulus dan merujuk pada kebenaran Injil atau sikap hidup yang sesuai dengan kebenaran Injil (2Kor. 4:2; 6:7; 13:8). Dengan menggabungkan eilikrineia dan aletheia Paulus tampaknya ingin menegaskan bahwa hidup kita harus benar-benar bersih dari semua ragi, baik motivasi kita maupun tindakan kita.

Dalam sebuah persekutuan orang percaya (jemaat atau gereja) prinsip ini juga tetap perlu dipegang. Sebagai tubuh Kristus kita tidak boleh berkompromi dengan dosa apa pun yang ada dalam gereja. Kita harus berdukacita karena dosa tersebut. Kita perlu membiasakan diri saling menegur di dalam kasih. Jika semua ini tetap tidak membuat seseorang bertobat, maka gereja harus mengambil sikap tegas dengan cara menjauhkan orang itu dari tengah-tengah jemaat.
KEKRISTENAN DAN ILMU-ILMU ALAM

oleh: Ev. R. B. G. Steve Hendra, S.T., M.Div.

Banyak orang berkata dewasa ini, bahwa ada suatu jurang raksasa antara Agama dan Ilmu Pengetahuan, yang tidak mungkin dijembatani oleh siapa pun. Jurang ini menurut mereka sangat besar, khususnya jika kita berbicara tentang ilmu-ilmu alam. Dibandingkan Agama semua yang ada dalam ilmu-ilmu alam nampak begitu jelas dan tertentu. Maka jika semua sudah begitu pasti, apa perbedaan yang dapat kita buat dengan Kekristenan? Apakah kita Kristen, Islam, Buddha atau bahkan Ateis, hal itu tidak ada pengaruhnya dalam ilmu-ilmu alam. Air di tempat yang rata akan cenderung mengalir ke tempat yang lebih rendah, tidak tergantung apakah kita seorang Kristen atau bukan. Tetapi apakah benar, bahwa Agama tidak ada perannya dalam ilmu-ilmu alam? (Pada tulisan ini saya membatasi diri hanya pada Kekristenan, khususnya pada Theologi Reformed, yang saya dalami. Alasannya adalah ada banyak agama dan theologi yang saya tidak di dalamnya).

Di sini kita harus pertama-tama menjelaskan arti dari beberapa ungkapan, sebelum saya dapat menunjukkan posisi saya dan menjawab pertanyaan tersebut. Setelah saya memberikan jawaban saya, saya akan menyatakan ide integrasi saya antara Kekristenan dan ilmu-ilmu alam.

Sebelum saya mulai, ijinkan saya mengajukan pertanyaan yang bagi saya mengganggu. Pertanyaanya adalah sebagai berikut: Jika memang benar bahwa agama tidak mempunyai peran dalam ilmu-ilmu alam, mengapa banyak ilmuwan yang atheist mengambil posisi religius sebagai Atheist? Dan mengapa mereka harus memperjuangkan posisi religiusnya dalam ilmu-ilmu alam? Jika tidak ada relasi antara keduanya, mengapa mereka melakukannya? Di sini saya cuma mencoba menunjukkan bahwa anggapan tersebut adalah suatu kesalahan. Ada suatu relasi yang penting diantara keduanya. Tapi relasi seperti apa? Kita akan membicarakannya dan saya menyumbangkan ide saya untuk menyelesaikan masalah ini.

I. Penjelasan dari Ungkapan-ungkapan Ilmu Pengetahuan.

Ilmu pengetahuan kita mengerti sebagai suatu Disiplin, yang mengandung banyak data dan memahaminya dalam suatu relasi tertentu, untuk menjelaskan realitas. Untuk tujuan ini orang menggunakan di dalamnya banyak anggapan, teori, paradigma, dll. Ilmu pengetahuan berkembang melalui suatu prosedur tertentu, yang disebut metode ilmiah. Ilmu pengetahuan membatasi diri pada bidangnya. Karena pengertian-pengertian ini orang dapat mengatakan bahwa suatu teori dalam suatu ilmu pengetahuan lebih baik, (1) jika dia dapat menjelaskan banyak kejadian, (2) jika dia dapat meramalkan banyak kejadian yang akan terjadi di masa datang, dan (3) jika dia dapat dikembangkan.


Teori. Teori adalah suatu formulasi penjelasan terhadap suatu kenyataan tertentu yang dibangun secara sengaja dalam ilmu pengetahuan. Suatu teori mengaju pada suatu tahap penjelasan tertentu, yang kebenarannya sudah diuji melalui cara tertentu, yaitu Metode Ilmiah. Jika Axioma karena mengacu pada suatu kenyataan sederhana yang bersifat teruji dengan sendirinya, sebaliknya untuk menjelaskan kenyataan yang rumit orang harus memformulasikan teori dan mengujinya. Untuk membangun teori, orang tidak dapat berurusan dengan data-data saja, melainkan logika, worldview dan semangat zaman memainkan peranan penting di dalamnya. Suatu teori lebih pasti daripada hipotesa tetapi kurang pasti jika dibandingkan hukum atau axioma.

Paradigma. Suatu teori, yang dibangun dan diterima, tergantung juga pada paradigma-pradigma yang berlaku dalam ilmu pengetahuan tersebut. Paradigma pada dasarnya juga adalah teori, yang kebenarannya sudah diterima secara luas.

Alam. Alam dimengerti para ilmuwan sebagai suatu kombinasi dari hukum-hukum, yang sudah pasti dan berlaku untuk menata semua kenyataan dalam alam semesta. Tetapi jika mereka mendapati sesuatu yang tidak taat kepada hukum tadi, mereka menyebutnya “kenyataan.” Di sini jelas bagi kita, bahwa kenyataan dan alam di kalangan ilmuwan berbeda, dan arti dari kata “kenyataan” lebih luas daripada arti dari kata “alam.” Hal ini perlu diperhatikan di sini.

Agama. Agama bagi saya adalah kata yang mempunyai beberapa arti. “Agama” dapat mengacu pada Institusi yang memiliki kitab suci, nabi, pengikut yang percaya, dll. Pengertian lain dari kata tersebut adalah suatu iman yang dipegang kuat dan menurutnya seseorang mengarahkan hidupnya. Atheisme termasuk juga dalam pengertian yang kedua. Jika saya mengatakan bahwa saya adalah seorang Kristen, maka kalimat saya mengacu pada pengertian kedua dari kata “agama.” (Saya juga mengerti disini, bahwa jika saya seorang Kristen, maka saya termasuk dalam bagian dari Kekristenan sebagai suatu Institusi.) Iman kepercayaan tersebut bagi theologi Reformed berasal dari sense of divinity, yang dimiliki semua manusia sebagai ciptaan yang dicipta menurut gambar Allah. Tidak ada orang yang dapat hidup tanpa kepercayaan seperti itu.

II. Jawaban dari Pertanyaan

Pertanyaannya di sini berbunyi, Apakah ada suatu relasi antara agama dan ilmu alam. Untuk menjawab pertanyaan ini saya akan membatasi diri pada pengertian kedua dari kata “Agama.” (Saya akan membicarakan tentang pengertian yang pertama pada edisi yang lain).

Jika seandainya dalam ilmu-ilmu alam hanya mengenai axioma-axioma, mungkin akan tidak ada perbedaan apakah kita Kristen atau bukan. Air di tempat yang rata akan cenderung mengalir ke tempat yang lebih rendah, apakah kita Kristen atau bukan. Tetapi dalam kenyataannya ilmu pengetahuan tidak hanya berkenaan dengan axioma, tetapi juga teori-teori, paradigma-paradigma, dll, untuk menjelaskan realitas. Saya sudah mengatakan di atas, bahwa pembangunannya tidak netral, melainkan berpihak pada berbagai aspek, yang terdiri dari iman kepercayaan, worldview, tujuan, dll. Di sini para ilmuwan tidak hidup dalam Getto, melainkan dalam suatu masyarakat, yang di dalamnya mereka saling bertukar hal-hal tersebut dengan anggota masyarakat yang lain.

