Rabu, 12 November 2008

The Act of Grace, Faithful, and Fruitful
oleh: Pdt. Effendi Susanto, S.Th.

Nats: 2 Kor. 9:6-15; 8:1-5

Dalam suratnya kepada jemaat Korintus, Paulus memuji mereka karena di dalam pelayanan firman, jemaat Korintus memiliki ketaatan. “They praise God for your confession of the gospel of Jesus Christ which is faithful…” (2Kor. 9:13). Ini hal yang terpenting. Tetapi pelayanan hidup Kekristenan kita bukan saja perlu kesetiaan, tetapi juga perlu hidup yang berbuah. Not only faithful but also fruitful. Kita tidak hanya membuktikan kesetiaan kita, tetapi kita juga dipanggil untuk menyatakan satu hidup yang berkelimpahan. Paulus memuji jemaat Korintus di dalam pelayanan Injil, di dalam hidup mengikut Tuhan, mereka sudah menyatakan ketaatan terhadap pengakuan akan Injil Kristus. Tetapi bukan itu saja, sekarang Paulus ingin mendesak satu hal yaitu apakah mereka juga menyatakan hidup Kristen mereka adalah hidup Kristen yang berbuah dengan melimpah.

Titus diutus oleh Paulus ke Korintus untuk membereskan persoalan yang berat yang terjadi di sana. Paulus kemudian mendengar beberapa kabar melalui Titus, ada good news tetapi ada juga bad news. Kabar baiknya ialah teguran Paulus yang keras melalui suratnya telah memberikan perubahan di dalam jemaat Korintus. Maka Paulus bersyukur untuk perkembangan baik ini. Dulu dia merasa menyesal karena teguran itu telah mendukakan hati mereka. Tetapi sekarang dia bersyukur karena ada hasil yang baik melalui berita yang disampaikan oleh Titus terjadi transformasi hidup, terjadi pertobatan, terjadi perubahan hidup.

Tetapi ada kabar kurang baik yang disampaikan Titus. Kita akan melihat konteksnya terlebih dahulu di pasal 8 dan 9. Di pasal 9:1-2 kita melihat Korintus adalah ibukota dari negara bagian Akhaya, satu kota yang makmur dan jemaatnya rata-rata orang kaya. Sedangkan tidak jauh dari sana ada negara bagian Makedonia, di mana jemaatnya terdiri dari orang-orang yang sederhana. Jemaat Korintus yang kaya itu telah memulai satu proyek untuk mengirim bantuan uang kepada gereja di Yerusalem. Paulus mengatakan dengan bangga kepada jemaat di Makedonia dan daerah-daerah yang lain, “Akhaya sudah siap sejak tahun yang lalu…” Tetapi sekarang dia menjadi malu karena jemaat Korintus tidak lagi mengumpulkan uang untuk jemaat Yerusalem. Kita tidak tahu apa sebabnya. Maka dengan latar belakang ini, di pasal 8 dan 9 ini Paulus bicara mengenai konsep apa artinya kita memberi. Jadi sudah ada kerinduan, sudah ada hal yang baik untuk memulai karena mereka sadar mereka sudah mendapat berkat karena gereja Yerusalem mengutus misionari pergi sampai akhirnya mereka bangsa kafir bisa mendengar Injil. Tetapi ada perbedaan status sosial. Orang-orang Kristen non-Yahudi ini jauh lebih kaya daripada orang-orang Kristen Yahudi. Maka jemaat Korintus yang merasa berhutang budi dan berhutang Injil kepada jemaat Yerusalem memutuskan untuk mengirim uang kepada mereka. Ini yang membuat Paulus begitu bangga kepada mereka. Kerinduan ini lalu Paulus sampaikan juga ke daerah-daerah yang lain. Cuma akhirnya terjadi hal ini, Makedonia gereja yang begitu sederhana dan miskin justru bereaksi dengan sukacita dan merealisasikan proyek ini dengan baik. Mereka mengumpulkan uang, tetapi gereja Korintus justru tidak melakukannya. Maka Paulus bilang kepada mereka, jangan sampai kebanggaanku kepadamu menjadi luntur. Sebagai jemaat yang begitu berlimpah dengan kekayaan dan juga telah berinisiatif untuk melakukan sesuatu, tetapi tidak boleh berhenti sampai di angan-angan, cita-cita dan ide saja. Jadi seorang Kristen jangan hanya suka melontarkan ide, tetapi harus juga diselesaikan, dijalankan dan dilakukan.

Maka di pasal 8 dan 9 ini Paulus khusus bicara mengenai “persembahan kasih”, the act of grace. Jadi dari konteksnya ini bukan bicara mengenai persembahan syukur yang rutin dijalankan, tetapi persembahan bantuan kepada jemaat di Yerusalem. Paulus menyebutnya sebagai ‘the act of grace,’ istilah ini menjadi satu hal yang penting sekali. Pertama, pemberian kasih kita tidak mungkin keluar dari hidup kita kalau tidak didorong dengan satu perasaan bahwa kita terlebih dahulu sudah mendapatkan anugerah Allah. Yang kedua, semakin sadar kita betapa besar anugerah yang datang kepada kita itu maka kita akan merasa apa pun yang kita beri tidak bisa melampaui anugerah yang kita sudah terima itu. Itu sebab di pasal 9:15 Paulus menutup dengan satu kalimat yang saudara dan saya harus akui sampai kapanpun tetap berhutang kepada Tuhan. Paulus mengatakan, “thanks to the Lord for His unspeakable gift…” Syukur kepada Allah oleh karena kasih karuniaNya yang tak terkatakan itu. Apakah ‘the unspeakable gift’ itu? Tidak lain dan tidak bukan adalah Yesus Kristus. Dia adalah the unspeakable gift dari Allah. Paulus sadar sesungguh-sungguhnya, ini adalah anugerah Tuhan yang tidak sanggup kita ungkapkan dengan kata-kata, yang hanya bisa melahirkan rasa syukur kita kepada Tuhan. Hidup kita sebagai orang Kristen dilandasi dengan pemahaman seperti itu. Sehingga pada waktu kita memberi sesuatu, itu adalah ‘the act of grace.’ karena kesanggupan untuk memberi itu bukan datang dari kita. Kita sanggup untuk memberi sebab kita terlebih dahulu sudah diberi. Dan berapa besar hati kita untuk bisa memberi itu depends on berapa besar kita menilai dan menghargai anugerah itu. Maka Paulus mengingatkan kita, that grace is the unspeakable gift.

Jemaat Korintus merupakan jemaat yang jauh berbeda dibandingkan dengan jemaat Makedonia. Paulus bukan ingin mempermalukan jemaat Korintus, tetapi dia ingin komparasi dengan jemaat Makedonia itu boleh menjadi cambukan kepada jemaat Korintus. Pertama, jemaat Korintus yang sudah memulai tetapi malah yang lain yang menyelesaikannya. Kedua, di pasal 8:7 Paulus jelas-jelas mengatakan jemaat Korintus ini adalah jemaat yang kaya dibandingkan jemaat yang lain. Mereka kaya di dalam segala sesuatu, di dalam iman, di dalam perkataan, di dalam pengetahuan, di dalam kesungguhan dan di dalam kasih. Dan sekarang hendaklah juga mereka kaya di dalam pelayanan kasih itu. Kalau kita membaca surat-surat Paulus kepada jemaat yang lain, saudara dansaya akan melihat jelas jemaat Korintus memang adalah jemaat yang penuh dengan karunia. Mereka adalah jemaat yang ‘high class,’ jemaat yang memiliki pendidikan yang tinggi. Maka sekarang Paulus katakan, mari engkau juga kaya di dalam hidup yang memiliki generosity. Hidup yang sanggup bisa memberi kepada orang lain. Paulus membandingkan mereka dengan jemaat Makedonia, yang Paulus begitu sungkan karena mereka jemaat yang sangat sederhana dan miskin. Tetapi Paulus bersaksi kepada Korintus bahwa jemaat Makedonia ini memberi melampaui apa yang mereka punya. Itu sebab di sini kita bisa belajar sebagaimana kesadaran gereja Makedonia di dalam dua hal ini. Pertama, saya bisa memberi bukan karena saya punya, tetapi karena saya sudah terlebih dahulu menerima. Kedua, saya bisa memberi berlebih karena saya menghargai anugerah itu begitu indah di dalam hidupku.

Immanuel Kant, seorang filsuf yang mengajarkan “Imperative Ethics” bagi saya merupakan salah satu etika yang tinggi sekali, mengatakan, “Kalau engkau melakukan satu kebaikan for the goodness itself, itu baru suatu kebaikan yang benar. Sebab jikalau engkau melakukan satu kebaikan “karena”, kebaikanmu itu belum merupakan satu kebaikan tertinggi.” Ini adalah konsep yang luar biasa. Kalau engkau baik kepada seseorang “karena” dia sudah baik kepadamu, itu belum merupakan kebaikan yang tertinggi. Yang lebih rendah lagi adalah kalau engkau baik kepada seseorang “supaya” dia berbuat baik kepadamu. Kalau engkau memberi karena memberi itu sendiri , itu baru satu kebaikan tertinggi. Tuhan Yesus pernah mengatakan, kalau tangan kananmu memberi, janganlah tangan kirimu mengetahuinya (Mat. 6:3). Maksudnya apa? Mana ada tangan kanan memberi tanpa diketahui tangan kiri? Maksud Tuhan Yesus di sini, tangan kanan memberi, tangan kiri tidak boleh meminta balas. Jadi kalau kita memberi untuk mendapat balasan, itu bukan satu pemberian yang indah.

Maka Paulus mengatakan, pemberianmu adalah the act of grace. Kita memberi karena kita sudah mendapatkan anugerah yang kaya dan melimpah dari Tuhan. Jemaat Makedonia walaupun di dalam kesulitan dan kemiskinan bisa melakukan sesuatu melampaui apa yang ada di dalam hidup mereka. Itu adalah suatu hal yang sangat indah. Paulus memberikan beberapa prinsip di mana hidup kita adalah hidup karena sudah ditopang oleh anugerah Allah yang tak terkatakan itu, yang hanya bisa melahirkan hati yang bersyukur. Tetapi kita tidak boleh hanya sampai kepada satu sensasi syukur atas apa yang Tuhan sudah beri kepada kita, tetapi kita belajar menyatakan secara nyata bagaimana menjadi orang Kristen yang lebih murah hati.

Paulus mengatakan beberapa hal yang penting. Pertama, Tuhan tidak pernah menuntut orang untuk memberi melampaui apa yang dia tidak punya. Belajar memberi dari apa yang engkau punya (8:12). Kedua, belajar memberi karena engkau rela (9:7). Kata “rela” adalah kata yang tidak mudah. Rela itu merupakan kunci yang paling penting di dalam hidup kita yang membuat segala sesuatu menjadi enteng dan ringan. Kalau tidak rela, barang 1 kilo pun di tangan terasa berat bukan main. Jadi bukan berapa besar dan beratnya yang menentukan sesuatu tetapi berapa besar perasaan hati kita rela itu yang membuat keringanannya. Paulus bilang, kalau engkau punya hati yang rela, engkau memberi dengan sukacita. Kemudian Paulus memberikan prinsip bagaimana menjadi orang Kristen yang generous di pasal 9:6-15. Pertama, “camkanlah ini: orang yang menabur sedikit akan menuai sedikit, orang yang menabur banyak akan menuai banyak.” Artinya apa? Artinya, orang yang memberi tidak akan pernah kehilangan daripada apa yang dia sudah beri. Jadi pada waktu saudara memberi, saudara jangan berpikir ada sesuatu yang terhilang dari hidupmu. Prinsip ini memberitahukan kita, apa yang kita beri itu tidak akan pernah terhilang dari hidupmu. Sehingga the giver is never become the loser. Seorang yang memberi tidak akan pernah menjadi loser. Barangsiapa yang menabur banyak, dia akan menuai banyak. Barangsiapa menabur sedikit, dia akan menuai sedikit. Secara prinsip sederhana, logisnya kalau saudara tabur 10 benih padi, benih itu akan mengeluarkan 10 batang padi yang akan menghasilkan lebih banyak dari 10 benih yang tadi saudara tabur. Tetapi kalau yang kita tabur itu sesuatu yang abstrak, analogi tadi akan sulit untuk kita pahami.

Banyak hamba Tuhan dari Prosperity “Theology” memakai ayat ini mengatakan, “Kalau saudara memberi $100, maka Tuhan akan memberkatimu $1000.” Itu penafsiran yang keliru, karena kalau kita membaca dengan teliti bagian ini Paulus tidak bicara seperti itu. Maksud ayat ini adalah apa yang engkau tabur itu tidak akan pernah hilang. Dia pasti akan menghasilkan buah. Buahnya adalah, pada waktu kita memberi sesuatu pasti akan mendapatkannya dengan berkelimpahan. Tetapi yang kita akan dapat itu tidak boleh dipersempit pengertiannya. Kalau saudara memberi perhatian dan waktu kepada orang, maka saudara mungkin akan mendapat bukan sekadar perhatian saja, tetapi hal-hal yang lain. Kalau saudara memberi bantuan uang kepada orang lain, saudara tidak hanya mendapat balik uang tetapi juga akan mendapatkan lebih daripada itu. Ayat 10, “engkau akan menghasilkan buah-buah kebenaran..” Dengan memberi sesuatu, the act of grace itu akan membuatmu lebih fruitful. Ada buah-buah kebenaran yang dihasilkan. Engkau menjadi orang yang kaya.

Rockefeller sendiri mengatakan, “Orang yang paling miskin di dalam dunia ini adalah orang yang tidak punya apa-apa selain uangnya.” Kekayaan kita tidak boleh hanya diukur dari satu aspek saja. Maka Paulus bilang, engkau akan melipat-gandakan dan menumpukkan buah-buah kebenaran. Engkau akan menjadi kaya. Dalam hal apa? Melalui the act of grace itu, melalui perhatian, waktu, doa dan pelayanan, saudara memberi uangmu untuk membantu orang, semua itu tidak pulang dengan sia-sia tetapi akan menghasilkan begitu banyak buah-buah kebenaran. Engkau akan menjadi seorang Kristen yang kaya, kaya di dalam kasih dan generosity, kaya di dalam kemurahan hati, kaya di dalam hal membangkitkan syukur kepada Allah (ayat 11). Pelayanan kasihmu itu bukan saja mencukupkan keperluan orang tetapi melimpahkan ucapan syukur orang itu kepada Tuhan. Engkau akan berlimpah dengan begitu banyak teman yang berdoa bagimu (ayat 14). Kaya dengan orang-orang yang banyak mendoakanmu. Betapa besar kekayaan ini, kalau saudara memiliki banyak teman-teman yang mendukung dan mendoakanmu, bukan? Betapa kayanya kalau saudara bukan hanya merupakan orang yang berlimpah dengan kemurahan hati memberi kepada orang lain tetapi berlimpah karena kebesaran hatimu. Betapa kayanya kalau melalui hidup yang memberi kepada orang, begitu banyak orang mengucap syukur kepada Tuhan. Apa lagi yang kita butuhkan selain hasil dan buah yang indah seperti itu?