Sebenarnya sudah jelas, bahwa ilmu-ilmu alam hanya dapat memberikan penjelasan dari kenyataan-kenyataan menurut bidangnya masing-masing. Maka penjelasan mereka tidak pernah sama kuatnya dengan kenyataan-kenyataan tersebut, maka orang membutuhkan penerapan dari semua ilmu supaya berfungsi dengan baik dalam kehidupan kita. Selanjutnya kita juga harus menyadari bahwa ilmu pengetahuan tidak dapat menjawab pertanyaan tentang arti dari hidup, moralitas, atau semua pertanyaan metafisik, misalnya mengapa ada suatu aturan demikian dalam alam semesta?, dll. Pertanyaan-pertanyaan ini terkait erat dengan kemanusiaan (sebagai ciptaan menurut gambar Allah, yang dilengkapi dengan karakter “makna” – menurut theologi Reformed) dan religiusitas kita. Jika sejarah ilmu pengetahuan alam diamati dengan seksama, sebenarnya orang dapat melihatnya. Untuk itu saya akan memberikan beberapa contoh di sini:

1. Pada zaman dahulu manusia mengembangkan ilmu-ilmu alam menurut kebutuhan masyarakat. Baik untuk penggunaan praktis maupun religius orang melakukan penelitian, penemuan dalam ilmu pengetahuan. Mereka melakukannya dengan asumsi yang berlaku saat itu, yang oleh kebanyakan dari kita dipandang sebagai Mitos, misalnya, walaupun mereka sudah mengetahui bahwa bumi berbentuk bola orang Yunani tetap berpikir, bahwa ada seorang raksasa yang menopangnya dan dewa-dewa lainnya, sehingga manusia harus bertingkah menurut cara tertentu. Apa yang dapat kita saksikan di sini adalah kenyataan, (1) bahwa ilmu-ilmu alam sejak dari mula tidak dikembangkan dalam Getto, (2) bahwa manusia tidak hanya puas dengan hasil-hasil keilmuan, yang dapat menjelaskan kenyataan-kenyataan secara satuan, melainkan mereka berusaha juga untuk menjelaskan seluruh realitas, walaupun untuk itu mereka harus berspekulasi dengan penjelasan-penjelasan metafisis. (Banyak ilmuwan atheis pun setuju akan hal ini, walaupun mereka juga mengatakan bahwa penjelasan-penjelasan metafisis tersebut harus ditukar dengan penjelasan-penjelasan keilmuan.), (3) bahwa orang menentukan bidang-bidang lain dalam kehidupan manusia, misalnya Etika, Estetika dll., melalui suatu worldview yang merupakan pemahaman terhadap realitas yang utuh.

2. Dalam dunia modern, dimana dapat dikatakan, bahwa banyak mitos yang sudah ditukar dengan penjelasan-penjelasan keilmuan, toh muncul melaluinya banyak mitos baru, misalnya: Keutamaan rasio, alam yang bersifat mekanis, atheisme, dll. Kita dapat melihat bahwa tiga kenyataan tersebut sebenarnya tidak berubah. Tanpa konsep metafisik orang tidak dapat memahami seluruh kenyataan dalam realitas. Untuk hidup manusia membutuhkan bukan hanya memahami alam, melainkan juga kenyataan, supaya mengetahui apa yang harus dilakukannya dalam hidupnya. Mitos-mitos modern yang baru tersebut memainkan peranan yang besar dalam worldview modern, dan menyebabkan munculnya etika modern, perang modern, eksistensialisme hingga postmodernisme. Saya telah memberikan 2 contoh dari sisi masyarakat, sekarang saya ingin juga memberikan suatu contoh dari seorang ilmuwan.

3. Einstein adalah seorang Ilmuwan modern, yang teorinya menyebabkan lahirnya teori baru yang berkontradiksi dengan worldviewnya yang modern. Dengan pernyataannya “Allah tidak bermain dadu” (1926) dia mempertahankan asumsi-asumsinya terhadap kemunculan teori Kuantum, bahwa alam semesta bersifat panteis dan determinis dan bahwa teori bukan hanya suatu penafsiran dan model dari realitas, melainkan suautu penjelasan yang sejati yang sekuat dan sama dengan hukum-hukum yang berlaku di dalam alam. Asumsi-asumsinya ini dapat ditelusuri dari worldview modern yang berasal dari pembacaan modern1 dari buku “Discours de la Methode” dari Rene Descartes. Untuk memahami konsep Einstein tentang alam secara lebih baik kita juga harus memahami buku “Ethik in geometrischer Ordnung dargestellt” dari Spinoza, karena Einstein mengembangkan konsepnya tentang Alam menurut jalur Spinoza. Pengakuannya pada tahun 1934 kepada Spinoza: “Keyakinan yang terkait dengan perasaan yang mendalam akan suatu nalar yang dipertimbangkan, yang menyatakan diri dalam dunia yang dapat dialami, membentuk pengertian saya tentang Allah; orang dapat mengatakannya juga dalam pengungkapan yang umum sebagai pantheis (Spinoza).”2 Walaupun Einstein seorang Yahudi, Allah yang tidak bermain dadu bukan Allah Abraham, Ishak dan Yakub, melainkan suatu kesimpulan dari pemikiran filsafat, yang seharusnya menjamin kedapat dipahamian alam, menurut Einstein terutama determinisme kausal. Di sini kita dapat melihat sesuatu, bahwa bagi Einstein pun ilmu pengetahuan alam, terutama fisika, bukan hanya berkenaan dengan axioma-axioma, melainkan juga suatu iman kepercayaan, asumsi-asumsi, dll. Iman kepercayaan dan asumsi-asumsi lain tersebut mengarahkan pemahaman seorang ilmuwan tentang kenyataan dalam realitas. Di sini Einstein mengkuatirkan, bahwa tanpa Allah yang demikian tidak ada jaminan apakah esok matahari masih akan terbit. Tanpa jaminan demikian maka apa yang menjadi jaminan ilmu pengetahuan akan ketepatan teori-teorinya?

Dari contoh-contoh yang diberikan kita dapat memahami mengapa para ilmuwan memperjuangkan posisi religius mereka itu. Apa yang sebenarnya terjadi adalah kenyataan bahwa tanpa asumsi-asumsi religius seperti itu pemahaman akan realitas tidak mungkin. Orang tidak dapat mengkaitkan data-data dan axioma-axioma tanpanya, untuk menghasilkan suatu pemahaman. Pemahaman bukan hanya masalah data dan axioma, melainkan relasi antaranya. Melaluinya manusia mengerti bukan hanya apa makna kehidupan, apa yang harus dilakukan dalam kehidupan, melainkan juga apa yang harus dilakukan dengan ilmu pengetahuan, bagaimana mengembangkannnya lebih lanjut, bagaimana dan di mana manusia menempatkannya dalam kehidupan, dll.

Jika ada suatu relasi yang erat antara ilmu pengetahuan, khususnya ilmu pengetahuan alam dan iman, seperti apa relasi tersebut seharusnya? Tidak dapatkan seseorang sekadar mengambil suatu jenis dari relasi-relasi yang ada? Jika saya mengambil suatu relasi, apakah ada akibat teoritis ataupun praktis dalam kehidupan saya? Jika tidak, maka kita dapat sekadar mengambil suatu jenis relasi, yang kita sukai, Tetapi jika ya, maka kita seharusnya dengan hati-hati memilih di antara yang ada, satu untuk diambil.

Relasi tersebut tergantung pada jenis iman yang dimiliki si ilmuwan. Relasi tersebut berbeda-beda menurut worldview yang digunakan ilmuwan untuk memandang segalanya, misalnya, seorang ilmuwan ilmu alam yang atheis, yang percaya bahwa tidak ada Tuhan, akan berpikir bahwa tidak ada relasi ontologis antara ilmu alam yang dia pelajari dan makna hidupnya.
Relasi baginya bersifat praktis, bahwa dia menyukainya dan bekerja dan berkarier. Jika seandainya ada suatu relasi teoritis, alasannya adalah semua manusia melakukannya. Dia akan beranggapan bahwa suatu hukum universal yang berlaku dalam alam dan tugas dari ilmu alam adalah menemukannya. Tetapi darimana hukum itu berasal, mengapa hukum itu demikian, dll., tidak perlu dipertanyakan, Masalah utama yang ada ini menyebabkan dia menjual sifat kesejarahan dari ilmu-ilmu alam. Ilmu-ilmu alam tidak dikembangkan dalam Getto, melainkan dalam suatu konteks sosial. Bagaimana penggunaannya? Apa yang boleh dan seharusnya diteliti?, dll. Pertanyaaan-pertanyaan ini tetap akan menjadi pertanyaan-pertanyaan praktis yang tidak mempunyai kekuatan ontologis. Orang harus mentaatinya karena hukum, karena pelanggar akan dihukum. (2) Keutuhan realitas akan tetap tidak terpahami. Walaupun akan selalu ada penemuan ilmu pengetahuan yang baru, toh pertanyaan-pertanyaan berikut tetap tidak terjawab, Apakah sebenarnya manusia itu? Apa makna dari hidup seorang manusia? dll., Apa yang dapat dikerjakan adalah mengabaikan pertanyaan-pertanyaan tersebut dan mengatakan, bahwa tidak ada pertanyaan seperti itu. (3) Tetapi tanpa pertanyaan seperti itu tidak mudah untuk menyatukan kebenaran-kebenaran estetik, moral, etika, dll., (Mengenai kelemahannya saya tidak membicarakannya di sini.) Tetapi tentu saja dia dapat mengatakan, jika saya harus memikirakn semuanya, maka apa yang harus dikerjakan oleh para Filsuf, Sosiolog, ahli etika dan yang lainnya?

II. Suatu Ide Mengenai Integrasi Filosofis Antara Iman Kristen dan Ilmu-ilmu Alam

Setelah saya memberikan suatu contoh mengenai suatu relasi antara iman percaya dan ilmu-ilmu alam dari worldview atheis, saya akan membicarakan sekarang ide saya sendiri. Seperti yang telah saya katakan dari awal bahwa saya mewakili pandangan Kristen Reformed dan, sejujurnya, bangunan ide saya tentu saja bergantung pada isi iman dan worldview saya. Tetapi hal itu tidak berarti, bahwa saya tidak dapat memberikan pertanggungjawaban secara keilmuan. Mengingat tujuan dari karangan ini saya tidak akan memberikan terlalu banyak penjelasan yang spesifik dan keilmuan.

Alkitab mulai dengan suatu kalimat yang berbunyi, “Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi” dan selalu memaparkan bahwa Allah menjalankan providensi-Nya dalam sejarah manusia dan akan mengakhiri sejarah.

Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi. Melalui kalimat ini kita dapat memahami, bahwa ada dasar ontologis bagi ilmu-ilmu alam di sini. Karena ciptaan tidak berasal dari probabilitas, melainkan dari rencana Allah, maka tugas dari ilmu alam dapat dipastikan di sini, yaitu menyingkapkan hukum-hukum Allah yang berlaku dalam Alam. Di sini jelas bahwa tugas dan etika dari ilmu-ilmu alam adalah menyingkapkan dan bukan menetapkan hukum-hukum yang berlaku dalam alam.

Karena alam (menurut makna di kalangan ilmuwan) juga direncanakan oleh Tuhan dan sama dengan alam (menurut makna yang normal), maka tidak dibutuhkan pembedaan antara “alam” dan “kenyataan,” seperti yang di mengerti dalam konteks ilmu-ilmu alam.3 (Pada konteks yang lain, tentu saja saya mengerti bahwa, “kenyataan” tidak hanya berarti terbatas pada fenomena-fenomena alam saja.) Apa yang harus diubah di sini adalah asumsi yang ada dibelakang kata tersebut, bahwa alam harus berjalan sesuai dengan hukum yang ditemukan oleh para ilmuwan ilmu alam. Tugas yang jelas ini seharusnya menyebabkan, misalnya, bahwa ilmu alam tidak dapat menolak mukjizat dan ilmuwan tidak perlu mengatakan bahwa “Allah tidak bermain dadu” atau “Allah bermain dadu.” Apa yang saya maksudkan di sini seharusnya di kalangan ilmuwan ada suatu keterbukaan terhadap suatu kenyataan yang baru dan menerimanya sebagai bagian dari alam.

Karena alam dicipta oleh Allah dan Allah, sang Pencipta, adalah Allah yang berpribadi dan tritunggal, maka alam, yang diciptakan, pasti merefleksikan ciri-ciri sang Penciptanya. Maka pertama-tama alam bukan hanya telah-ada (atau ada-begitu-saja), melainkan ada-untuk,4 tepatnya, alam bukan hanya semata-mata ada, melainkan alam memiliki suatu makna, suatu fungsi, suatu konteks dan suatu tujuan sebagai sifatnya menurut rencana sang Penciptanya. Adalah kesalahan jika seseorang mengerjakan ilmu-ilmu alam seolah-olah mereka ada di dalam Getto. Kedua alam bukan hanya memiliki sifat one-and-many karena sifat one-and many dari sang Pencipta,5 melainkan juga sifat sosial, bahasa, dll. Maka bagaimanapun usahanya para ilmuwan tidak akan dapat menghilangkan ciri ilmu-ilmu alam tersebut, selama ilmu-ilmu alam masih berurusan dengan alam ciptaan Tuhan. Tiap kebenaran berkaitan satu dengan yang lain, dan usaha seperti itu hanya akan mengakibatkan abstraksi dan kontradiksi dari klaim-klaim keilmuan.

Hal ini juga tergantung pada manusia sebagai ciptaan tertinggi menurut gambar Allah. Kepada manusia tugas ini diberikan, untuk melayani dan menjaga alam.6 Karena manusia mirip Allah, manusia tidak dapat bekerja dalam Getto ketika mengembangkan ilmu-ilmu alam, apalagi dia adalah ciptaan yang bersifat sosial. Manusia harus tidak hanya demi kepentingan ilmu-ilmu alam saja menemukan hukum-hukum alam, melainkan juga untuk tujuan masyarakat, kemanusiaan dan tujuan tertinggi mempermuliakan Allah.

Di sini terdapat suatu kemungkinan, relasi dari semua aspek kehidupan manusia teoritis dan tanpa kontradiksi dibangun dan menempatkan ilmu alam pada posisinya. Di sini terdapat pula kemungkinan untuk menentukan langkah praktis untuk mengembangkan keilmuan tanpa berkontradiksi dan mereduksi aspek-aspek kehidupan yang lainnya.