Prinsip yang kedua, ayat 8 dan 10 “Dia yang menyediakan benih itu dan yang memberi roti untuk dimakan…” Prinsipnya, saya memberi sebab Tuhan yang provide terlebih dulu. Menjadi seorang Kristen adalah saya bersyukur kepada Tuhan. Saya memberi bukan karena saya berkelimpahan saja. Saya memberi oleh sebab Tuhan memberi dan menyediakannya kepada saya. Prinsip yang kedua, belajar menjadi seorang jurukunci yang setia terhadap apa yang Tuhan kasih kepada kita. Kenapa kita memberi? Sebab memang ini bukan punya kita, ini bukan milik saya selama-lamanya. Kita datang tidak membawa apa-apa, kita kembali kepada Tuhan kita juga tidak membawa apa yang kita punya selama di dunia. Kita datang dengan telanjang, waktu kita pergi kita hanya memakai stelan jas yang cukup baik. Paulus mengingatkan, semua yang kita punya itu Tuhan yang sediakan. Artinya, Tuhan memberi kepada kita, berarti kita hanya penatalayan Tuhan, orang yang belajar setia mengelola dan memakai apa yang sudah Tuhan beri kepada kita. Prinsip ini penting, prinsip ini menjadikan hidup orang Kristen menjadi hidup yang indah. Tuhan memberi kita anak, ini bukan anak kita. Tuhan memberi kita pekerjaan dan karir, ini bukan milik saya. Tuhan memberi kita keluarga, kita harus selalu berpikir ini semua adalah dari Tuhan dan saya mau kelak ini semua menjadi alat yang Tuhan pakai dan menjadi berkat bagi orang lain. Jiwa memberi selalu keluar dari hati seorang yang menyadari bahwa dia dipanggil Tuhan sebagai penatalayan yang setia terhadap apa yang Tuhan kasih.

Prinsip yang ketiga, ayat 8 “Allahku sanggup melimpahkan segala kasih karunia kepadamu supaya kamu senantiasa berkecukupan di dalam segala sesuatu dan malah berkelimpahan di dalam berbagai kebajikan.” Dalam Fil.4:19 Paulus mengatakan, “Allahku akan memenuhi segala keperluanmu…” Ingat akan hal ini, Allah kita itu kaya dan mulia. Artinya, Dia punya unlimited resources dan Dia sanggup mencukupkan segala keperluanmu, tetapi bukan keinginanmu. Tuhan tidak berjanji untuk mencukupkan segalanya. Orang sering bilang, bukankah Dia Allah yang kaya berarti Dia bisa memberi sebanyak yang saya mau, bukan? Saudara perhatikan, kalau Allah hanya memberimu $100, bukan berarti uang-Nya cekak. Tetapi Dia berjanji memberikan dan memenuhi apa yang kau perlukan. Dia Allah yang kaya, yang sanggup mencukupkan segala sesuatu, sehingga engkau hidup di dalam berkecukupan. Jadi Paulus menggabungkan dua hal, Tuhan berjanji Tuhan tidak pernah lalai di dalam mem-provide anak-anak-Nya yang berada di dalam pemeliharaan-Nya. Jangan berpikir bahwa Tuhan itu careless. Dia berjanji akan memberikan danmencukupkan apa yang kau perlukan. Itu sebab kenapa menjadi orang Kristen yang selalu kuatir dan merasa harus menyimpan sesuatu karena takut tidak punya? Tetapi muncul hal kedua, Allah juga adalah Allah memberi supaya kita berkecukupan. Kata ‘berkecukupan’ di dalam bahasa aslinya ‘autarke’, mungkin diterjemahkan: kesanggupan untuk hidup cukup dan puas dari apa yang ada. Sanggup untuk bisa hidup dari apa yang ada di tangan kita. Kita kadang-kadang sudah pikir lebih dahulu, kita tidak bisa hidup kalau tidak punya ini dan itu di tangan kita.

Berapa banyak sebenarnya yang kita rasa cukup untuk hidup satu hari? Orang sering berpikir bahwa yang dia perlu untuk hidup itu banyak sekali dan dia tidak bisa hidup kalau tidak punya semua itu. Coba kalau kita berada di dalam satu situasi di mana kita cuma punya satu potong roti untuk satu hari, kita baru sadar ternyata sepotong roti itu cukup untuk kebutuhan kita. Orang yang tersesat di hutan membuktikan dia bisa survive beberapa hari dengan dua potong permen di tasnya. Itu artinya bagaimana kita belajar hidup mencukupkan diri dengan yang kita perlu, itu artinya autarke. Tidak ada gunanya Tuhan kasih banyak kalau tidak ada hati yang berkecukupan. Hati yang berkecukupan itu membuat hati kita punya dasar dan alas. Kalau tidak, dia akan bocor terus, tidak pernah merasa cukup dikasih berapa banyakpun tidak akan penuh. Maka ayat ini menjadi indah sekali, Tuhan sanggup memenuhi segala sesuatu, namun engkau perlu belajar hidup berkecukupan. Bukan itu saja, engkau akan berlimpah di dalam kebajikan. Tanpa memiliki hati yang berkecukupan ini, maka prinsip untuk hidup menjadi berkat bagi orang lain menjadi tidak ada di dalam hidup kita. Itu sebab saya selalu mendefinisikan kata ‘cukup’ bukan kalau kita sudah mencapai satu standar tertentu sebab standar itu tidak akan pernah statis dan standar itu bersifat relatif pada setiap orang. Maka saya lebih setuju melihat cukup itu bukan berdasarkan apa yang saya bisa capai dan raih tetapi cukup itu ditandai dengan apa yang bisa keluar dari hidup seseorang. Kalau ada sesuatu mengalir dari hidup saudara, itu berarti saudara cukup dan puas dengan apa yang kau punya sehingga itu bisa mengalir keluar dari hidupmu.

Bukan Allah tidak sanggup mencukupkanmu. Dia memberi kasih karunia yang membuatmu bisa hidup berkecukupan, bahkan hidup berkelimpahan. Kelimpahan itu keluar dari kecukupan. Itu rahasianya. Kelimpahan tidak akan keluar kalau orang berpikir dia dapat yang banyak dulu baru berlimpah keluar. Kalau hatimu tidak dipenuhi dengan hati yang puas, you tidak akan pernah merasa cukup. Kelimpahan mengalir dari kecukupan. Jadilah seorang Kristen yang setia dan jadilah seorang Kristen yang berbuah. Hidup sebagai orang Kristen yang faithful dan hidup sebagai orang Kristen yang fruitful. (kz)

Sumber:
http://www.griisydney.org/ringkasan-khotbah/2008/2008/09/14/the-act-of-grace-faithful-and-fruitful/

Pengoreksi: Denny Teguh Sutandio
DI PERSIMPANGAN JALAN TERDENGARLAH AJAKANNYA!

Rekan-rekan yang budiman!

Dalam Mat 22:1-14 ditampilkan perumpamaan mengenai siapa yang akhirnya masuk ke dalam Kerajaan Surga dan bagaimana mereka sampai ke sana. Ada orang-orang yang sebenarnya sejak awal beruntung karena "diundang ke perjamuan" tetapi malah meremehkannya. Karena itulah keberuntungan yang sebenarnya akan mereka nikmati kemudian beralih kepada orang-orang lain yang tadinya tak masuk hitungan. Apa artinya semua ini bagi kehidupan kini?

DUA MACAM PENYAMPAIAN
Selain dalam Mat 22:1-14, perumpamaan tentang undangan yang menolak datang itu didapati juga dalam Luk 14:15-24. (Untuk penjelasan versi Lukas, lihat _Langkahnya...Langkahku!_ [Kanisius, Yogyakarta 2005], hlm. 155-156.) Namun ada tiga hal yang khas pada versi Matius.

1. Dalam Injil Matius, undangan itu ke perjamuan makan siang (Yunani "ariston", Latin "prandium") dalam pesta nikah seorang anak raja. Lukas menyebut perjamuan makan malam (Yunani "deipnon", Latin "coena") yang besar yang sudah disanggupi para undangan. Seperti kebiasaan kita, pada zaman itu jamuan meriah untuk membangun keakraban biasanya diadakan pada malam hari. Lebih relaks, lebih membangun suasana. Kesempatan seperti itu tidak diadakan siang hari kecuali peristiwanya amat penting dan resmi seperti halnya pesta nikah. Inilah yang lebih ditonjolkan Matius. Perjamuan dalam pesta nikah lebih resmi daripada perjamuan untuk membangun keakraban. Hadirin diajak ikut menjadi saksi peristiwa itu. Apalagi pesta nikah anak raja.

2. Dalam perumpamaan Matius, sang raja sampai dua kali mengundang. Yang kedua kalinya bahkan nadanya memohon. Tetapi orang-orang yang diundang tetap tidak mau datang. Matius menggarisbawahi penolakan yang makin keras. Ada yang tak peduli, ada yang meremehkan undangan, malah menyiksa dan membunuh suruhan raja. Ini sama dengan memutuskan hubungan. Lukas lain. Ia lebih menekankan pengingkaran janji dan dalih para undangan yang sudah bersedia datang ketika diundang.

3. Matius dan Lukas sama-sama mengatakan bahwa akhirnya orang-orang lain yang tadinya tidak diundang kini didatangkan ke perjamuan. Tetapi Matius masih menceritakan bahwa sang raja mendapati orang yang datang tanpa pakaian pesta. Orang itu kemudian tidak diperbolehkan ikut pesta dan dikeluarkan. Lukas tidak menyinggung adanya orang yang tak pantas ikut perjamuan malam. Tetapi ia meneruskan perumpamaan itu dengan menyampaikan pengajaran Yesus mengenai perlunya komitmen utuh di dalam mengikutinya.

Matius berbicara kepada umat yang berasal dari lingkungan Yahudi. Bagi mereka "perjamuan nikah" dan datang dengan "pakaian pesta" memiliki arti yang khusus yang tidak segera ditangkap oleh orang dari kalangan lebih luas seperti halnya umat Lukas. Marilah kita lihat dari dekat kedua gambaran yang dipakai Matius itu.

PERJAMUAN NIKAH
Disebutkan "Kerajaan Surga seumpama seorang raja yang mengadakan perjamuan nikah untuk anaknya". Bagi pembaca Matius, "perjamuan nikah" membangkitkan gagasan yang lebih dari pada sekedar hadir dalam resepsi, melainkan mengikuti upacara religiusnya dan berbagi dalam hikmatnya. Dalam kesempatan seperti itu dulu kerap didendangkan lagu-lagu kasih antara mempelai lelaki dan mempelai perempuan. Lagu-lagu itu dapat amat erotik, tapi sekaligus juga amat religius. Salah satu bentuk yang paling dikenal dan sudah menjadi bagian Kitab Suci ialah Kidung Agung. Ada saling pujian antar mempelai mengenai keelokan masing-masing (Kid 1:9:2:7), mengenai kerinduan untuk semakin dekat satu sama lain (Kid 3:1-5; 5:2-8), mengenai nikmatnya kasih antara keduanya (Kid 7:6-8:4). Di dalam kidung-kidung itu kasih antara kedua mempelai tampil sebagai tempat kehadiran yang ilahi tanpa perlu mengatakannya demikian. KehadiranNya memanusia dalam ujud yang paling bisa dirasakan. Bagi orang Yahudi, ikut serta dalam upacara dan perjamuan nikah dalam arti ini dapat mendekatkan orang pada kemanusiaan dan keilahian sekaligus. Karena itu juga penolakan ikut serta perjamuan lebih daripada sekedar tidak hadir dalam pesta.

Menolak ajakan untuk menyaksikan pesta nikah juga membuat pesta menjadi sepi dan hambar. Panggilan pertama tidak dipenuhi. Raja yang sebetulnya penuh wibawa kemudian bersikap menghimbau. Ia merendah. Satu kali tidak digubris, ia berusaha lagi. Malah seakan-akan memohon belas kasihan para undangan: jangan biarkan pesta jadi rusak, hidangan sudah siap, lembu dan ternak piaraan sendiri telah dipotong. Tetapi yang diundang semakin meninggikan diri, dan menjadi takabur, dan akhirnya malah membunuh pesuruh sang raja. Mereka tidak mau diganggu lagi. Mereka memutus hubungan. Terlihat betapa kerasnya penolakan terhadap ajakan untuk ikut serta dalam kesempatan yang sebenarnya bakal membuat siapa saja yang ikut semakin utuh hidupnya, semakin memasuki Kerajaan Surga!

Mereka yang menolak kehilangan dua hal. Pertama rusaklah hubungan dengan raja yang bisa melindungi mereka. Kedua mereka kehilangan kesempatan ikut pesta nikah yang meriah yang memiliki arti khusus tadi. Jadi mereka itu semakin menjauhkan diri dari yang bakal membuat hidup mereka berarti. Mereka menjauh dari Kerajaan Surga. Inilah yang hendak ditunjukkan dalam perumpamaan ini.

ORANG-ORANG DI PERSIMPANGAN JALAN
Kerap dijelaskan bahwa para undangan yang menolak datang itu ialah orang Yahudi dan mereka yang didatangkan dari jalanan itu ialah pengikut Yesus. Yang pertama kehilangan Kerajaan Surga, yang kedua memperolehnya. Para hamba yang disuruh mengundang ialah nabi-nabi dan kemudian yang diperlakukan dengan buruk ialah para rasul. Tafsir alegori ini sudah lama dikerjakan. Dan bahkan sudah mulai pada zaman Injil sendiri ditulis. Namun demikian masih ada keleluasaan untuk memahami perumpamaan ini sebagai perumpamaan untuk membaca kehidupan orang zaman ini, untuk mengartikan kehidupan kita.

Karena perjamuan nikah telah tersedia tapi yang diundang tak layak datang, maka raja menyuruh hamba-hambanya ke persimpangan jalan, membawa orang-orang yang mereka temui di sana, siapa saja, ke perjamuan nikah tadi. Tak pilih bulu siapa saja didatangkan. Dan pesta itu diselamatkan oleh kehadiran mereka-mereka ini.

Yang dimaksud dengan persimpangan jalan ialah lapangan tempat orang biasanya berkumpul dengan macam-macam maksud: istirahat, menunggu kesempatan kerja, melewatkan waktu, berjualan, membeli. Apa saja. Kegiatan sehari-hari yang bermacam-ragam. Orang-orang yang di situ dengan macam-macam keadaan itulah yang diminta datang ke perjamuan nikah. Di persimpangan jalan...hidup itulah disampaikan ajakannya.