Dalam iman Kristen dijelaskan pula bahwa manusia telah jatuh di dalam dosa. Kenyataan ini saya mengerti sebagai kenyataan sejarah. Dosa saya mengerti sebagai perlawanan manusia melawan Allah, sang Penciptanya. Sekalipun dosa manusia Allah tetap memelihara ciptaan-Nya. Alam berfungsi menurut hukumnya dan tidak menjadi kacau. Disini masih ada kemungkinan untuk memperkembangkan ilmu pengetahuan dalam dunia yang telah jatuh. Tetapi kemungkinan ini digunakan manusia melalui ilmu-ilmu alam untuk melawan Allah, sang Pencipta dan Penopang. Memang tidak ada yang dapat berbicara tentang etika yang bersifat universal, jika seandainya Allah yang berpribadi tidak ada. Worldview Kristen menceritakan kepada kita bukan hanya apa yang terjadi, melainkan juga tugas dari anak-anak Tuhan yang berurusan dengan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu-ilmu alam, yakni, menebus ilmu-ilmu alam demi kepentingan Allah.

Catatan kaki:
1. Pembacaan modern, yang dewasa ini berlaku di kalangan ilmuwan, sebenarnya sangat berbeda dengan apa yang Rene Descarte maksudkan. Pembacaan modern tidak memperhatikan “Meditationes de Prima Philosophia.” Memang penekanan Descartes pada penggunaan rasio dan teori matematikanya melalui pembacaan modern ini dapat mengakibatkan orang mudah berpikir bahwa sekalipun Allah adalah Pencipta alam semesta, tetapi kuasanya dibatasi oleh hukum-hukum alam, atau lebih kecil daripada hukum-hukum alam tersebut. Berangkat dari sinilah muncul deisme dan konsep-konsep modern yang salah tentang Allah.
2. Dikutip oleh Dieter Hattrup dalam Einstein und der würfelnde Gott: An den Grenzen des Wissens in Naturwissenschaft und Theologie, (Freiburg: Herder, 2008), hlm. 19, dari Einstein, Albert., Mein Weltbild (1934). diterbitkan. Carl Sellig (Frankfurt u.a.: Ullstein, 1970), hlm. 201, 171.
3. Saya pernah berdiskusi dengan seorang teman tentang hal ini. Dalam perdebatan kami, teman saya mengatakan bahwa itu adalah problem semantik semata yang tidak perlu dipandang serius. Dalam diskusi tersebut saya mengajukan suatu contoh bahwa problem semantik bukan masalah remeh, melainkan suatu penipuan. Jika seseorang membeli daging, dan berkata kepada si penjual bahwa dia ingin membeli daging, lalu si penjual memberikan daging tikus kepadanya. Apakah yang akan dilakukan oleh orang tersebut? Bukankah dia akan merasa dipermainkan dan marah, walaupun daging tikus adalah daging juga. Tetapi dalam hal ini banyak orang senang menikmati penipuan.
4. Perbedaan antara “telah-ada” atau “ada-begitu-saja” (“vorhanden”) dan “ada-untuk” (“zuhanden”) dapat ditelusuri dari konsep dari Heidegger (Sein und Zeit). Tetapi di sini saya membuat suatu perubahan makna dan konteks. Perubahan tersebut adalah, pertama, Konteks dari kata tersebut berubah dari sifat-keduniaan- dunia-di- hadapan-manusia-sebagai-Dasein menjadi Situasi-ontologis- di-hadapan- Tuhan (von der Weltlichkeit der Welt vor den Menchen als Dasein zum ontologischen Zustand vor dem Gott). Catatan khusus bagi edisi Indonesia: ide keduniaan di sini bukan berarti sekuler, apa yang dibicarakan Heidegger tidak ada kaitan sama sekali dengan sakral dan sekuler! Kedua, Maknanya berbicara bahwa pada mulanya tidak ada yang telah-ada di hadapan Tuhan, karena dia adalah Sumber dari segalanya, bukannya ada-perbedaan- tersebut-bagi-manusia.
5. Problem one-and-many dapat diselesaikan oleh para theolog Van Tillian, melalui mereka menelusuri ke Kesempurnaan Allah Tritunggal. Tetapi tetap tinggal pertanyaan bagaimana hal itu seharusnya berfungsi, jika alam ciptaan memang one-and-many?
6. Terjemahan ini berasal dari kata-kata Ibrani “abad” dan “Shamar.” Kata-kata ini dalam penggunaannya oleh Musa menunjukkan kepada kita, bagaimana manusia harus menjalankan jabatannya sebagai mahkota ciptaan, yakni, pemimpin adalah pelayan.

Profil Ev. Steve Hendra:
Ev. Steve Hendra, S.T., M.Div. dilahirkan di Surabaya pada tahun 1976. Menerima Kristus pada tahun 1996 dan mengambil keputusan menjadi hamba Tuhan pada tahun 1997.

Setelah menyelesaikan pendidikan S-1 umum pada tahun 1999, melanjutkan pendidikan di Institut Reformed Jakarta dan mendapatkan gelar Master of Divinity (M.Div.) pada tahun 2003.

Mulai bulan Agustus 2003 melayani di Gereja Reformed Injili Indonesia (GRII) Surabaya - Andhika serta sebagai dosen di Sekolah Theologi Reformed Injili Indonesia Surabaya (STRIS) Andhika dan International Reformed Evangelical Correspondence Study (IRECS). Saat ini, beliau sedang studi di Jerman.
KECEWA KEPADA ALLAH

Oleh: Pdt. DR. STEPHEN TONG

Artikel ini ditranskrip dari renungan yang disampaikan pada Persekutuan Doa Mahasiswa Sekolah Tinggi Theologi Reformed Injili Indonesia (STTRII) dan Institut Reformed hari Selasa, tanggal 16 Februari 1999

Dua hari yang lalu dalam suatu kesempatan yang baik, saya bertemu dengan dua orang saudara saya, Pdt. Dr. Caleb Tong dan Pdt. Dr. Joseph Tong. Saya menjemput mereka di bandara dan waktu di bandara seseorang datang kepada saya dan bertanya, “Pak Stephen ya?” Saya bilang, “Ya.” Kami berjabat tangan. “Anda ikut kebaktian di mana?” Saya bertanya padanya dan dia menjawab, “Ya, dulu pernah satu dua kali mendengar khotbah Pak Stephen Tong. Kemudian saya ke gereja-gereja yang lain. Sesudah itu keliling sini, keliling sana, tidak menetap.”Lalu saya bertanya, “Sekarang ke gereja mana?” Jawabannya, “Tidak ke gereja.” Saya bertanya, “Sekarang tidak ke gereja?” Dia merokok dengan satu tangannya ditaruh di belakang. Asap rokoknya terus mengepul seraya berbicara dan ngomong dengan saya. Saya rasa dia sudah melarikan diri dari Tuhan. Lalu saya bertanya, “Mengapa tidak ke gereja?” Dia menjawab, “Kecewa.” “Kecewa dengan siapa?” tanya saya. “Terus terang kecewa kepada Tuhan,” setelah mengatakan kalimat itu, dia lalu pergi.

Saya tidak habis-habisnya memikirkan kalimat itu. Berhakkah? Berhakkah manusia yang dicipta kecewa terhadap Sang Penciptanya? Ini yang menjadi pemikiran saya. Who are we? We think we deserve the right to claim we are disappointed by God. Siapakah kita yang berhak mengatakan, “Aku dikecewakan oleh Tuhan. Aku kecewa terhadap Tuhan.”

Kalimat ini membuat saya memutar pikiran sepanjang satu hari itu. Theologi apakah ini? Theologi ajaran apakah yang mengajar manusia, sehingga berani mengatakan, “Allah mengecewakan saya.” Kalau Allah mengecewakan seseorang, hanya karena beberapa sebab, yaitu: Pertama, Allah berutang kepada saya dan Dia lupa bayar, maka saya kecewa. Kedua, Allah menipu saya, akhirnya saya dirugikan, maka saya kecewa. Ketiga, Allah berjanji sesuatu, akhirnya Dia tidak melunaskannya, sehingga saya kecewa. Tiga presuposisi ini, semuanya tidak memiliki dasar Alkitab. Allah tidak pernah berutang kepada manusia. Theologi yang benar mengatakan, manusia berutang kemuliaan Allah dan tidak bisa membayar sendiri. Yang seharusnya dikatakan adalah kitalah yang mengecewakan Tuhan, bukan Tuhan yang mengecewakan kita. Allah tidak pernah menjanjikan sesuatu yang Dia sendiri tidak melunaskannya, kecuali janji itu adalah semacam tafsiran manusia dan "misleading" (penyesatan) dari orang yang salah mengerti Alkitab. Jadi, Allah tidak berutang kepada saya, Allah tidak sembarang berjanji kepada saya, Allah tidak mungkin menipu saya.

Jika demikian apakah penyebabnya? Penyebab pertama adalah adanya pengkhotbah-pengkhotbah yang memberikan tafsiran yang salah terhadap ayat-ayat Alkitab. Misalnya, yang percaya kepada Tuhan pasti dapat kekayaan, pasti dapat hidup yang subur, makmur di dalam materi. Yang percaya kepada Tuhan pasti tidak ada marabahaya, penyakit, kesulitan, dan kemiskinan. Misalnya lagi, jikalau engkau memberikan persembahan, Tuhan akan mengembalikan sepuluh kali lipat ganda. Apakah saudara pernah mendengar khotbah semacam ini? Hal ini terjadi sejak kira-kira 25 tahun yang lalu, selangkah demi selangkah merambat masuk ke dalam mimbar-mimbar gereja yang tidak bertanggung jawab. Tetapi setiap statement yang tidak benar, bisa juga mendapatkan tunjangan dari Kitab Suci. Jadi ada ayat-ayat yang sepertinya mendukung statement itu, karena dimengerti secara fragmentaris, dan bukan secara totalitas. Karena mengambil ayat sebagian-sebagian lalu mengkhotbahkannya, sangat mungkin terjadi misleading bagi orang lain yang mendengarnya.

Kedua, pengertian yang tidak membandingkan antara satu ayat dengan ayat yang lain, mengakibatkan tidak diperolehnya prinsip total Kitab Suci. Mengambil suatu keputusan melalui bagian-bagian, lalu membuat statement. Hal ini sangat membahayakan. Saudara sebagai pengkhotbah, sebagai pemimpin gereja, sebagai pembawa firman, sebagai pemberita kehendak Tuhan, harus menghindarkan diri dari hal-hal semacam itu.

Saya percaya, bukan dia saja, mungkin seluruh Indonesia berani mengatakan, “Aku kecewa terhadap Tuhan.” Mungkin sudah puluhan juta orang pernah mempunyai ajaran salah yang menuju pada konklusi bahwa Allah menipu dia, Allah tidak melunaskan janji-Nya, Allah berutang kepada dia sehingga dia berani mengatakan, “Saya kecewa kepada Tuhan.”

Tahun 1965, kalau saya tidak salah ingat, gunung Agung meletus di Bali. Lavanya mengalir begitu cepat, sehingga banyak orang yang tidak sempat mengungsi, mendadak terkena lava. Pada waktu itu saya berada di Bandung, lalu seorang wartawan datang kepada saya, “Pak Stephen, bolehkah saya tunjukkan kira-kira 180 foto yang saya ambil dengan cepat pada waktu orang-orang terkena lava itu?” Saya sedang makan ketika wartawan itu datang dan duduk di samping saya. Waktu saya melihat foto-foto tersebut, rasanya saya ingin muntah. Ada orang yang sedang tidur, lavanya datang dan saat itu juga separuh badannya menjadi tulang, dan separuhnya masih daging. Di tengah-tengah sambungan antara daging dan tempat tulang itu, ada satu garis putih yang besar dan bengkak, seperti kulit babi yang digoreng jadi rambak/krupuk. Bagian yang terkena api panas itu langsung melembung. Satu bagian masih daging biasa, bagian yang lain, matang menjadi seperti rambak. Meskipun saya mau muntah tapi saya dikejar oleh kuriositas, jadi satu per satu foto tersebut saya lihat sambil mau mengeluarkan air mata, sambil mau menangis, sambil mau berteriak, tetapi tidak bisa. Namun ada beberapa foto yang menggugah theologi saya, yaitu lava yang sudah dekat kira-kira tiga meter lagi, dan dalam beberapa detik akan terkena lava, tetapi orang tersebut tidak lari, ia sedang berlutut berdoa kepada dewa. Waktu saya lihat, saya berpikir, “Wah! Ini begitu beda dengan orang Kristen. Mengapa ada orang Kristen pada hari lancar, dia berani berdosa. Sedikit rugi, langsung mencaci maki Tuhan Allah. Mengapa orang kafir waktu mereka menghadapi kecelakaan, mereka tidak memaki-maki dewa mereka. Mereka minta pertolongan dewa, jangan sampai memusnahkan mereka. Mereka mengaku kesalahan, mengaku dosa.” Pemikiran ini terus mempengaruhi saya sampai sekarang, sudah lebih dari 30 tahun.

Pemikiran itu adalah, Why?...Why? ... What causes that? What causes it to be like that? Apa salahnya pemberitaan kita? Apa salahnya khotbah kita, sehingga anggota kita selalu merasa dia sepatutnya menerima anugerah Tuhan dan tidak boleh dirugikan apapun oleh Tuhan, kalau tidak, Allah harus dicela, dimaki, dipersalahkan, dan akhirnya dia keluar dari gereja.

Lalu dari situ, pemikiran saya mulai berkembang pada the theology of suffering, the theology of worship, the theology of understanding grace, theology of resistant to the tribulation. Berkembanglah begitu banyak pemikiran saya semenjak melihat 180 foto tersebut. Mengapakah orang-orang Asia dengan sedikit kesulitan, meninggalkan gereja, keluar dari gereja? Mengapa orang Yahudi yang dibantai, dibunuh dengan gas, dihancurkan hidupnya, enam juta setengah jiwa, di dalam holocaust, tetapi mereka tetap menyembah Allah, tetap takut kepada Tuhan dan mereka tidak pernah meninggalkan iman mereka? Jadi, what's wrong? Apa yang salah di dalam pemberitaan kekristenan? Jawaban saya adalah satu kalimat, “Kita lebih suka memberitakan Allah itu kasih adanya, mengobral murah kasih Allah daripada berani mengkhotbahkan Allah itu suci dan adil, Dia akan menghakimi dosa seluruh dunia.”

Dari konklusi ini, pemikiran saya berkembang lagi, di manakah hamba-hamba Tuhan yang berani menyatakan tahta kemarahan Tuhan, keadilan Tuhan, kesucian Tuhan, untuk mengingatkan bangsa dan zaman ini? Semakin lama semakin sedikit. Tetapi pendeta yang berusaha memberikan injil palsu supaya gerejanya bertumbuh, supaya lebih banyak orang mendengar khotbahnya dengan kalimat, “Percayalah Tuhan, semua penyakit akan disembuhkan, semua kesulitan diatasi, semua akan diberikan kepada engkau” begitu banyak sekali, bahkan di dalam aliran Pentakosta dan Karismatik sudah teracun satu pikiran: dengan banyak mujizat yang dilihat, orang akan beriman.