Bagaimana membacanya dengan cara yang lebih cocok bagi zaman ini? Perumpamaan tadi mulai dengan "Kerajaan Surga seumpama.." Jadi dimaksud membantu agar orang menyadari bagaimana cara Yang Mahakuasa mengajak siapa saja ikut masuk ke dalam kehidupan keluargaNya, ke dalam keintiman yang tidak bisa sembarangan dimasuki. Dengan mengajak orang ikut serta dalam kegembiraan pesta nikah anaknya, sang raja tadi ingin berbagi kegembiraan. Bahkan boleh dikatakan, kegembiraannya itu baru menjadi nyata bila ikut dirasakan orang lain. Ia berusaha mendatangkan orang-orang untuk ikut. Bahkan ia memohon agar mereka datang. Tetapi permohonan ini dihadapi dengan sikap keras hati dan penolakan. Tidak mau mengambil bagian dalam kehidupan yang sebenarnya tidak dapat sebarangan dibagikan. Penolakan ini makin memisahkan dan menjauhkan mereka satu sama lain. Juga membuat sang raja putus asa dan merasa pestanya bakal rusak. Tetapi ia tidak menyerah. Pestanya itu kemudian dibuka bagi siapa saja yang tadinya tidak termasuk hitungan.

PAKAIAN PESTA
Pesta nikah itu terlaksana justru karena hadirnya orang-orang jalanan tadi. Kerajaan Surga semakin menjadi kenyataan karena dimasuki, dihuni, dikembangkan. Kepada pembaca diberikan ajakan yang amat kuat. Ayo ikut membuat kehidupan yang nyata ini bagian dari Kerajaan Surga. Bisakah dibalik sehingga dikatakan membuat Kerajaan Surga menjadi bagian dari kehidupan? Sama sekali tidak! Seolah-olah kerajaan itu sudah ada dan jadi dan tinggal dimasuki, seperti menaiki kereta yang akan jalan. Tiap orang diminta menemukan wujud Kerajaan Surga baginya. Bahan mentahnya: kehidupan sehari-harinya, kehidupannya di persimpangan jalan. Namun untuk itu perlu memakai pakaian pesta.

Dalam alam pikiran Semit, pakaian memberi bentuk kepada orang yang memakainya sehingga dapat dikenali. Tidak mengenakan pakaian pesta berarti datang tanpa sungguh mau mengikuti pesta. Orang baru dapat dikatakan datang ikut perjamuan pesta bila memang mau menghadiri pesta itu, bukan untuk urusan lain. Datang tanpa pakaian yang cocok berarti tidak membiarkan diri dikenal sebagai yang datang untuk itu. Komitmen setengah-setengah ini kurang dapat menjadikan hidup orang menjadi bagian dari hidup dalam Kerajaan Surga. Kebalikannya, datang dengan mengenakan pakaian pesta berarti datang tanpa maksud atau tujuan lain. Yang bersangkutan akan dikenali sebagai orang yang hidupnya sedang berubah dari yang ada di persimpangan jalan menjadi dia yang hidup dalam perjamuan yang makin memanusiakan dan makin mendekatkan ke keilahian.

Salam hangat,
A. Gianto
MUSA, PEMIMPIN PILIHAN TUHAN

oleh: Ev. Ir. Pieters K. Pindardhi, M.Div.
(salah satu dosen di Sekolah Tinggi Theologi Reformed Injili Indonesia–STTRII Jakarta yang meraih gelar Master of Divinity–M.Div. dari STTRII Jakarta)

Nats: Keluaran 3:1-10

Kali ini kita akan merenungkan satu topik tentang “Musa Pemimpin Pilihan Tuhan.” Topik ini dapat dikembangkan lebih jauh berkaitan dengan bagaimana Allah memimpin orang-orang Kristen untuk melayani Dia dan menjadi hamba-hamba-Nya.

Topik mengenai “Musa pemimpin pilihan Allah” itu dapat dikaitkan dengan bagaimana prinsip-prinsip yang terjadi dalam Allah memanggil Musa, jikalau dikaitkan dengan kita. Hari ini saya mengajak kita belajar lima alasan Musa yang hampir saja mengubur Musa. Alasan musa ini merupakan alasan yang hebat dan itu secara orisinil bisa juga muncul dalam benak kita yang kita pikir inilah alasan yang hebat namun setelah kita bandingkan dengan Musa ternyata alasan itu pernah dipakai oleh Musa juga. Dan jikalau itu alasan hebat bagaimanakah Tuhan memberikan alasan yang tepat sehingga Musa akhirnya harus mengikuti apa yang Tuhan mau.

Pertama, Musa merasa kurang mampu (Kel. 3:10-11). Di dalam bagian ini kita melihat bagaimana jawaban Musa terhadap pertanyaan Tuhan. Jawaban Musa terhadap Tuhan merupakan suatu pertanyaan retoris yang seolah-olah suatu pertanyaan yang sulit bagi Tuhan. Di sini alasan yang pertama yang Musa berikan adalah Musa merasa kurang mampu. Hal ini dapat kita mengerti, karena pada waktu seseorang memasuki usia yang kira-kira melebihi 50 tahun maka secara biopsikososial ia tidak mengalami kebugaran lagi atau biopsikososial itu hampir tidak ada lagi. Jadi kebugaran secara biologis, secara psikologis, secara sosiologis itu mengalami pengurangan yang banyak sekali. Seorang ahli mengatakan seorang yang berusia 50 tahun ke bawah 10% nya mengalami sumbatan serotik di batang leher. Sumbatan ini akan mengakibatkan kekurangan pengurangan saluran darah ke otak dan itu akan mengakibatkan penurunan daya pikir. Dan 40% orang yang berusia 50 tahun ke atas mengalami penyumbatan semacam ini. Perhatikan Musa sudah berusia 80 tahun tatkala Tuhan memanggil sehingga dia merasa sudah tua, sudah rapuh dan sudah tidak berdaya. Siapa saya Tuhan? Ini merupakan satu ungkapan yang dilontarkan Musa kepada Tuhan yang seolah-olah logis dari sisi Musa. Waktu Musa memberikan sanggahan ini, apakah yang menjadi jawaban Tuhan? Tuhan menjawab, “Bukankah Aku akan menyertai engkau.” Di sini waktu Musa mengungkapkan aku tidak mampu Tuhan, sanggahannya dihadapkan dengan keberadaan diri Allah. Kamu akan berhadapan dengan Firaun bukankah Aku menyertai engkau. Dengan demikian Tuhan sedang menegaskan diri dengan satu pribadi yang lebih besar daripada Firaun, yang lebih perkasa, lebih hebat daripada Firaun. Dan jikalau Musa mengatakan tugasku terlalu besar Tuhan membawa bangsa Israel, Tuhan juga mengatakan, “Lihatlah Aku, Aku menyertai engkau.” Itu berarti Tuhan yang berkarya melalui hidup Musa. Lihatlah pribadi Tuhan, lihatlah Tuhan adalah Tuhan yang berkarya. Itu yang dimaksud Tuhan dengan jawaban ini. Jangan pandang dirimu yang merasa tidak mampu atau tidak berdaya, ada Tuhan yang berkarya melalui dirimu. Itu menjadi alasan yang cukup untuk engkau bergerak. Musa pasti menjadi gentar karena kalau kita lihat di pasal tiga dia dari seorang gembala sekarang dia dipanggil untuk menjadi pemimpin bangsa Israel dan harus memimpin orang yang begitu banyak. Ini tidak mudah! Tapi Tuhan mengatakan, "Bukankah Aku menyertai engkau? (ay. 12) Di sini kita dapat menyimpulkan bahwa Allah adalah oknum yang ribuan tahun pakar di dalam menolong manusia." Hal ini harus menjadi kesimpulan dari setiap anak Tuhan dari jawaban terhadap Musa.

Kedua, Musa merasa kurang mengerti (Kel. 3:13). Sanggahan Musa yang kedua Musa merasa kurang mengerti, merasa kurang mampu. Musa berpikir kalau nanti dia bertemu dengan orang-orang apa yang harus saya katakan, Tuhan? Saya tidak tahu harus bicara apa? Setelah Musa memberikan sanggahan semacam ini. Tuhan memberikan jawaban kepada Musa, “Aku adalah Aku.” Di sini Allah memberikan solusi kepada Musa dengan menjelaskan tentang diriNya. Allah menjawab, “Aku adalah Aku.” (I Am that I Am) Ini menunjukkan bahwa Allah merupakan keberadaan yang terus ada dan tidak berubah. Di dalam kalimat ini Allah mengatakan, “Inilah aku Allah yang tidak berubah di dalam janji-Ku untuk menjaga umat keturunan Abraham ini, Aku yang tidak berubah di dalam rencana-Ku.” Ini adalah ketidakberubahan yang menjadi ciri kesempurnaan Allah dan semua ini akan digenapi. Ketidakberubahan ini menjadi ciri kesempurnaan Allah yang diperkenalkan Allah kepada Musa. Waktu Musa merasa kurang mengerti, Allah memberikan pertolongan melalui cara: (1) Tuhan memberikan pengertian tentang siapa diri-Nya? (2) Allah menyatakan strategiNya (ay. 15-16). Di sini Allah menyuruh Musa untuk menemui para tua-tua Israel di mana melalui mereka nanti diberikan dan dijabarkan hal yang Allah akan sampaikan. Dan Tuhan akan memberikan bimbingan untuk apa yang harus dia katakan. (3) Allah juga memberikan pengharapannya (ay. 18). Kata ‘dan bilamana mereka mendengar perkataanmu’ di dalam ayat 18 ini terjemahanan lain, “mereka akan mendengar perkataanmu.” Ini solusi yang Tuhan berikan atas ketidakmengertian Musa.

Ketiga, Musa merasa kurang kredibilitas (Kel. 4:1) Sanggahan ketiga Musa merasa kurang kredibilitas. Aristoteles mengatakan kalau kita mau menjadi pembicara yang meyakinkan minimal kita harus memiliki tiga kriteria yaitu (1) good sense yaitu pengertian yang baik, logikalisasi yang baik yang sistematika yang tertata baik itu akan menolong orang akan memahami berita kita. (2) good motivation. Jadi waktu kita bicara mereka sadar bahwa itu untuk keuntungan mereka jikalu pendengar sadar sepenuhnya ini akan menjadi kekuatan pengaruh yang meyakinkan didalam pembicaraan kita. (3) good moral character yaitu pribadi yang berintegritas baik perkataan maupun tingkah laku itu menjadi satu kesatuan dan hidupnya menjadi seorang yang menunjukkan moralitas yang baik. Jikalau tiga hal ini dipadukan ini adalah hal-hal natural yang jikalau dibentuk dan dilatih akan menjadikan orang diyakinkan terhadap perkataan kita. Musa pada waktu itu berkata Tuhan saya ini kurang kredibilitas kalau mereka tidak percaya bagaimana? Musa belum pernah bertemu mereka tiba-tiba bertemu mereka lalu menyebut diri sebagai pemimpin. Kalau mereka tidak percaya bagaimana Tuhan? Secara natural Musa merasa tidak mempunyai syarat sebagai pemimpin mereka. Musa jawabannya dalam hal ini seolah-olah logis. Lalu jawaban Tuhan bagaimana dalam hal ini? Dalam Kel. 4:2, Tuhan menjawab yang intinya Tuhan berkuasa untuk menolong secara supernatural. Musa merasa tidak meyakinkan secara natural untuk dipakai oleh Tuhan, tetapi di mata Allah hal-hal natural tidak menjadi keterbatasan bagi Tuhan, karena Tuhan berkuasa menolong secara supernatural. Di dalam pelayanan kerajaan Allah hal-hal natural memang tidak cukup untuk melayani Tuhan perlu kuasa supernatural. Jadi apa yang dikemukakan oleh Aristoteles yang bersifat natural masih belum cukup, kita masih memerlukan hal yang supernatural. Apalagi waktu kita memberitakan firman Tuhan itu perlu pertolongan Roh Kudus. Tongkat menjadi ular itu baru mungkin jikalau kuasa supernatural Tuhan yang menolongnya.

Keempat, Musa merasa dia tidak mampu bicara (Kel. 4:10; Kel. 6:29). Musa berpuluh-puluh tahun di Mesir menjadi gembala domba. Lalu sekarang dia harus mengurus bangsa Israel, manajemennya bagaimana, logistiknya bagaimana. Lalu bagaimana mengkoordinasi orang-orang dan tua-tua. Lalu nanti menghadap Firaun bagaimana? Tuhan saya tidak bisa bicara Tuhan. ini menjadi keluhan dari Musa. Ini jikalau kita pikirkan seolah-olah menjadi hal yang logis. Tuhan menjawab, “Siapakah yang membuat lidah manusia. Siapakah yang membuat orang bisu atau tuli, yang membuat orang buta melihat. Bukankah Aku ini Tuhan. Oleh sebab itu pergilah aku akan menyertai lidahmu dan mengajar engkau apa yang harus engkau katakan. Di sini prinsipnya, “Pergi dulu baru Tuhan akan mengajar engkau.” Ini berkaitan dengan providensia Allah di dalam pemerintahan Allah. Providensi Allah di sini didefinisikan sebagai kekuatan Ilahi yang bekerja sama dengan hukum-hukumnya yang telah ditetapkan oleh Tuhan bekerja sama begitu rupa sehingga mencapai apa yang dikehendaki oleh Tuhan. Di dalam providensia Allah Tuhan akan menggarap. Tuhan mengatakan kepada Musa, “Pergi Aku akan menyertai lidahmu.” Saudara mari kita juga mengambil tekad dihadapan Tuhan dan melibatkan diri lalu Tuhan akan menggarap itu. Jikalau tidak kita akan sepeti jemaat Korintus yang mubazir semua karunia dan akan menjadi kengerian pengajaran bagi jemaat digenerasi berikutnya.