Namun hari ini saya akan menunjukkan dua prinsip. Prinsip pertama, Yohanes Pembaptis tidak pernah melakukan satu mujizat pun, namun banyak orang yang percaya melalui dia. Karena sifat lurus, jujur, berani, dan tidak mau dipengaruhi oleh dosa sehingga dia berkhotbah dengan kuasa luar biasa. Itu catatan Alkitab. Yohanes tidak pernah melakukan satu mujizat pun, tetapi yang percaya karena dia banyak sekali. Kedua, Islam adalah satu agama yang tidak pernah mengembangkan anggota mereka melalui daya tarik mujizat. Tidak pernah hal itu terjadi. Pada zaman filsuf David Hume, one of the greatest scepticist in the history of human philosophy, ia mengatakan bahwa salah satu sebab yang dipakai oleh orang Kristen untuk membuktikan agama Kristen sebagai satu-satunya agama yang sah adalah tidak adanya mujizat pada agama lain, tetapi hanya ada pada agama Kristen dan dimuat di dalam Kitab Suci. Tetapi cara dia melawan kekristenan justru dengan pertanyaan pernahkah mujizat yang dicatat dalam Kitab Suci orang Kristen, terjadi? Itupun belum bisa dibuktikan. Maka memakai bukti bahwa Kristen ada mujizat maka Kristen itu sah, pada hakekatnya tidak pernah mempunyai dukungan bukti. Apakah yang dicatat dalam Kitab Suci sungguh-sungguh pernah terjadi? Jadi dia menjadi scepticist. Itu namanya to destroy from the foundation the seeking of Christian foundation.

Orang Kristen pada zaman itu selalu memakai fondasi-fondasi yang salah yang sebenarnya bukan fondasi untuk membangun iman. Kalau kita membiasakan diri menjadi pemberita, hoki, fat choi, property, kesuksesan sebagai imbalan kalau percaya kepada Tuhan, maka kita akan menciptakan orang-orang yang akhirnya melarikan diri dari kekristenan dengan kalimat, “Aku tidak lagi ke gereja karena aku kecewa kepada Tuhan.” Saudara seharusnya mempersiapkan diri menjadi hamba Tuhan yang bertanggung jawab dalam pemberitaan firman, sehingga anggotamu selalu menuntut, “Saya jangan menipu Tuhan, saya jangan berutang kepada Tuhan, saya harus menepati apa yang saya janjikan kepada Tuhan.” Dan bukan berkata, “Tuhan berutang kepada saya, Tuhan menipu saya, apa yang Tuhan janjikan, tidak saya dapatkan, maka saya berhak melawan dan kecewa kepada Dia.” Kiranya renungan pendek ini menjadi kekuatan bagi kita untuk menegakkan kembali kebenaran di dalam zaman ini.
Sumber: Majalah MOMENTUM No. 39 – Maret 1999
Tentang YOGA

oleh: Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.

Definisi dan Sejarah Singkat

Bagi sebagian besar masyarakat Barat, yoga sering kali hanya dipahami sebagai salah satu sistem latihan fisik untuk perenggangan tubuh, peningkatan kelenturan dan penyembuhan penyakit ringan. Jika kita menyelidiki sejarah dan filosofi di balik yoga, maka kita akan mengetahui bahwa yoga lebih dari sekedar latihan fisik. Yoga adalah jalan kuno menuju kerohanian. Jalan ini berasal dari literatur-literatur kuno India.

Konsep ini sudah tersirat dari nama yang dipakai. Istilah “yoga” berasal dari bahasa Sansekerta. Istilah yang berasal dari akar kata yuj (artinya “mengontrol”, “memasang kuk” atau “menyatukan”) ini memiliki arti yang beragam. Arti yang paling populer adalah “penyatuan”. Yang dimaksud penyatuan di sini adalah penyatuan antara jiwa yang terbatas (diri yang fana) dengan jiwa yang tidak terbatas (Brahma/Diri yang kekal). Brahma adalah realitas tertinggi, suatu allah yang tidak berpribadi, suatu substansi ilahi yang menyerap, melingkupi dan melandasi segala sesuatu.

Dalam Larson’s New Book of Cults dijelaskan bahwa yoga terdiri dari beberapa aliran/bentuk: Karma Yoga (persatuan rohani melalui perbuatan baik), Bhakti Yoga(persatan dengan Yang Mutlak melalui devosi kepada seorang guru), Juana atau Gyana Yoga (jalan masuk kepada keilahian melalui pengetahuan mistik) dan Raja Yoga (kesadaran ilahi melalui kontrol mental). Jenis yoga yang sering diperbincangkan dan dipraktikkan orang termasuk dalam Raja Yoga.

Dilihat dari sisi historis, perkembangan yoga dapat dibagi dijelaskan sebagai berikut: (1) akar tertua dapat ditelusuri sampai pada Upanishads (sekitar 1000-500 SM). Dalam buku tua ini diajarkan “satukan terang di dalam dirimu dengan terang yang ada di dalam Brahma”; (2) kata “yoga” berikutnya juga ditemukan dalam buku Bhagavad Gita (sekitar abad ke-5 SM). Di pasal 6 buku ini Krishna berkata, “maka sukacita tertinggi datang kepada Yogi (orang yang melakukan yoga)...yang menjadi satu dengan Brahma, allah itu”; (3) pada pertengahan abad ke-2 M, Panjali dalam bukunya Yoga Sutras membagi yoga menjadi 8 cabang seperti anak tangga, masing-masing: yama (pengendalian diri/asketisisme), niyama (ibadah keagamaan), asana (posisi tubuh), pranayama (latihan pernafasan), pratyahara (pengendalian indera), dharana (konsentrasi), dhyana (kontemplasi yang dalam) dan samadhi (pencerahan).

Filosofi Di Balik Yoga

Sebagai salah satu fenomena keagamaan yang berasal dari Timur, yoga memiliki beberapa karakteristik yang sama dengan aliran lain dalam Gerakan Zaman Baru. Prinsip dasar yang ada reatif sama, tetapi beberapa memang sedikit berbeda. Apa saja filosofi di balik praktik yoga?

Pertama, dualisme. Dalam agama-agama kuno di India dikenal konsep yang dualistik antara jiwa (spiritual) dan tubuh (material). Tubuh dianggap sebagai sesuatu yang lebih rendah daripada jiwa. Tubuh adalah sumber segala kejahatan. Apa yang tampak hanyalah sebuah ilusi, sedangkan realita sebenarnya terletak pada hal-hal yang spiritual. Tidak heran, para yogi pada zaman dahulu dikenal sebagai “orang yang telah mengambil sumpah untuk hidup dalam kemiskinan, kesucian, gaya hidup selibat dan meditasi sepanjang hari”. Para penganut yoga juga cenderung melihat kehidupan fana di dunia sebagai kehidupan yang rendah dan tidak layak dihidupi (Moti Lal Pandit).

Kedua, pembebasan (liberation). Dilihat dari sisi istilah “yoga” yang berarti “memasang kuk” atau “mengontrol”, kita mungkin heran bagaimana pembebasan dapat menjadi filosofi dasar dalam yoga. Kebingungan ini akan hilang jika kita memahami apa yang dimaksud dengan pembebasan dalam yoga. Pembebasan bukan berarti bebas mengumbar hawa nafsu. Sebaliknya, pembebasan di sini berkaitan dengan pembebasan dari diri sendiri. Diri sendiri bersifat kafir dan menghalangi terjadinya pencerahan. Orang harus mendisiplin pikiran, tubuh dan jiwanya supaya bisa terfokus pada Allah. Sehubungan dengan prinsip ini, pengosongan pikiran, posisi tubuh dalam pose tertentu dan meditasi sangat ditekankan dalam yoga. Semua ini dipercaya akan memberikan kebebasan.