Kelima, di sini Musa merasa kurang berani (Kel. 4:13). Di dalam bagian-bagian sebelumnya Tuhan sudah memaparkan diri-Nya, memaparkan strategi-Nya, memaparkan pengharapan-Nya dan sudah memaparkan cara Dia menolong secara supernatural. Lalu Musa masih mengatakan Tuhan itu semua masih tidak ada artinya buat aku. Utus orang lain saja. Pada titik inilah Tuhan marah sekali dengan Musa. Saudara, pada titik tertentu kadang-kadang kita memilih mana yang kita takuti. Musa harus memilih dia harus takut pada Firaun atau pada firman Tuhan. Pada waktu Tuhan murka baru Musa sadar dan pada detik itu Musa tidak bisa berdalih lagi. Tuhan sudah memberikan suatu prinsip-prinsip di mana kita harus mengambil sikap di dalam pelayanan. Jikalau tidak, pada saat tertentu Tuhan memberikan pilihan maka hanya ada dua kemungkinan: melayani Tuhan atau melayani diri. Melibatkan diri atau membuang diri. Saudara jikalau pada titik terakhir Tuhan tidak murka, Tuhan tidak marah ini akan menjadi pelajaran buruk bagi generasi berikutnya. Jikalau Tuhan sudah panggil seseorang Tuhan akan tuntut dan orang tersebut tidak mungkin lari dari Tuhan. Mengapa kita harus mengalami murka Tuhan lebih dahulu? Kenapa harus membangkang dan mengalami kesialan lebih dahulu? Alangkah baiknya kalau kita mau taat dan menggarap apa yang Tuhan mau kita kerjakan. Musa akhirnya mau karena dia sadar memang itu harus digarap. Musa memiliki visi dari Tuhan yaitu suatu pemahaman yang jelas tentang realita di depan yang seharusnya. Dibandingkan fakta sekarang yang membuat dia tidak rela dan bertekad untuk menjadi yang seharusnya sesuai dengan kehendak Tuhan. Visi adalah satu pemahaman tentang realitas di depan yang harus terjadi. Dan ketidakrelaan akan fakta sekarang menuntut diri untuk merealisir di kemudian hari. Ketika Musa memahami ini, maka dia mau melibatkan diri. Mari kita pikir hidup kita tahun ini. saya berdoa kiranya Firman Tuhan yang kita dengar pagi ini boleh menjadi kekuatan bagi kita untuk melayani Tuhan. Amin!

Sumber:
Ringkasan Khotbah Ev. Pieters K. Pindardhi di Gereja Reformed Injili Indonesia (GRII) Andhika, Surabaya tanggal 17 Januari 1999

"Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati." (1Samuel 16:7b)
MUTIARA DI BALIK PENGALAMAN PAHIT
oleh: Pdt. Manati Immanuel Zega, S.Th.
(Pendeta di Gereja Utusan Pentakosta di Indonesia–GUPdI Pasar Legi, Solo)

Nats: Kejadian 39:1-23

Perjalanan hidup manusia merupakan sebuah misteri. Misteri yang saya maksudkan, bukanlah seperti yang kita saksikan akhir-akhir ini di media TV, yakni sesuatu yang horor, menakutkan dan membahayakan. Misteri yang dimaksud adalah sesuatu yang rahasia, belum kita tahu persis apa yang bakal terjadi di hadapan kita. Setengah jam mendatang, kita tidak tahu dengan tepat apa yang akan melanda hidup kita.

Dalam menjalani hidup yang misteri ini, seringkali kita mendapatkan berbagai pengalaman. Pengalaman tersebut bisa berupa pengalaman pahit, atau bisa juga pengalaman manis dan menyenangkan. Berbicara mengenai pengalaman, maka harapan kebanyakan orang adalah mendapatkan pengalaman manis dan menyenangkan. Tidak ada orang yang merindukan pengalaman-pengalaman pahit. Mengapa? Karena pada dasarnya, orang lebih suka yang menyenangkan daripada yang pahit.

Atau, hal lain banyak orang Kristen yang salah mengerti, karena pikirnya pengalaman-pengalaman pahit, disebabkan Tuhan tidak mengasihinya atau Tuhan telah jauh dari hidupnya. Oleh karenanya, kalau bisa pengalaman pahit ditolak dan tidak usah terjadi dalam hidup ini.

Tetapi sebagai anak Tuhan, sebagai orang percaya, pertanyaan yang harus kita gumulkan adalah apakah semua pengalaman pahit merupakan indikasi bahwa Tuhan tidak menyertai umat-Nya? Apakah benar bahwa pengalaman pahit merupakan sesuatu yang sangat negatif sehingga kita harus menolaknya?

Dari pembacaan Firman Tuhan tersebut di atas, marilah kita belajar bahwa pengalaman-pengalaman hidup yang pahit sesungguhnya ada manfaatnya agar kita dapat mengenal dengan lebih baik Tuhan yang kita ikuti.

Dalam perjalanan hidupnya, Yusuf diizinkan Tuhan untuk mengalami berbagai pengalaman pahit, pengalaman yang secara manusiawi tidak menyenangkan atau tidak disukai. Pengalaman apa itu?
· Pengalaman ditolak oleh saudara sendiri.
Alkitab memberikan informasi bahwa ketika Yusuf berusia 17 tahun, dia bersama saudara-saudaranya menggembalakan domba. Ketika mereka menggembalakan domba, Yusuf menyaksikan saudara-saudaranya melakukan kejahatan. Lalu, sebagai seorang yang mengasihi Tuhan dan saudara-saudaranya, Yusuf memberitahukan kejahatan tersebut kepada ayahnya, dengan harapan mereka tidak terlalu jauh masuk ke dalam kejahatan-kejahatan berikutnya. Bagaimana respon saudara-saudaranya? Apakah mereka terima dengan senyum dan berkata: “terima kasih ya.” Alkitab memberitahukan, mereka justru sangat membenci Yusuf. (Kej. 37:2)

· Pengalaman tidak disapa dengan ramah oleh saudara sendiri.
Mengapa? Karena kasih sayang ayahnya lebih besar kepada Yusuf dibandingkan dengan saudara-saudaranya yang lain. Akibatnya, Yusuf semakin dibenci. (Kej. 37:4)

· Pengalaman dianggap sebagai pembual.
Hal ini, disebabkan adanya mimpi. Dalam mimpi pertamanya, Yusuf menceritakan demikian: “sementara kita di ladang sedang mengikat berkas-berkas gandum, lalu bangkitlah berkasku dan berdiri tegak, lalu berkas-berkasmu datang dan sujud menyembah pada berkasku.” (Kej. 37:7). Akhirnya, mereka marah lagi kepada-Nya. Dalam mimpinya yang kedua, Yusuf menceritakan, tampak matahari, bulan dan sebelas bintang sujud menyembah kepadaku. Lalu, saudara-saudaranya iri hati kepadanya. Bahkan ayahnya sendiri marah dengan mimpi itu. Ayahnya berkata: “bagaimana mungkin aku dan ibu serta sudara-saudaramu menyembah kepadamu sampai ke tanah?” (Kej. 37:9-10)

· Pengalaman dijual kepada pedagang Midian-orang Ismail.
Kebencian yang sudah ditumpuk sekian lama akhirnya memuncak. Saudara-saudaranya memutuskan untuk memasukkannya ke sumur kosong dan dijual kepada pedagang Midian.

· Pengalaman dijual dengan berpindah tangan.
Orang Midian – orang Ismael yang membeli Yusuf, menjualnya kembali kepada pegawai istana Firaun, kepala pengawal raja.

· Pengalaman menjadi narapidana.
Istri tuannya, Potifar menuduhnya telah melakukan pemerkosaan atas dirinya. Karena itu, dia harus dimasukkan penjara. (Kej. 39:20)

Saudara-saudara, kalau dilihat sepintas, mungkin kita akan berkomentar bahwa Yusuf adalah orang yang telah ditinggalkan oleh Tuhan. Mengapa? Karena sebagian orang – masyarakat Kristiani menduga bahwa orang yang terlalu banyak pengalaman pahitnya tidak dibela oleh Tuhan. Benarkah demikian? Bagaimana pengalaman pahit berubah menjadi sebuah mutiara iman yang berharga. Marilah kita belajar dari Yusuf.

Pertama, Penyertaan Tuhan Adalah Segala-galanya (Kej. 39:2, 21)
Di dalam dunia ini, ada sebagian orang yang merasa sangat bangga jika memiliki kenalan, atau sahabat seorang pejabat pemerintah. Bahkan, tidak jarang orang mengaku-ngaku familinya si A yang terkenal itu. Mengapa? Karena, dengan kedekatannya pada pejabat tertentu dapat menolong dia untuk mencapai cita-cita. Atau katakanlah sebagai sarana baginya untuk mencapai keberhasilan. Kalau, saya dekat dengan si A itu, kemungkinan besar dapat memuluskan jalannya usaha yang sedang kubangun ini.

Tetapi, bagaimana kenyataannya? Banyak orang menjadi kecewa karena ternyata orang yang dianggapnya hebat tersebut, ternyata ikut andil menghancurkan usaha yang mati-matian dibangunnya.

Namun, Yusuf berbeda. Yusuf tidak dibela oleh pejabat yang hebat, tetapi Yusuf dibela oleh satu pribadi, yakni TUHAN sendiri. Alkitab berkata: Tetapi TUHAN menyertai Yusuf, sehingga ia menjadi seorang yang selalu berhasil dalam pekerjaannya; maka tinggallah ia di rumah tuannya, orang Mesir itu. (Kej. 39:2). Di dalam terjemahan Alkitab Bahasa Indonesia sehari-hari, ayat ini berbunyi: “TUHAN menolong Yusuf sehingga ia selalu berhasil dalam semua pekerjaannya. Ia tinggal di rumah tuannya, orang Mesir itu.”

Perhatikan ayat Firman Tuhan ini. Ada hubungan yang sangat erat antara keberhasilan dalam pekerjaan dengan penyertaan Tuhan. Dan, itulah keberhasilan yang sejati. Ada orang yang berkata: usaha ini berhasil karena management yang saya terapkan sangat baik. Atau, mungkin yang lain berkata: usaha ini berhasil karena gaya kepemimpinanku yang sangat berwibawa, sehingga tidak ada karyawan yang berani macam-macam.

Saudara, jangan berbangga dulu. Firman Tuhan berkata: “keberhasilan datang karena penyertaan Tuhan.” Kalau Tuhan tidak sertai usahamu, mungkin sudah lama failit, sudah lama bangkrut. Kalau usahamu berhasil, ingat itu semata-mata karena penyertaan Tuhan. Kalau engkau tidak di PHK, ingat baik-baik semua karena anugerah Tuhan.

Pengalaman apa yang dimiliki oleh Yusuf? Apakah pernah belajar management dari sebuah universitas ternama? Apakah pernah belajar leadership dari universitas terkemuka? Tidak! Tetapi bagaimana mungkin seorang yang selalu disalah mengerti orang, bagaimana mungkin seorang yang tidak punya bekal ilmu yang memadai dapat memanage rumah kepala pengawal raja? Alkitab memberitahukan Tuhan menyertai Yusuf. Penyertaan Tuhanlah yang memungkinkan Yusuf berhasil melakukan semua tugas yang berat itu.


Kedua, Keberhasilan Tanpa Integritas Akan Hancur (Kej. 39:7, 8)
Integritas adalah menyatunya kata dan perbuatan atau menyatunya iman di dalam tindakan nyata. Alkitab berkata: .”..TUHAN menyertai Yusuf, sehingga ia menjadi seorang yang selalu berhasil dalam pekerjaannya...”

Keberhasilan merupakan anugerah Allah. Tetapi, pada tingkat tertentu keberhasilan menjadi jerat yang membuat dia lupa diri. Karena itu, keberhasilan yang sejati harus disertai dengan integritas yang teruji.

Biasanya, ada tiga hal yang menjadi ujian terhadap integritas yang biasanya orang menyebutnya TIGA TA, yakni TAHTA, HARTA, dan WANITA. Mengapa sebagian orang melakukan KKN? Alasannya sederhana, agar memperoleh harta benda yang banyak. Agar kekayaannya melimpah sebagai jaminan hari tua. Mengapa ada pemimpin yang menghalalkan segala cara, atau “money politic”? Kalau sudah terpilih, tujuannya apa? Jawabannya sederhana, supaya kembali memperoleh TAHTA. Mengapa banyak keluarga berantakan? Salah satunya, menurunnya integritas seseorang dalam hal lawan jenis atau WANITA.

Alkitab memberitahukan kita bahwa Yusuf diuji integitasnya dalam hal WANITA. Yusuf adalah seorang yang tampan, gagah dan bersikap manis. Rupanya, nyonya rumah-istri Potifar sudah lama mengamati hal itu. Dia memandang Yusuf dengan birahi, dengan nafsu seksual yang tinggi dan setiap hari merayu Yusuf agar jatuh ke pelukannya. Itu sebabnya, ketika rumah kosong – dia mengajak Yusuf berselingkuh dengannya.

Sekarang ini, banyak kasus perselingkuhan terjadi di mana-mana. Bahkan, mereka mencoba menghaluskan istilahnya dengan berkata SELINGKUH adalah Selingan Indah Yang Penting Keluarga Utuh. Dunia menganggap bahwa perselingkuhan itu sebagai selingan indah.

Tetapi kita memuji Tuhan karena Yusuf terbukti berintegritas tinggi. Buktinya? Tetapi Yusuf menolak dan berkata kepada istri tuannya itu: “Dengan bantuanku tuanku itu tidak lagi mengatur apa yang ada di rumah ini dan ia telah menyerahkan segala miliknya pada kekuasaanku, bahkan di rumah ini ia tidak lebih besar kuasanya dari padaku, dan tiada yang tidak diserahkannya kepadaku selain dari pada engkau, sebab engkau isterinya. Bagaimanakah mungkin aku melakukan kejahatan yang besar ini dan berbuat dosa terhadap Allah?” (Kej. 39:7-8).

Perhatikan kalimat ini, ....berbuat dosa terhadap Allah. Yusuf tidak melakukan tindakan bejat itu karena takut berbuat dosa terhadap Allah. Berbeda dengan orang zaman sekarang, mereka tidak melakukannya karena takut ketahuan dosanya, bukan karena takut terhadap dosa itu sendiri.

Jikalau Tuhan izinkan kita berhasil dalam hidup ini, mari ingat baik-baik bahwa semua itu hanya karena campur tangan Tuhan dan bukan karena kehebatan kita. Karena itu, pegang teguh integritas kita sebagai anak terang yang tidak mau kompromi dengan dosa sedikit pun.


Ketiga, Promosi Datangnya dari Tuhan (Kej. 41:40-41)
Jikalau kita memperhatikan latar belakang Yusuf, maka dengan cepat orang berkata, orang seperti dia tidak bakal menjadi orang yang berguna. Tidak mungkin menjadi orang yang akan menjadi saluran berkat. Mengapa? Karena memang secara kasat mata, tidak ada modal baginya, tidak ada sesuatu yang dapat diandalkan. Orang sering kali tergoda untuk sesuatu yang kelihatan.

Namun Alkitab memberi kesaksian bahwa Yusuf menjadi penguasa di Mesir. Allah memakai cara yang mungkin tidak pernah dipikirkan Yusuf. Allah membuat Firaun bingung dengan mimpinya. Allah memang sengaja melakukan hal itu. Firaun mendapat mimpi demikian. “Ketika Firaun berdiri di tepi sungai Nil, tampaklah dari sungai Nil itu keluar tujuh ekor Lembu yang indah bangunnya dan gemuk badannya; lalu memakan rumput di tepi sungai itu. Kemudian tampak juga tujuh ekor lembu yang lain, yang keluar dari dalam sungai Nil itu, buruk bangunnya dan kurus badannya, lalu berdiri di samping lembu-lembu yang tadi, ditepi sungai itu. Lembu-lembu yang buruk bangunnya dan kurus badannya itu memakan tujuh ekor lembu yang indah bangunnya dan gemuk itu.” Sementara itu, dalam mimpinya yang kedua Firaun mendapat mimpi demikian: “Tampak timbul dari satu tangkai tujuh bulir gandum yang bernas dan baik. Tetapi kemudian, tampaklah juga tumbuh tujuh bulir gandum yang kurus dan layu oleh angin timur. Bulir yang kurus itu menelan ketujuh bulir yang bernas dan berisi tadi.”

Kedua mimpi itu, membuat Firaun gelisah karena tidak tahu apa maksudnya. Dia mencari orang-orang yang dianggapnya pakar, dianggap ahli diseluruh negeri. Namun tidak ada seorangpun yang mampu mengartikan mimpi itu.

Atas informasi dari juru minuman, Yusuf dipanggil untuk mengartikan mimpi itu. Dan ternyata dengan terus terang Yusuf memberitahukan artinya. Yusuf berkata, tujuh ekor lembu yang baik dan tujuh bulir gandum yang baik artinya sama yaitu tujuh tahun. Sementara ketujuh ekor lembu yang kurus dan buruk, juga tujuh bulir gandum yang hampa dan layu artinya adalah tujuh tahun kelaparan (Kej. 41:26-27).

Dari kemampuan yang Tuhan berikan tersebut, akhirnya Yusuf dipakai oleh Tuhan sebagai penguasa di Mesir. Tuhan promosikan Yusuf dengan caraNya yang ajaib dengan tujuan untuk menjadi saksi bagi-Nya.

Saudara, saya hendak mengatakan apa yang dianggap hina oleh dunia, justru dipakai Allah untuk mempermalukan dunia. Di tangan Allah, yang hina, dianggap rendah justru alat yang indah untuk menyatakan kebesaran-Nya. Puji Tuhan.

Sebagai anak Tuhan, jangan pernah merasa malu menjadi anak Tuhan. Jangan pernah minder karena status kita sebagai anak Tuhan. Sebaliknya, berbanggalah karena engkau dipanggil untuk menjadi bagi dunia ini.

Kadang-kadang Allah memakai proses-proses menyakitkan dalam hidup kita agar terjadi mutiara iman, demi kemuliaan namaNya. Jangan salah mengerti rencana-Nya.

Surakarta, 01 Mei 2004
Menjadi murid, harus berani bayar harga
oleh: Pdt. Manati Immanuel Zega, S.Th.
(Pendeta di Gereja Utusan Pentakosta di Indonesia–GUPdI Pasar Legi, Solo)

Nats: Luk. 14:25-34


Ada bermacam-macam motivasi yang timbul di dalam hati seseorang ketika mengambil keputusan untuk menjadi murid Tuhan. Misalnya, agar mendapat berkat materi yang berkelimpahan. Atau, bagi mereka yang mengagung-agungkan “theologi” kemakmuran meyakini bahwa menjadi anak Tuhan pasti serba enak, sebab setiap hari kita akan mendapatkan berkat yang berkelimpahan. Bahkan orang-orang tertentu yang berani mengklaim apabila seseorang tidak diberkati, di dikutuk Tuhan. Walaupun dalam kenyataannya, banyak orang yang cinta Tuhan dengan serius, tetapi hidupnya tidak berkelimpahan secara materi, melainkan berkelimpahan dalam hal rohani.

Injil Lukas 14:25-34 memberikan prinsip-prinsip penting bagaimana seharusnya seorang Kristen mengikut Tuhan. Untuk lebih memahami ayat-ayat tersebut, tidak dapat dilepaskan dari pasal-pasal sebelumnya, khususnya pasal 9. Dalam pasal ini Yesus menguraikann makna mengikut Tuhan dalam pengertian yang sesungguhnya.

Di bawah ini ada beberapa pokok pikiran penting yang akan kita pikirkan bersama.
Pertama, Yesus memandang kehidupan Kristen dengan realistis
Bacaan Firman Tuhan di atas menjelaskan banyak orang berbondong-bondong mengikuti Yesus. Berarti Yesus telah menjadi populer di masyarakat, atau menjadi tokoh idola banyak orang. Yesus sebagai Pemimpin yang bijaksana ternyata menyampaikan hal-hal di luar dugaan para pendengar-Nya. Yesus menyampaikan hal yang sangat prinsip bagi iman Kristiani. Dia berkata: “Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak dapat menjadi murid-Ku” (ayat 27). Kata tidak dapat pada ayat di atas, dalam bahasa aslinya mengguakan kata “Ouk Dunatai.” Kata ini bisa berarti tidak punya hak atau tidak punya kuasa. Dengan kata lain, Yesu ingin menegaskan barangsiapa tidak memikul salibnya dalam mengikut Tuhan, sama sekali tidak berhak menyebut dirinya sebgai murid Tuhan.
Pernyataan ini jelas dan tegas agar umat Tuhan, para intelektual Kristen memahami makna mengikut Tuhan dalam porsi yang benar dan bertanggung jawab. Yesus tidak menjanjikan fasilitas bagi orang-orang yang mendengarkan pernyataan-Nya itu. Yesus tidak berkata seperti para pemimpin organisasi dunia yang menjanjikan ini dan itu. Pada umumnya, para pemimpin dunia menjanjikan fasilitas-fasilitas yang nantinya akan dinikmati setelah terpilih menjadi pemimpin, walaupun dalam kenyataannya janji tinggal janji.

Yesus memberikan syarat-syarat mendasar bagi setiap Pengikut-Nya. Syarat-syarat tersebut harus dipenuhi apabila ingin menjadi murid yang diperkenan-Nya. Pada ayat 26 “Jikalau seseorang datang kepada-Ku dan ia tidak membenci bapanya, ibunya, istrinya, anak-anaknya, saudara-saudaranya laki-laki atau perempuan bahkan nyawanya sendiri, ia tidak dapat menjadi murid-Ku.” Penyataan ini memberi pengertian bahwa ikut Tuhan harus disertai dengan pengorbanan, termasuk nyawa kita sekalipun.

Di dalam Matius 22:37-39 Yesus menegaskan “Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu, segenap jiwami, segenap akal budimu.” Inilah prinsip iman yang tidak bisa ditawar-tawar. Ikut Tuhan harus siap baik dalam keadaan suka maupun duka.

Dalam abad I Rasul Paulus berkata “Cross is my glory,” kemudian pada abad XIX Fanny J. Crosby mengulangi perkataan yang sama “Cross is my glory.” Para pendahulu kita ini menderita bukan karena melakukan suatu tindakan kriminal yang naif, tetapi menderita karena berjuang demi iman serta mempertahankan makna salib Kristus sebagai puncak pengorbananNnya bagi manusia yang berdosa.


Kedua, ikut Yesus harus punya dasar dan alasan yang kuat
Pernahkah Anda bertanya pada diri sendiri “mengapa saya memilih menjadi murid Tuhan atau anak Tuhan? Mengapa saya memilih menjadi Kristen? Padahal, banyak agama yang secara hukum diberi kesempatan berkembang di negeri ini? Perlu dipikirkan! Anak-anak Tuhan dalam gereja awal mwngalami tantangan bahkan penganiayaan, tetapi justru mereka setia ikut Tuhan karena mareka punya landasan dan alasan yang kokoh untuk mengikut Tuhan.

Polikarpus seorang anak Tuhan yang sungguh-sungguh cinta Tuhan, dia ditangkap oleh pemerintah Romawi, kemudian diancam untuk dibunuh. Kepadanya ditanyakan : “Polikarpus, apakah enkau masih mau ikut Yesus? Kalau engkau tetap ikut Dia, saat ini pasti engkau tidak akan selamat. Tetapi jika engkau menyangkalNya engkau pasti akan selamat dari ancaman kematian.”

Dengan serius dan tegas Polikarpus menjawab: “pada usia sembilan tahun aku telah mengenal kasih-Nya, sekarang aku telah berusia delapan puluh empat tahun, aku tidak pernah disakiti-Nya, bagaimana mungkin aku menyangkal Dia?”

Polikarpus memiliki alasan yang kuat untuk mengikut Yesus. Ayat 28-33 di atas, Yesus memberikan suatu gambaran tentang seseorang yang akan mendirikan suatu menara, atau raja yang akan berperang. Seorang perancang bangunan agar hasil yang dicapai maksimal, terlebih dahulu harus duduk diam untuk memikirkan dan mempertimbangkan apa saja yang akan dilakukannya agar bangunan itu jadi dan hasilnya tidak memalukan. Demikian juga seorang raja yang akan maju berperang harus memikirkan kekuatan dan kelemahan prajurit yang dimilikinya, kalau tidak, lebih baik berdamai saja dengan lawannya.
Contoh ini memberikan inspirasi bahwa kalau mau ikut Tuhan pertimbangkan baik-baik bahwa ada pengorbanan, ada resiko tinggi yang mungkin akan ditanggung setiap orang uang mengambil keputusan untuk ikut Tuhan.

Sejarah gereja telah mencatat pengorbanan dan penderitaan yang dialami orang Kristen sepanjang zaman. Yesus tidak pernah berkata: “If You Follow Me Everithing is going well.” Kitab Suci mencatat dengan jujur ikut Tuhan juga harus bersedia menderita. Di dalam Lukas pasal 9, Yesaya memberikan teladan tentang pribadi-Nya sendiri. Khususnya ayat 58 menuliskan demikian: “Yesus berkata kepadanya: serigala mempunyai liang dan burung mempunyai sarang, tetapi Anak Manusia tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepalaNya.”


Ketiga, ikut Yesus harus menjadi pembawa misi
Allah punya misi yang tidak pernah berubah sepanjang abad untuk dunia ini. Misi itu dalam rangka penyelamatan dunia yang berdosa. Lalu misi tersebut diberi tanggung jawab oleh Alah kepada setiap generasi sepanjang zaman. Allah bukan tidak mampu melakanakannya sendiri, tetapi Allah ingin melibatkan manusia karena manusia adalah Peta dan Rupa Allah (Imago Dei). Allah sangat menghargai manusia karena itu setiap generasi diberi tanggung jawab untuk melayani zamannya. Rev. Dr. Stephen Tong menyebut misi untuk setiap generasi dengan istilah “Serve Your Time.”

Generasi yang hidup di abad XXI bertanggung jawab melayani manusia yang hidup di abad yang bersangkutan. Dari generasi ke generasi Allah memberi tanggung jawab mengambil bagian dalam rencana-Nya yang agung.

Ayat 34, Yesus memberi tanggung jawab kepada para murid-Nya dan kepada setiap generasi, untuk melakukan sesuatu yakni panggilan suci. Panggilan suci tersebut adalah untuk menjadi “garam” bagi dunia. Garam adalah kebutuhan manusia yang penting. Garam termasuk kebutuhan primer dalam hal masakan. Masakan yang tidak ada garamnya pasti tidak enak, meskipun semua bumbu yang lainnya lengkap. Pekerjaan garam memang tidak kelihatan, bahkan kesannya garam itu diam tetapi khasiatnya sangat terasa. Masakan tanpa garam hambar dan pasti tidak punya rasa. Bisa dipastikan sangat sedikit ada orang yang ingin mencicipinya.

Menjadi terang bagi generasi kita adalah kerinduan Allah yang terdalam agar banyak orangg yang percaya dan menerima-Nya sebagai Tuhan dan juruselamat. Dunia ini akan binasa apabila tidak ada terang yang terus-menerus memancari kegelapan hati manusia.
Siapakah terang itu? Alkitab menjelaskan Kristuslah terang. Hanya Kristus yang mampu menerangi kegelapan hati nurani manusia yang setiap saat selalu bengkok dan melawan Allah.

Manusia semakin sombong dengan kemajuan teknologi yang semakin canggih. Manusia sombong dan berkata “Science is my god.” Benarkah? Ternyata, sejarah mencatat bahwa ilmu pengetahuan tidak mampu menyelamatkan manusia. Ilmu pengetahuan tidak mampu memberi solusi bagi peroalan manusia yang mendasar yakni dosa. Dosa tidak mampu diatasi oleh kemajuan teknologi mutakhir apapun. Penyelesaian masalah dosa hanya ketika seseorang datang kepada Kristus mengakui-Nya sebagai Tuhan secara pribadi. Di sinilah panggilan pelayanan Kristen.


Sumber:
Artikel di situs Gereja Utusan Pentakosta di Indonesia (GUPdI).
Seberapa Dalam Kita Mengasihi-Nya?
oleh: Denny Teguh Sutandio

Jawab Yesus kepadanya: "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu.
(Matius 22:37)

Inilah tandanya, bahwa kita mengasihi anak-anak Allah, yaitu apabila kita mengasihi Allah serta melakukan perintah-perintah-Nya.
Sebab inilah kasih kepada Allah, yaitu, bahwa kita menuruti perintah-perintah-Nya. Perintah-perintah-Nya itu tidak berat,
sebab semua yang lahir dari Allah, mengalahkan dunia. Dan inilah kemenangan yang mengalahkan dunia: iman kita.
(1Yoh. 5:2-4)


I. PENDAHULUAN DAN LATAR BELAKANG
Apakah kasih itu? Dunia kita banyak memiliki definisi kasih. Mereka mengajarkan dan menilai kasih/cinta itu hanya sebatas hal-hal fenomenal. Misalnya, jika seseorang memberikan sesuatu kepada pasangan atau teman/rekannya, itulah cinta/kasih. Bahkan tidak sedikit orang Kristen masih memiliki pandangan serupa bahwa kasih/cinta itu adalah sesuatu yang fenomenal sifatnya. Bagaimana pandangan Alkitab sendiri mengenai kasih khususnya berkenaan dengan Allah adalah Kasih?