Ketiga, pencapaian pengetahuan/hikmat yang tertinggi. Melalui yoga orang yakin bahwa dia akan memperoleh pencerahan-pencerahan yang membuat dia menjadi lebih berhikmat. Meditasi dianggap sebagai instrumen yang efektif untuk menumbuhkan pengetahuan rohani seseorang. Dia akan semakin mengerti tentang hakekat manusia, alam semesta dan alam. Dia akan dibebaskan dari kebodohan metafisik yang dia alami selama ini, yaitu ketidaksadaran bahwa manusia (segala sesuatu) adalah ilahi.

Keempat, spiritisme. Dalam kasus-kasus tertentu, meditasi dalam yoga mencakup pemanggilan berbagai roh ke dalam diri seseorang maupun upaya seseorang masuk ke dalam dunia roh tersebut. Keterlibatan yang “paling ringan” dalam hal ini adalah perenungan yang dalam tentang suatu allah yang berbeda dengan Allah dalam Alkitab.

Kelima, kesatuan dengan allah. Dalam yoga seseorang tidak hanya memikirkan tentang allah, tetapi dia sendiri juga berusaha menyatu dengan kekuatan ilahi itu. Dia mencoba membebaskan “dirinya” dan benar-benar menyatu secara hakekat dengan apa yng dia percayai sebagai allah. Ketika seseorang sudah mencapai tingkatan yoga yang tertinggi, maka orang itu akan mengalami kesadaran dan pengalaman sebagai allah.

Daya Tarik Yoga

Salah satu fakta yang tidak disangkal adalah popularitas yoga yang semakin menanjak. Yoga tidak hanya digemari oleh orang Timur, tetapi juga orang Barat. Yoga bukan lagi monopoli para penganut agama Hindu dan Budha, tetapi para penganut agama lain juga. Beberapa penganut agama non-Hindu – termasuk Kekristenan - bahkan telah mencoba mengembangkan sebuah yoga yang disesuaikan dengan agama mereka. Dari perspektif Hindu, sinkretisme seperti ini sah-sah saja, karena mereka percaya bahwa ada banyak jalan menuju persatuan dengan Allah.

Mengapa yoga begitu diminati oleh banyak orang, bahkan di dunia Barat sekalipun? Ada beberapa alasan yang melatarbelakangi hal tersebut. Faktor utama adalah kehidupan di Barat yang serba cepat dan menekan. Kondisi seperti ini membuat manusia cepat lelah, baik secara fisik maupun mental. Yoga berhasil menawarkan dua macam kelegaan itu sekaligus.

Faktor lain adalah kekecewaan terhadap materialisme. Di dunia Barat kelimpahan secara materi merupakan sesuat yang sudah biasa. Mereka mudah mendapatkan segala macam materi yang mereka inginkan. Semua ini ternyata tidak memberikan kepuasan bagi mereka. Mereka membutuhkan hal-hal lain yang non-material. Mereka menginginkan kepuasan psikologis, mental dan kerohanian. Semua ini juga ditawarkan oleh yoga.

Faktor lain berkaitan dengan wajah Kekristenan yang dianggap terlalu kering. Sebagian orang Kristen yang mempraktikkan yoga mengaku bahwa mereka selama ini merasa kering dengan Kekristenan. Kekristenan hanya diidentikkan dengan liturgi dan dogma. Mereka tidak mendapatkan sentuhan emosional dalam kehidupan Kekristenan mereka. Kekosongan inilah yang akhirnya dianggap dapat diisi melalui yoga.

Apakah Latihan Fisik Dalam Yoga Dapat Dipisahkan dari Filosofi Di Baliknya?

Beberapa orang Kristen yang mengetahui filosofi di balik yoga mengaku bahwa praktik ini merupakan pelanggaran terhadap Alkitab. Bagaimanapun, sebagian dari mereka tetap bersikeras bahwa tidak semua yoga adalah salah. Menurut mereka, yoga yang hanya berhubungan dengan latihan fisik boleh diikuti oleh orang-orang Kristen.

Apakah pandangan di atas dapat diterima? Untuk menjawabnya, mari kita memfokuskan pembahasan pada salah satu jenis yoga yang dianggap “paling aman” karena hanya mengajarkan latihan-latihan fisik. Yoga ini disebut Hatha Yoga. Yoga jenis ini hanya terdiri dari asana (posisi tubuh) dan pranayama (latihan pernafasan).

Dua hal di atas ternyata tidak terpisahkan dari filosofi di baliknya. David Fetcho, seorang peneliti terkenal dalam bidang yoga, menyatakan bahwa latihan fisik yoga tidak mungkin dipisahkan dari metafisika Timur yang melandasinya. Para ahli yoga yang lain juga sepakat bahwa asana dan pranayama merupakan bagian integral dari keseluruhan yoga. Tujuan dari Hatha Yoga adalah menghilangkan halangan-halangan fisik untuk menuju pada tingkatan yang lebih tinggi. Pranayama merupakan cara untuk mengontrol energi mistis/vital dalam tubuh. Energi ini dipercayai sebagai energi ilahi yang universal, tidak terbatas dan mahahadir, yang berada di balik dunia materi (akasa). Jika seseorang mampu mengontrol energi secara sempurna, maka dia akan menjadi mahahadir dan mahakuasa. Jiwanya dapat berada di mana saja dan melakukan apa saja.

Posisi tubuh yang sudah diatur sedemikian rupa (asana) juga bertujuan untuk memanipulasi kesadaran. Masing-masing posisi tubuh memiliki filosofi dan tujuan tersendiri. Tujuan ini lebih ke arah psikologis atau spiritual daripada fisik (somatis). Dengan demikian Hatha Yoga bukan sekedar latihan fisik, tetapi latihan psikosomatis yang melibatkan tubuh dan jiwa.

Bagaimana dengan latihan perenggangan tubuh yang ditemukan juga dalam berbagai latihan pemanasan di olah raga? Untuk hal ini kita sebaiknya mengakui bahwa jika latihan itu benar-benar dipisahkan dari konteks yoga, maka latihan tersebut dapat dibenarkan.. Bagaimanapun, jika latihan ini dilakukan sebagai latihan yoga, maka hal ini harus dihindari. Orang yang sudah merasakan manfaat dari latihan yoga yang paling dasar sangat mungkin akan tergoda untuk melanjutkan ke tahap berikutnya. Kalau sekedar ingin mendapatkan manfaat fisik dari beberapa latihan perenggangan di dalam yoga, kita dapat menggantinya dengan beberapa olah raga lain yang menfaatnya sama atau bahkan lebih besar daripada beberapa gerakan yoga, misalnya aerobik, senam di dalam air dan latihan pemanasan yang lain.

Bahaya-bahaya Yoga

Terlepas dari keuntungan fisik yang didapat dari latihan yoga, yoga ternyata dapat menyebabkan berbagai masalah yang serius. Para ahli yoga sudah lama memahami kemungkinan terjadinya bahaya-bahaya tersebut. Dari segi fisik, latihan pernafasan yang tidak tepat dapat menyebabkan kerusakan pada otak. Swami Prabhavananda mengatakan, “kecuali dilakukan dengan tepat, ada sebuah kemungkinan besar untuk membahayakan otak. Mereka yang melakukan latihan pernafasan tanpa pengawasan yang memadai dapat menderita sebuah penyakit yang ilmu pengetahuan maupun dokter tidak dapat mengobatinya.