II. KONSEP ALKITAB MENGENAI KASIH: ALLAH ADALAH KASIH
Kasih pertama kali ditunjukkan oleh Allah yang adalah Kasih (1Yoh. 4:16). Kasih Allah ditunjukkan dengan menciptakan dunia dan manusia ini. Kasih-Nya juga ditunjukkan dengan memelihara ciptaan-Nya. Tetapi dosa mengakibatkan manusia tidak lagi melihat dan merasakan cinta kasih Allah. Dosa mengakibatkan manusia curiga kepada Allah, seolah-olah Allah itu tidak lagi mengasihi mereka dengan memberikan pengecualian untuk tidak makan buah pohon pengetahuan yang baik dan jahat. Kecurigaan itu akhirnya berakhir dengan dikeluarkannya Adam dan Hawa dari Taman Eden. Dari Taman Eden, manusia terus berdosa dan makin tidak menghormati dan mengasihi-Nya. Mengapa? Karena di titik pertama, mereka sudah terlepas dari kasih-Nya. Semakin seseorang terlepas dari kasih Allah, maka orang tersebut tentu tidak mampu mengasihi Allah. Orang yang tidak mengasihi Allah tentu akan mengasihi diri dan hal-hal lain di luar Allah yang mengenakkan. Bagi orang ini, Allah hanyalah pengganggu bagi kebebasannya. Tidak heran juga, peristiwa Menara Babel adalah peristiwa di mana manusia mulai menyingkirkan Allah dengan mendirikan menara yang tingginya sampai ke langit (Kej. 11). Untuk menyadarkan manusia ini, Allah mengacaukan bahasa mereka, sehingga akhirnya mereka terserak. Karena manusia sudah tidak lagi mampu mengasihi Allah akibat dosa, maka tidak ada jalan lain bagi keselamatan manusia, kecuali satu-satunya jalan yang Allah sendiri sediakan, yaitu Allah mengutus Putra Tunggal-Nya, Tuhan Yesus Kristus untuk menebus dosa umat-Nya, sehingga mereka dapat mengasihi Allah kembali. Penebusan Kristus menjadi satu-satunya teladan penting bagi umat-Nya untuk memiliki Kasih sejati dan mengasihi Allah. Penebusan Kristus mengajarkan adanya kasih yang rela berkorban. Kristus yang adalah Putra Tunggal Allah (Pribadi kedua Allah Trinitas) rela merendahkan diri-Nya menjadi manusia (tanpa meninggalkan atribut Ilahi-Nya) untuk menyelamatkan umat-Nya dari dosa dan membawanya kepada kehidupan kekal (Yoh. 3:16). Kristus yang tidak berdosa rela membuat diri-Nya “berdosa” untuk menyelamatkan manusia berdosa. Kristus yang tidak seharusnya menanggung murka Allah rela menanggung murka Allah demi menyelamatkan manusia berdosa dari murka Allah. Kristus rela mendamaikan Allah yang Mahakudus dengan manusia yang berdosa. Semua itu dilakukan-Nya karena kasih-Nya kepada umat-Nya. Manusia yang sudah diselamatkan oleh penebusan Kristus dan mengalami penebusan itu pasti memiliki suatu kerinduan untuk mengasihi Allah lebih dalam lagi atas dorongan Roh Kudus di dalam hati umat-Nya.


III. SEBERAPA DALAM KITA MENGASIHI-NYA
A. Mengasihi Allah
Setelah kita mengetahui konsep Alkitab tentang kasih di mana Allah adalah Kasih, lalu, pertanyaan selanjutnya, bagaimana kita mengasihi Allah?
1. Kita mengasihi Allah dengan totalitas hidup kita
Di dalam Matius 22:37, Tuhan Yesus mengajar bahwa kita harus mengasihi Allah dengan hati, jiwa, dan akal budi kita. Di sini, Ia menyebut: hati, jiwa, dan akal budi. Mengasihi Allah dimulai dari hati kita. Hati berbicara mengenai inti hidup kita. Tuhan Yesus mengajar bahwa segala sesuatu keluar dari hati (Mat. 15:18-19). Ketika hati kita busuk, maka kita berkata hal-hal yang busuk. Oleh karena itulah, di titik pertama, Ia mengajar kita bagaimana hati kita terlebih dahulu harus mengasihi-Nya. Percuma saja, seorang Kristen aktif pergi ke gereja, membaca Alkitab dan buku-buku theologi, berdoa, melayani Tuhan, dll, tetapi hatinya tidak lagi mengasihi Allah. Mereka melakukan syariat-syariat agama, tetapi hatinya menjauh dari Allah, persis seperti yang dilakukan oleh orang Israel. Bacalah peringatan Allah kepada umat-Nya di dalam Yesaya 29:13, “Dan Tuhan telah berfirman: "Oleh karena bangsa ini datang mendekat dengan mulutnya dan memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya menjauh dari pada-Ku, dan ibadahnya kepada-Ku hanyalah perintah manusia yang dihafalkan,” Bagaimana kita bisa memiliki hati yang mengasihi Allah? Kita bisa memiliki hati yang mengasihi Allah ketika hati kita benar-benar diserahkan kepada Allah, sehingga hati kita sinkron dengan hati Allah. Ketika Allah sedih, kita ikut sedih. Ketika Allah bersukacita, kita pun ikut bersukacita. Konsep ini mirip seperti sebuah judul/kalimat lagu rohani kontemporer, “Brikanku hati seperti hati-Mu.” Bagaimana dengan kita? Apakah kita memiliki hati seperti hati Allah yang mencintai: kebenaran, keadilan, kejujuran, kesucian, dan kemuliaan (dignitas)? Ataukah hati kita lebih condong kepada setan yang lebih mencintai diri, kejahatan, dusta, kenajisan, dll? Biarlah kita mengintrospeksi diri kita masing-masing.
Kemudian, setelah hati kita mengasihi Allah, pikiran kita pun perlu mengasihi Allah. Caranya adalah mensinkronkan pikiran kita dengan pikiran Allah, sehingga kita memikirkan apa yang dipikirkan Allah, yaitu: yang baik, menyenangkan Allah (berkenan kepada Allah), dan sempurna (bdk. Rm. 12:1-2; Flp. 4:8).

2. Kita mengasihi Allah dengan mengasihi firman-Nya
Lalu, bagaimana kita mensinkronkan hati dan pikiran kita dengan hati dan pikiran Allah? Cara kedua kita mengasihi Allah adalah kita mengasihi firman-Nya. Firman-Nya menundukkan dan membawa hati dan pikiran kita kepada hati dan pikiran Allah. Dengan mengasihi firman-Nya dengan membacanya, kita beroleh hati dan pikiran yang bijaksana sesuai dengan hati dan pikiran Allah (meskipun tidak 100% sempurna). Pemazmur menyingkapkan bagi kita betapa agung firman-Nya di dalam Mazmur 119. Mari kita menyelidikinya.
Mazmur 119:16, “Aku akan bergemar dalam ketetapan-ketetapan-Mu; firman-Mu tidak akan kulupakan.” Di ayat 24, pemazmur mengatakan, “Ya, peringatan-peringatan-Mu menjadi kegemaranku, menjadi penasihat-penasihatku.” Pemazmur bersukacita akan ketetapan-ketetapan-Nya dan bahkan ia tidak akan melupakan firman-Nya. Luapan sukacita ini bisa timbul karena ia mengasihi firman-Nya. Orang yang mengasihi firman-Nya tidak akan pernah melupakan firman-Nya. Ia bahkan menyimpan terus firman-Nya dan menggunakan firman-Nya untuk diaplikasikan di dalam kehidupannya sehari-hari. Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita mengasihi firman-Nya seperti yang pemazmur inginkan dan lakukan ini?
Di ayat 36, pemazmur berucap, “Condongkanlah hatiku kepada peringatan-peringatan-Mu, dan jangan kepada laba.” Bukan hanya menjadi kegemaran pemazmur saja, firman-Nya juga menjadi tambatan hati pemazmur. Ia tidak mau dicondongkan hatinya kepada apa pun termasuk laba, sebaliknya ia hanya mau dicondongkan hatinya hanya kepada peringatan-peringatan-Nya. Firman-Nya menjadi satu-satunya pembimbing jalan hidup pemazmur. Bagaimana dengan kita? Benarkah firman Tuhan (Alkitab) menjadi satu-satunya sumber penuntun hidup kita (dan bukan uang, diri, dll)?
Di ayat 66, pemazmur mengajarkan kepada kita, “Ajarkanlah kepadaku kebijaksanaan dan pengetahuan yang baik, sebab aku percaya kepada perintah-perintah-Mu.” Bagi pemazmur, firman Allah juga sebagai jalan untuk mendapatkan kebijaksanaan dan pengetahuan yang baik (bdk. ay. 104). Pemazmur mengajarkan kepada kita bahwa kita percaya kepada firman-Nya baru setelah itu kita beroleh kebijaksanaan dan pengetahuan yang baik (bdk. Ams. 1:7a). Mengapa ia bisa menyimpulkan bahwa firman-Nya adalah sumber bijaksana dan hikmat sejati? Karena ia tahu bahwa firman-Nya adalah firman Allah yang tidak bersalah (bdk. ay. 89).
Sebagai kesimpulan, saya akan mengambil ayat 105 sebagai penutup kesimpulan pemazmur tentang betapa agung firman-Nya, yaitu, “Firman-Mu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku.” Firman-Nya adalah pelita bagi kita kita dan terang yang menerangi jalan kita, sehingga setiap hidup kita mendapat penerangan dan pencerahan terus-menerus di dalam firman-Nya melalui Roh Kudus.
Setelah kita menelusuri sekilas tentang ungkapan sukacita pemazmur akan agungnya firman-Nya, sekarang saya akan membahas tentang bagaimana kita mengasihi firman-Nya. Jangan pernah percaya kepada orang Kristen yang katanya dia mengasihi firman-Nya, tetapi dalam kehidupan sehari-hari, baik hati, pikiran, perkataan, tingkah laku, dan kelakuan mereka tidak sesuai dengan firman-Nya. Lalu, bagaimana kita tahu dan kita mengoreksi diri kita apakah kita benar-benar mengasihi firman-Nya? Ada beberapa prinsip:
a. Mengasihi firman-Nya berarti percaya akan ketidakbersalahan Alkitab dan menjadikan firman-Nya sebagai satu-satunya standar mutlak kebenaran dan kehidupan.
Pertama-tama, seorang yang mengasihi firman-Nya harus mengakui bahwa firman-Nya (Alkitab) itu tidak bersalah. Ini adalah presuposisi iman yang paling penting. Orang yang sudah percaya bahwa firman Tuhan itu tidak bersalah, maka tentu ia akan lebih mengasihi firman-Nya, karena ia percaya bahwa firman-Nya adalah kehendak-Nya baginya. Tidak mungkin ada orang yang berkoar-koar berkata bahwa ia mengasihi firman-Nya, tetapi ia adalah seorang yang curiga akan kebenaran Alkitab. Dengan demikian, jika kita katanya mengasihi firman-Nya, tetapi masih curiga akan kebenaran Alkitab, lebih baik bagi kita untuk membereskan presuposisi iman kita dahulu sebelum terlambat.
Setelah kita percaya akan ketidakbersalahan Alkitab, kita juga perlu menjadikan firman-Nya sebagai satu-satunya standar mutlak kebenaran dan kehidupan. Prinsip Reformasi dari Dr. Martin Luther adalah Sola Scriptura (hanya Alkitab). Berarti, Alkitab adalah satu-satunya standar kebenaran dan kehidupan umat-Nya. Artinya, sebagai standar kebenaran, Alkitab menjadi patokan kita menguji segala doktrin Kristen dan dunia ini. Sebagai standar kehidupan, Alkitab menjadi satu-satunya patokan kita menapaki hidup kita baik dalam pendidikan, pekerjaan, dan pasangan hidup. Tetapi yang sering kali terjadi dengan banyak orang Kristen adalah mereka “sangat memegang teguh” prinsip Sola Scriptura tetapi hanya berlaku untuk masalah doktrin. Ketika sudah menyangkut masalah kehidupan sehari-hari, terutama panggilan Allah di dalam pendidikan, pekerjaan, dan pasangan hidup, mereka tidak lagi memegang Sola Scriptura, tetapi Sola Diri (hanya diri), Sola Orangtua (hanya orangtua), Sola Pacar (hanya pacar), dll. Kehidupan semacam ini adalah kehidupan yang terpecah (fragmented) dan Tuhan tidak suka hidup umat-Nya adalah hidup yang dualisme memisahkan sakral dan sekular. Tuhan menginginkan hidup umat-Nya adalah hidup yang terintegrasi memuliakan-Nya.
b. Mengasihi firman-Nya berarti membaca, mempelajari, dan merenungkan firman-Nya.
Adalah suatu ketidakmasukakalan (absurditas) jika katanya orang Kristen mengasihi firman-Nya, tetapi kita tidak suka menggali kelimpahan firman-Nya itu. Orang yang tidak suka menggali kelimpahan firman-Nya adalah orang yang sebenarnya tidak pernah mengasihi firman-Nya. Mereka hanya mengasihi firman-Nya yang cocok dengan pola pikir mereka yang humanis dan materialis. Sudah saatnya orang Kristen bertobat dan kembali kepada firman-Nya serta mengasihi firman-Nya. Mengasihi firman-Nya tahap kedua adalah dengan menggalinya. Menggali firman-Nya tentu dengan membaca, mempelajari, dan merenungkan firman-Nya.
Tahap pertama menggali firman-Nya dengan membaca firman-Nya. Menggali firman Tuhan tidak mungkin bisa dilakukan jika tidak ada keinginan untuk membaca firman-Nya. Membaca firman-Nya bukan hanya di gereja saja, tetapi di dalam kehidupan kita yang rutin setiap hari. Ini adalah tindakan disiplin rohani kita sebagai umat-Nya. Sungguh suatu keanehan jika kita mengaku diri Kristen, tetapi tidak suka membaca Alkitab, melainkan lebih suka membaca koran, majalah, novel, dll. Sungguh suatu keanehan juga jika kita katanya Kristen, tetapi tidak mau meluang waktu untuk membaca Alkitab, sebaliknya selalu ada waktu untuk membaca koran, majalah, novel, dll. Bagaimana dengan kita? Seberapa rindu kita membaca firman-Nya? Kerinduan kita menandakan tingkat kematangan rohani kita. Semakin matang rohani kita, semakin kita rindu membaca firman-Nya.
Tahap kedua menggali firman-Nya adalah mempelajari firman-Nya. Setelah kita membaca, hendaklah kita juga mempelajari firman-Nya. Mempelajari di sini bukan hanya sekadar membaca sambil lalu, tetapi membaca dengan teliti dengan memerhatikan segala aspek di dalam penafsiran Alkitab, misalnya memerhatikan: konteks, latar belakang, perbandingan terjemahan, dll. Di sini, kita membutuhkan studi intensif yang akurat memerhatikan satu ayat yang kita pelajari. Untuk studi ini, kita memerlukan berbagai peralatan (tools), seperti: Konkordansi Alkitab, variasi terjemahan Alkitab (Inggris, Indonesia, Mandarin, dll), Interlinear (Perjanjian Baru dalam bahasa Yunani), Tafsiran Alkitab yang bertanggung jawab, dll. Semakin kita menggali kedalaman firman-Nya dengan mempelajari Alkitab, semakin kita menemukan banyak berkat yang terkandung di dalamnya. Ini bukan hanya sekadar teori kosong belaka. Saya sudah membuktikannya ketika saya sekali seminggu menggali kekayaan Surat Roma dan secara pribadi saya menemukan banyak berkat yang indah dari penggalian Surat Roma itu yang tidak pernah saya pikirkan sebelumnya. Bagaimana dengan kita? Apakah kita cukup hanya membaca Alkitab saja tanpa mau mempelajarinya secara mendalam? Hari ini, biarlah kita bertobat dari penyakit kemalasan kita mempelajari firman-Nya.
Tahap terakhir menggali firman-Nya adalah dengan merenungkan firman-Nya. Mempelajari firman-Nya itu belum cukup, kita dituntut juga untuk merenungkan firman-Nya. Mengapa? Karena jika kita hanya berhenti pada aspek mempelajari firman-Nya, kita menjadikan firman Tuhan hanya sebagai objek penelitian kita, padahal sesungguhnya, firman Tuhan lah yang mengoreksi hidup kita (subjek). Itu sebabnya, mempelajari firman-Nya harus disertai dengan tindakan selanjutnya yaitu merenungkan firman-Nya. Merenungkan adalah tindakan reflektif yang korektif. Setelah kita mempelajari firman-Nya, kita bertanya kepada diri sendiri, apakah kita sudah melakukan apa yang sudah kita pelajari tersebut? Jika kita pikir kita belum melakukannya, maka komitmen apa yang harus kita buat untuk melakukannya? Jika kita sudah melakukannya, biarlah kita pun mengintrospeksi diri kita, dengan motivasi kita melakukannya, apakah sungguh-sungguh memuliakan Tuhan atau hanya ingin menjalankan syariat agama tertentu supaya tidak dihukum? Semua ini kita lakukan sebagai langkah introspeksi reflektif sekaligus korektif yang mempertumbuhkan iman dan kerohanian kita. Spiritualitas yang dipisahkan dari merenungkan firman-Nya adalah spiritualitas yang berbahaya dan tidak ada bedanya dengan spiritisme ala Gerakan Zaman Baru (spiritualitas tanpa ikatan yang benar). Biarlah spiritualitas kita ditumbuhkan dengan mempelajari dan merenungkan firman-Nya, sehingga hidup kita makin memuliakan-Nya.
c. Mengasihi firman-Nya berarti melaksanakan seluruh kebenaran firman.
Bukan hanya membaca, mempelajari, dan merenungkan firman-Nya, sebagai orang Kristen, kita dituntut untuk melaksanakan seluruh kebenaran firman. Ini adalah tindakan dan bukti terakhir kita benar-benar mengasihi firman-Nya. Adalah suatu keanehan jika kita mengaku diri Kristen dan mengasihi firman-Nya, tetapi itu hanya kita imani dan pelajari saja, tanpa kita praktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Di sini, wilayah prinsip Sola Scriptura lebih luas lagi. Sola Scriptura bukan hanya berlaku di wilayah doktrinal saja, tetapi di seluruh aspek kehidupan sehari-hari (ada kaitannya dengan poin a). Di poin a tadi kita membahas bahwa mengasihi firman-Nya berarti menjadikan Alkitab sebagai satu-satunya fondasi bagi kehidupan kita sehari-hari. Maka di poin terakhir ini, kita mengimplementasikan konsep di poin a itu dengan segala konsekuensinya. Misalnya, jika firman Tuhan mengajarkan bahwa kita harus taat mutlak kepada pimpinan Allah di dalam segala sesuatu (bahkan di dalam memilih pekerjaan paruh waktu), tetapi orangtua, teman, pacar, saudara, dll menghalangi kita untuk menaati-Nya, maka kita harus berani TIDAK mematuhi halangan mereka dan kembali tetap taat mutlak kepada pimpinan Allah. Ini berarti Sola Scriptura bukan hanya berlaku di dalam kehidupan sehari-hari saja, tetapi kita aplikasikan dengan tegas tanpa kompromi, meskipun harus menerima aniaya dan tekanan dari pihak luar. Ingatlah, kita harus lebih taat kepada Sumber Otoritas, yaitu Allah dan bukan pada otoritas turunan, seperti: orangtua, pemerintah, guru, dll. Jika kita lebih menaati otoritas turunan ketimbang Sumber Otoritas, kita pun berdosa karena telah menggantikan Sumber Otoritas dengan otoritas turunan yang merupakan manusia yang dicipta, terbatas, dan berdosa (Pdt. Dr. Stephen Tong: created, limited, and polluted).


B. Kerinduan Kita Mengasihi Allah Lebih Dalam Lagi
Setelah kita membahas mengenai bagaimana kita mengasihi Allah, kita merenungkan terlebih dahulu seberapa dalam kita mengasihi-Nya. “Seberapa dalam” mengindikasikan adanya ukuran/tingkat kita mengasihi-Nya. Kita tidak mengasihi-Nya dengan sembarangan, tetapi kita mengasihi-Nya lebih dalam lagi. Hal ini ibarat seorang pria mengasihi pasangan (pacar/istri)nya. Pria mengasihi pasangannya tentu bukan sebatas rutinitas, tetapi ada suatu hati yang ingin mengasihi pasangannya lebih dalam lagi. Artinya, si pria ini mau memberikan yang terbaik kepada pasangannya, misalnya, memberikan apa yang pasangannya sukai.
Bagaimana kita bisa memiliki kerinduan untuk mengasihi Allah lebih dalam lagi?
1. Kerinduan untuk mengenal Allah lebih dalam lagi
Kita bisa memiliki kerinduan untuk mengasihi Allah lebih dalam lagi ketika kita memiliki kerinduan untuk mengenal-Nya lebih dalam lagi. Di sini, kasih dikaitkan dengan pengenalan. Di dalam dunia sekuler saja, kita mengetahui bahwa seorang cowok baru bisa mengasihi pasangan (pacar/istri)nya lebih dalam lagi tatkala pria tersebut mengenal pasangannya. Artinya, si cowok ini mengenal pasangannya secara keseluruhan. Misalnya, si cewek suka warna tertentu, maka tentu sebagai pasangannya, si cowok harus mengetahui favorit warna pasangannya. Begitu juga sebaliknya dengan si cewek juga harus mengenal warna favorit apa dari cowoknya. Bukan hanya di dalam hal itu, masing-masing pasangan juga harus mengenal karakter, iman, dll dari pasangannya. Misalnya, cowok pasti mengenal ceweknya yang agak sensitif (mudah marah), begitu juga sebaliknya, cewek pasti mengenal cowoknya yang mungkin penyabar. Itulah yang dinamakan pengenalan. Dunia kita mengenal hal ini dengan baik, tetapi anehnya, justru orang Kristen yang tidak mengenalnya dalam kaitan dengan hal-hal kerohanian. Di dalam hal rohani, kita katanya mengasihi Allah, tetapi ketika kita disuruh mengenal Allah, kita malas. Bagaimana kita mengenal Allah lebih dalam lagi? Ya, jelas, melalui Alkitab, kita mengenal Allah, karena di dalam Alkitab, firman Allah, kita mengenal banyak mengenai Allah yang adalah Mahakudus, Kasih, Mahaadil, Mahabijak, Mahaagung, dll. Nah, masalahnya adalah kita malas membaca Alkitab, sehingga kita tidak mengenal Allah secara penuh, tetapi hanya parsial. Bagaimana kita bisa mengasihi Allah jika kita tidak mengenal-Nya lebih dalam lagi? Kita kalau disuruh melayani Tuhan, kita giat sekali, tetapi kalau kita disuruh belajar firman-Nya, kita malasnya bukan main. Ini tanda kita sebenarnya tidak pernah mengasihi Allah dengan sungguh-sungguh, karena kita maunya melayani-Nya tanpa mau belajar Pribadi yang kita layani. Inilah kegagalan orang Kristen di zaman postmodern, suka menonjolkan diri, tetapi tidak mau belajar/merendah. Bagaimana dengan kita? Apakah kita lebih suka melayani Tuhan saja ataukah kita lebih suka mengenal Pribadi yang kita layani sambil melayani-Nya sebagai wujud kita mengasihi-Nya? Biarlah kita mengintrospeksi diri kita masing-masing.

2. Kerinduan untuk menyenangkan hati Allah
Kedua, setelah kita rindu mengenal Allah, selanjutnya kita dituntut untuk menyenangkan hati Allah. Saya akan memberikan ilustrasi. Setelah kita mengenal pasangan kita, kita tentu memiliki kerinduan untuk menyenangkan hatinya. Misalnya, jika pasangan kita menyukai makanan tertentu, kita berusaha menyenangkan hatinya, minimal ikut makan dengannya. Misalnya, jika iman pasangan kita lemah, kita harus menguatkannya. Bagaimana hubungan kita dengan Allah? Setelah kita mengenal Allah, apa yang kita lakukan kemudian? Pengenalan akan Allah tidak cukup hanya sebatas rasio yang mengerti theologi, tetapi pengenalan akan Allah mencakup tindakan bagaimana menyenangkan hati Allah. Kata “berkenan kepada Allah” dalam Roma 12:2 di dalam bahasa Yunani bisa diterjemahkan sebagai disenangi Allah.1 Uniknya, Roma 12:2 ini dikaitkan dengan ibadah sejati. Ibadah sejati adalah ibadah yang tidak dipengaruhi oleh dunia (secara pasif) dan mengubah pola pikir kita sesuai dengan kehendak Allah yang: baik, berkenan kepada Allah, dan yang sempurna (secara aktif). Dengan kata lain, bagaimana kita menyenangkan Allah? Kita menyenangkan hati Allah dengan terus berusaha melakukan apa yang Ia inginkan. Alkitab mengajar, “Inilah tandanya, bahwa kita mengasihi anak-anak Allah, yaitu apabila kita mengasihi Allah serta melakukan perintah-perintah-Nya.” (1Yoh. 5:2) Dengan kata lain, kita dapat mengasihi Allah lebih dalam lagi tatkala kita menyenangkan hati-Nya dan kita bisa menyenangkan hati-Nya tatkala kita melakukan apa yang diperintahkan-Nya. Bagaimana kita bisa melakukan apa yang diperintahkan-Nya?
a. Kerelaan untuk taat mutlak.
Kita bisa melakukan apa yang diperintahkan-Nya dengan pertama-tama kita rela untuk taat mutlak. Apa artinya taat mutlak? Berarti, kita menundukkan diri kita secara mutlak kepada Allah. Menundukkan diri berarti kita patuh dan tidak bertanya apa pun kepada Allah. Menundukkan diri juga berarti mengatakan TIDAK kepada kehendak diri yang bertentangan dengan kehendak Allah. Ketika Allah memanggil Abraham keluar dari Urkasdim, Abraham taat. Artinya adalah Abraham tidak bertanya apa pun kepada Allah tentang masa depannya ketika ia keluar dari Urkasdim. Mengapa Abraham tidak bertanya apa pun? Karena ia beriman pada dan di dalam Allah. Iman inilah yang mengakibatkan ia berkomitmen menjalankan perintah Allah dengan segala risiko yang harus ia tanggung. Iman yang sama juga terdapat di dalam diri Paulus. Karena iman, ia rela taat mutlak akan pimpinan Allah ke mana pun ia diutus. Paulus tak pernah bertanya risiko yang harus ia hadapi. Hanya satu yang ia lakukan yaitu TAAT. Mengapa para tokoh di Alkitab bisa memiliki ketaatan kepada Allah? Karena mereka yang sudah diselamatkan memiliki komitmen iman untuk terus menyenangkan Allah dengan melakukan perintah-Nya. Bagaimana dengan kita? Ketika firman Tuhan diberitakan baik melalui pembacaan Alkitab maupun di dalam khotbah, bagaimana reaksi kita? Ketika firman Tuhan mengajar kepada kita untuk menyangkal diri dan memikul salib, sudahkah kita siap untuk taat mutlak? Apakah kita masih bertanya dan menimbang untung ruginya kita ketika menyangkal diri? Mari kita introspeksi diri masing-masing: seberapa rindukah kita rela taat mutlak kepada perintah Allah?
b. Kerelaan untuk ditegur dan ingin bertumbuh terus-menerus.
Kita sudah taat mutlak, tetapi mungkin sekali di dalam proyek ketaatan kita, ada hal-hal yang belum kita jalankan atau kita belum taat 100%. Di sini, kita membutuhkan kerelaan untuk ditegur oleh saudara seiman kita dan ingin bertumbuh di dalam iman terus-menerus. Orang yang dewasa TIDAK diukur dari seberapa tinggi pendidikan akademis yang dia peroleh atau seberapa hebat dia menguasai segala sesuatu. Orang yang dewasa diukur dari seberapa dia mau DITEGUR. Orang dewasa yang ketika ditegur, langsung marah-marah, itu membuktikan orang itu sebenarnya masih kekanak-kanakan (childish behavior). Dewasa ini, teguran adalah sesuatu yang “haram.” Di dalam Kekristenan postmodern, ketika ada hamba Tuhan yang bertanggung jawab menegur dosa jemaat/gereja lain yang menyeleweng dari Alkitab, hamba Tuhan itu dicap kurang cinta kasih, “menghakimi,” dll, lalu memakai Matius 7:1 untuk mendukung argumentasinya yaitu perkataan Tuhan Yesus yang mengajarkan agar kita jangan menghakimi. Apakah benar Matius 7:1 mengajarkan agar kita jangan menghakimi? TIDAK! Matius 7:1 memang mengajar bahwa kita jangan menghakimi, tetapi jangan lupa, di ayat 2-5, Tuhan Yesus menajamkan makna di ayat 1 yaitu kita harus menghakimi dengan standar/ukuran yang benar. Artinya, kita jangan menghakimi kesalahan orang, jika kita sendiri memiliki kesalahan yang sama dengan kesalahan orang yang kita hakimi. Misalnya, kita adalah koruptor, lalu kita menghakimi koruptor lain. Itu adalah penghakiman yang tidak adil, karena kita menghakimi kesalahan orang lain, padahal kesalahan kita tidak berbeda dengan kesalahan orang yang kita hakimi. Jika memang “benar” bahwa di Matius 7:1, Tuhan Yesus menyuruh kita untuk tidak menghakimi, mengapa di ayat 15-23, Tuhan Yesus yang sama menghakimi siapa yang sesat dan tidak? Di sini, kita harus mengerti totalitas pengertian Alkitab tentang menghakimi yang benar, bukan dengan motivasi yang sembrono dan tidak bertanggung jawab. Kita menghakimi sesuai dengan ukuran yang benar yaitu Kebenaran Allah, selebihnya kita menyerahkannya kepada Allah (bdk. Rm. 12:19).
Konsep teguran atau/dan penghakiman yang benar ini mengakibatkan kita semakin taat kepada Allah dan semakin rindu bertumbuh. Mengapa? Karena dengan teguran itu, kita disadarkan akan kekurangan kita di dalam proyek ketaatan kita, kemudian kita dibangkitkan kembali hasrat untuk terus bertumbuh di dalam pengenalan akan Kristus melalui karya Roh Kudus. Roh Kudus bisa memakai teguran dari saudara seiman kita untuk mempertumbuhkan iman kita. Oleh karena itu, jangan sepelekan teguran dari saudara seiman kita. Pikirkanlah baik-baik teguran itu dari perspektif kebenaran Allah. Jika teguran itu benar, terimalah dengan kerendahan hati dan ubahlah seluruh kekurangan kita dengan bantuan Roh Kudus. Sudahkah hati kita terbuka pada teguran Roh Kudus baik secara langsung maupun melalui saudara seiman kita untuk menjalankan perintah-Nya? Pertumbuhan iman dan karakter kita dimulai dari kerinduan kita ditegur.
c. Kerelaan untuk saling menguatkan sesama umat Tuhan.
Setelah kita rela ditegur, selanjutnya kita bukan hanya menerima teguran, tetapi kita pun dituntut untuk menguatkan sesama umat Tuhan lainnya. Di sini, kita membutuhkan satu komunitas hidup (istilah yang saya pinjam dari Pdt. Sutjipto Subeno ketika mengeksposisi Matius: life community­–komunitas hidup). Komunitas hidup adalah komunitas yang saling menguatkan iman dan karakter satu sama lain. Komunitas yang saling menguatkan adalah komunitas yang ingin bertumbuh bersama untuk menjalankan perintah Tuhan. Misalnya, jika kita sudah menjalankan perintah Tuhan tertentu, kita bisa mengingatkan sesama kita yang belum menjalankannya, begitu juga sebaliknya. Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita sebagai anggota tubuh Kristus mengingatkan dan menguatkan umat Tuhan lainnya ketika mereka berada di dalam jalan yang menyeleweng dari kebenaran?