Dari segi kejiwaan, yoga tidak kalah berbahaya. Gopi Krishna, salah seorang ahli dalam kundalini, mengungkapkan pengalamannya bahwa selama bertahun-tahun dia mengalami berbagai macam bentuk kejiwaan. Dia pernah merasa begitu terobsesi, sakit, gila sampai dijadikan medium dari berbagai roh. Ia mengakuinya bahwa hidupnya kadangkaa berpindah-pindah dari keadaan gila ke normal, begitu sebaliknya.

Dari segi spiritual, yoga jelas sangat berbahaya. Salah satunya adalah pengalaman spiritual dalam yoga yang disebut dengan istilah “kundalini” (kekuatan ular). Swami Vivekananda menjelaskan pengalaman ini sebagai berikut: jika dibangkitkan melalui latihan disiplin-disiplin rohani, maka [kekuatan] ini naik melalui tulang belakang, melewati berbagai pusat saraf dan akhirnya mencapai otak, di mana yogi mengalami samadhi atau penyerapan total dalam keilahian”. Pengalaman ini jelas merupakan penyembahan berhala, karena allah yang dalam yoga bukanlah Allah yang benar (Kel. 20:3-6; Gal. 5:19-21).

Perspektif Alkitab tentang Yoga

Beberapa orang Kristen melihat ada kesamaan antara yoga dan Alkitab. Dalam yoga diajarkan tentang kesatuan dengan allah, natur manusia yang ilahi dan perlunya menguasai keinginan tubuh yang jahat. Berdasarkan kesamaan ini, mereka kemudian berusaha untuk mengembangkan sebuah yoga yang bernuansa Kristen. Usaha ini hanyalah sebuah utopia atau bahkan tipu daya iblis atas orang-orang percaya.

Pertama, para ahli yoga berpendapat bahwa yoga bukanlah prinsip yang diadopsi oleh agama Hindu. Yoga adalah prinsip yang berasal dari agama Hindu. Selain itu, beberapa elemen dalam yoga jelas tidak dapat diganti dengan yang lain, misalnya yama danniyamas. Hal lain yang tidak boleh dilupakan adalah tujuan akhir dari yoga. Jika yoga tidak berujung pada kesadaran bahwa manusia adalah ilahi, maka yoga tersebut tidak bisa disebut yoga, karena tidak memenuhi tujuan utama yoga. Berdasarkan tujuan inilah, semua elemen yoga telah diatur sedemikian rupa.

Kedua, beberapa kesamaan antara yoga dan Kekristenan hanya terbatas pada kesamaan secara umum. Kebenaran Allah memang terletak di mana-mana dan segala kebenaran adalah kebenaran Allah. Allah memberikan wahyu umum kepada seluruh umat manusia. Walaupun demikian, jika diselidiki lebih mendalam, maka di balik kesamaan-kesamaan yang ada kita justru akan menemukan perbedaan-perbedaan yang jauh lebih fundamental.

· Pentingnya kesatuan dengan Allah.

Yesus berdoa agar semua orang percaya bersatu dan berada di dalam Allah (Yoh. 17:21). Dia juga mengajarkan bahwa orang percaya harus terus-menerus berada di dalam Dia (Yoh. 15:4). Perbedaan kesatuan ini dengan kesatuan versi yoga terletak pada jenis kesatuan dan cara untuk mencapai kesatan. Alkitab tidak pernah mengajarkan kesatuan dalam arti penyatuan hakekat. Cara yang dipakai pun bukan melalui disiplin mental seperti di dalam yoga, tetapi melalui ketaatan kepada firman Tuhan (Yoh. 15:10).

· Natur ilahi dalam diri manusia.

Dalam salah satu suratnya Petrus pernah berkata bahwa orang percaya “mengambil bagian dalam kodrat ilahi” (2Ptr. 1:4). Dari konteks yang ada terlihat bahwa partisipasi dalam kodrat ilahi ini tidak berarti bahwa orang percaya menjadi allah atau mewarisi natur keilahian.. Partisipasi ini sangat berhubungan dengan kehidupan kekal yang akan diterima oleh orang percaya. Makna inilah yang sering dijumpai dalam literatur Yahudi tentang partisipasi dalam kodrat ilahi (4Mak. 18:3; Keb. Sal. 2:23).

· Perlunya menguasai keinginan tubuh.

Yakobus mengingatkan bahwa dalam diri manusia ada hawa nafsu yang terus berjuang untuk menguasai (4:1). Petrus juga mengakui adanya keinginan daging yang terus berjuang melawan keinginan jiwa (1Ptr. 2:11). Karena itu, orang percaya harus berusaha mematikan keinginan-keinginan tersebut. Perbedaan dengan yoga, penguasaan atas tubuh manusia yang berdosa ini dilakukan melalui kekuatan Roh (Rm. 8:13 “oleh Roh kamu mematikan perbuatan-perbuatan tubuhmu”).

Ketiga, Alkitab secara tegas menentang beberapa konsep yang salah dalam yoga.

· Tubuh bukanlah jahat. Tubuh ditebus oleh Tuhan Yesus (1Kor. 6:19-20) dan harus dipersembahkan kepada Tuhan (Rm. 12:1).

· Masalah utama bukan terletak pada tubuh itu sendiri, tetapi pada dosa yang telah merusak natur manusia (Rm. 7:19-20).

· Jalan keluar bagi masalah ini bukanlah disiplin rohani yang bersifat anthroposentris, tetapi melalui kasih karunia Allah di dalam Kristus (Rm. 7:24-25) dan pertolongan Roh Kudus (Rm. 8:8-9).

· Hidup di dalam daging tetap merupakan hidup yang bermakna, sejauh hal itu dihidupi di dalam iman di dalam Kristus (Gal. 2:20).

· Segala bentuk asketisisme adalah tindakan yang salah. Kolose 2:23 “peraturan-peraturan ini, walaupun nampaknya penuh hikmat dengan ibadah buatan sendiri, seperti merendahkan diri, menyiksa diri, tidak ada gunanya selain untuk memuaskan hidup duniawi”.

· Manusia sangat terbatas dan sangat bergatung pada kehendak Allah (Yak. 4:15).

· Penyamaan diri dengan Allah adalah cara yang dipakai iblis untuk menjatuhkan Adam dan Hawa (Kej. 3:1-5).

· Penyamaan diri dengan Allah pasti diberi hukuman yang sangat berat (Yes. 14:4-20; Kis. 12:22-23).

Sumber:
http://www.gkri-exodus.org/page.php?BIB-Dunia_Roh-11

Profil Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.:
Ev. Yakub Tri Handoko, M.A., Th.M., yang lahir di Semarang, 23 November 1974, adalah gembala sidang Gereja Kristus Rahmani Indonesia (GKRI) Exodus, Surabaya (www.gkri-exodus.org) dan dosen di Institut Theologi Abdiel Indonesia (ITHASIA) Pacet serta dosen tetap di Sekolah Theologi Awam Reformed (STAR) dari GKRI Exodus, Surabaya.. Beliau menyelesaikan studi Sarjana Theologi (S.Th.) di Sekolah Tinggi Alkitab Surabaya (STAS); Master of Arts (M.A.) in Theological Studies di International Center for Theological Studies (ICTS), Pacet–Mojokerto; dan Master of Theology (Th.M.) di International Theological Seminary, U.S.A. Mulai tahun 2007, beliau sedang mengambil program gelar Doctor of Philosophy (Ph.D.) part time di Evangelische Theologische Faculteit (ETF), Leuven–Belgia.

Editor dan Pengoreksi: Denny Teguh Sutandio.