Setelah kita merenungkan seberapa dalam kita mengasihi-Nya, bagaimana respon kita? Sudahkah kita memiliki kerinduan yang dalam untuk lebih lagi mengasihi Allah dan firman-Nya dengan menaati apa yang difirmankan-Nya? Amin. Soli Deo Gloria.

1 Hasan Sutanto, PBIK Jilid 1: Perjanjian Baru Interlinear Yunani-Indonesia (Jakarta: Lembaga Alkitab


"Faith does not depend on miracles, or any extraordinary sign, but is the peculiar gift of the spirit, and is produced by means of the word … There is to which the flesh is more inclined than to listen to vain revelation."
(Dr. John Calvin)

Senin, 03 November 2008

PENGARUH FILSAFAT NEW AGE TERHADAP PENDIDIKAN DAN UPAYA PREVENSINYA
oleh: Denny Teguh Sutandio


Gerakan Zaman Baru
Ketika di zaman modern orang-orang mengilahkan rasio sebagai sumber kebenaran, maka di zaman postmodern orang-orang mengilahkan perasaan (feeling) sebagai sumber kebenaran. Pengilahan perasaan inilah akar dari Gerakan Zaman Baru (New Age Movement) yang mulai berkembang sejak tahun 1970-80.[1] Sumber wikipedia menyebutkan tidak ada definisi formal dari Gerakan Zaman Baru, tetapi beberapa orang mendefinisikan New Age sebagai suatu tindakan seseorang yang mencoba pengajaran-pengajaran dan praktik-praktik dari tradisi-tradisi arus utama dan tambahan, lalu membentuk suatu kepercayaan dan praktik berdasarkan pengalamannya sendiri. Dari definisi non-formil ini, kita mendapatkan gambaran singkat tentang spiritualitas Gerakan Zaman Baru, yaitu adanya penekanan pada pengalaman pribadi. Karena penekanan pada pengalaman pribadi, maka tidak heran spiritualitas Gerakan Zaman Baru sangat digandrungi khususnya oleh kaum muda. Sumber wikipedia menyebutkan sekarang ini, kira-kira 20% orang dewasa Amerika paling sedikit menganut kepercayaan Gerakan Zaman Baru.


Filsafat Gerakan Zaman Baru dan Pengaruhnya di dalam Dunia Pendidikan
Lalu, apa yang diajarkan Gerakan Zaman Baru? Karena Gerakan Zaman Baru merupakan formulasi kepercayaan dan praktik yang didasarkan pada pengalaman pribadi, maka ajaran-ajaran Gerakan Zaman Baru adalah campuran dari berbagai arus pengajaran baik dari agama, filsafat, maupun mistisisme. Prof. James W. Sire, Ph.D. di dalam bukunya Semesta Pikiran: Sebuah Katalog Wawasan Dunia Dasar menyebutkan, “Wawasan dunia Zaman Baru sangat sinkretis dan eklektik. Wawasan dunia ini meminjam dari setiap wawasan dunia utama.”[2] Oleh karena itulah, kita akan menyelidiki apa yang diajarkan Gerakan Zaman Baru yang dipinjam dari beragam wawasan dunia.


Berikut adalah filsafat, kosmologi, dan pendekatan Gerakan Zaman Baru (GZB) terhadap agama dan sains yang dikutip dari beberapa sumber:
· Theisme: GZB memercayai adanya ide pantheistik akan Allah, yang ada di dalam semua jalan, termasuk melalui beragam ilah atau politheisme.[3]
Di titik pertama, GZB mengakui adanya Allah. Tetapi Allah yang dipercayai adalah ilah pantheistik, yaitu ilah-ilah yang banyak dan beraneka ragam serta pantheis. Artinya, para penganut GZB memercayai bahwa tidak ada 1 Allah yang absolut pada diri-Nya, tetapi “Allah” itu termanifestasi di dalam semua manusia. Dengan kata lain, manusia diidentikkan dengan “Allah.” Konsep ini ada yang dipaparkan secara jelas oleh para penganut GZB dan ada juga yang disamarkan. Ide dasarnya adalah kehebatan manusia karena di dalam diri manusia ada kekuatan besar yang sedang tidur dan kekuatan itu harus dibangunkan. Nah, cara membangunkan kekuatan besar itu adalah melalui training motivasi. Training motivasi di dunia postmodern ini sangat laris. Andrie Wongso (seorang Buddhist) terkenal dengan slogannya, “Success is My Right,” Tung Desem Waringin terkenal dengan slogannya, “Dahsyat,” dan Johan Yan (mengaku “Kristen”) terkenal dengan slogannya, “Poor is Sin.” Hampir semua para motivator yang ada baik di Indonesia maupun di luar negeri menganut prinsip tunggal yaitu pantheisme (baik yang dipaparkan secara jelas atau samar-samar). Ternyata, training motivasi ini tidak laku di perusahaan/kantor saja, tetapi juga merambah di dunia pendidikan. Saya sendiri mengamati di sebuah universitas “Kristen” terkenal di Surabaya, sang motivator yang terkenal dengan slogannya, “Success is My Right” diundang. Hal ini tidak usah mengherankan, karena universitas “Kristen” tersebut sudah menjadi atheis terselubung, sehingga GZB dengan leluasa bisa masuk dan memengaruhi semua mahasiswa, dosen, dan civitas akademika yang katanya mengaku “Kristen.” Akibatnya, para mahasiswa, dosen, dll yang ada di universitas tersebut tidak lagi menyadari pentingnya realita dosa, keselamatan, penebusan, dan hidup baru di dalam Kristus. Sehingga tidak heran, meskipun mengaku diri “Kristen,” mereka lebih percaya pada diri mereka sendiri yang hebat, pintar, bergelar akademis, dll, dan tidak lagi mau ditegur dosa atau kesalahan konsepnya jika konsepnya tidak sesuai dengan Alkitab.

· Kehidupan setelah mati: GZB memercayai bahwa kesadaran setelah manusia meninggal itu ada dalam bentuk-bentuk yang berbeda. Kehidupan setelah kematian itu bisa berupa bentuk roh, reinkarnasi, dan/atau pengalaman dekat kematian (near-death experiences). Mungkin juga ada kepercayaan tentang neraka, tetapi itu berbeda total dari kepercayaan Kristen tentang neraka sebagai penghukuman kekal.[4]
Meskipun GZB memercayai adanya kehidupan setelah kematian, konsep mereka berbeda dari konsep Kekristenan. GZB memercayai kehidupan setelah kematian berbentuk roh atau seperti penganut Hinduisme dan Budhisme yaitu reinkarnasi. Reinkarnasi percaya bahwa manusia setelah meninggal, jiwa mereka akan kembali lagi ke dunia ini sebelum akhirnya dimurnikan kembali.[5] Reinkarnasi bukan hanya berdampak pada dunia spiritualitas saja, tetapi juga di dalam kehidupan sehari-hari. Orang yang memercayai paham reinkarnasi biasanya menghasilkan etos kerja yang tidak bertanggungjawab. Mengapa? Karena orang tersebut memercayai bahwa jiwa manusia itu terus berulang (siklis), sehingga kalau pun di dunia ini perbuatan baiknya (termasuk pekerjaan) masih kurang, di dunia akan datang, orang yang sama bisa lebih berbuat baik (bekerja lebih keras), sampai akhirnya jiwanya disempurnakan. Dan lagi, perbuatan/pekerjaan baik yang mereka lakukan pun pasti memiliki motivasi yang tidak baik, yaitu supaya nanti setelah mati, ia bisa lahir kembali dalam rupa yang lebih baik. Selain di dalam pekerjaan, reinkarnasi ini juga berpengaruh pada dunia pendidikan, di mana mahasiswa/siswa yang menganut konsep ini akan menjadi malas belajar, karena mereka percaya bahwa di dunia yang akan datang, mereka bisa belajar lebih giat lagi ketimbang sekarang. Tidak heran, di zaman postmodern ini, banyak mahasiswa (Kristen maupun non-Kristen) yang menganut GZB menjadi mahasiswa pragmatis dan utilitarian.

· Astrologi: GZB memercayai adanya astrologi, horoskop, dan zodiak.[6]
Kemudian, GZB juga memercayai alam mistis, di mana shio dan bintang memengaruhi kehidupan seseorang, baik pekerjaan, cinta, jodoh, bisnis, dll. Konsep ini diajarkan melalui dua media/sarana. Pertama, media cetak. Di sebuah majalah remaja/acara remaja di TV swasta, konsep GZB ini ditemukan dan konsep ini mau tidak mau akhirnya meracuni para remaja/pemuda untuk lebih memercayai ramalan bintang. Kedua, media verbal/lisan. Ramalan shio, bintang, hari, dll biasanya diajarkan oleh orangtua kuno (pendidikan first decree) pada anak-anaknya, misalnya, malam Jumat Kliwon, setan berkeliaran. Lalu, orangtua tersebut juga mengajar anaknya untuk tidak menikah dengan orang yang shionya Kelinci, karena orang yang shionya Kelinci itu keras, dll. Akibatnya, anak-anak seperti ini ketika bertumbuh menjadi dewasa memercayai hal itu dan akhirnya menerapkan konsep pengajaran itu kepada anak-anak mereka setelah mereka menikah. Dan hal itu terus berlanjut sampai ke cucu, cicit, dan keturunan-keturunannya (meskipun banyak dari mereka mengaku diri “Kristen”). Pendidikan dekrit pertama dari orangtua yang seharusnya mengajar anak-anak dengan pendidikan yang bertanggungjawab dan beriman, sekarang dirusak oleh setan dengan pendidikan mistik yang berpusat pada setan.

· Teleologi: GZB memercayai adanya tujuan dalam hidup. Ini mencakup kepercayaan akan sinkronisitas (synchronicity) yang memiliki makna spiritual, dan mengandung pelajaran spiritual yang mengajar bahwa segala sesuatu secara universal berhubungan dengan Allah, berpartisipasi di dalam energi yang sama. Itulah tujuan kosmis dan kepercayaan bahwa semua keberadaan (entity) bekerja sama menuju tujuan ini.[7]
Meskipun GZB memercayai adanya tujuan hidup, tujuan hidup tersebut bukan tujuan yang ditetapkan Allah, tetapi tujuan yang bekerja sama bersatu di dalam makro kosmos. Artinya, semua manusia ini adalah mikro kosmos yang pada akhirnya bersatu di dalam makro kosmos. Dengan kata lain, di dalam sebuah makro kosmos tersebut, terdapat beragam mikro kosmos yang berbeda (karena adanya perbedaan pribadi setiap manusia). Jika memang terdapat beragam mikro kosmos yang berbeda di dalam satu makro kosmos, bisakah mikro kosmos memiliki tujuan hidup sejati? Bukankah mikro kosmos ini memiliki tujuan hidup yang tidak jelas (ambigu) karena tidak adanya standar di dalam makro kosmos? Karena ambiguitas dan kekacauan di dalam tujuan hidup, akibatnya, orang-orang yang menganut paham GZB pun memiliki kekacauan arah dan tujuan hidup. Mereka menetapkan sendiri tujuan hidup yang “cocok” dengan kemauannya sendiri. Di dalam dunia pendidikan, hal ini semakin terlihat. Hampir tidak adanya satu guru/dosen Kristen yang mengarahkan anak didiknya untuk menggumulkan tujuan hidupnya menurut kehendak Tuhan, akibatnya anak didik dari kecil dibiarkan sesuka hatinya menetapkan tujuan hidupnya. Dan yang lebih parahnya, para anak didik menetapkan tujuan hidupnya menurut apa yang mereka mau atau apa yang “cocok” dengan selera mereka/orang-orang terdekat mereka baik akibat pengaruh orangtua, teman, saudara, pasangan hidup (pacar), atau penetapan diri sendiri.

· Spiritualitas eklektik: GZB memercayai bahwa setiap orang harus mengikuti jalannya sendiri menuju pada spiritualitas dan tidak mengikuti dogma. Agama-agama dan filsafat-filsafat yang berbeda dari seluruh dunia menawarkan praktik-praktik yang berbeda yang dapat diadopsi oleh orang-orang dalam pencariannya.[8]
Setelah manusia tidak memiliki tujuan hidup yang jelas, para penganut GZB diajarkan untuk menentukan tujuan hidup itu semakin kacau yaitu menurut jalannya sendiri dan mengabaikan dogma. Tujuan hidup yang semakin kacau diakibatkan oleh paham universalisme yang menganggap semua agama itu sama saja. Karena semua agama itu sama saja, maka tujuan hidup seseorang itu sama saja. Arti konsep ini ada dua:
Pertama, human-centered life. Penganut GZB diajarkan untuk menentukan tujuan hidup menurut jalannya sendiri, dengan kata lain, mereka diajarkan untuk menentukan tujuan hidupnya sendiri yang berpusat pada manusia. Akibatnya, jika ada orang lain yang mencoba mengusik kelemahan konsepnya ini, mereka akan marah dan mengatakan bahwa orang lain tersebut tidak usah mengurusi hidupnya sendiri (“My business is my business. Your business is your business. My business is not your business. Your business is not my business. So, let us do our own business.”). Tetapi herannya, ketika ada orang lain yang memiliki konsep tujuan hidup yang berbeda dari konsep tujuan hidup para penganut GZB yang self-centered ini, mereka akan ngamuk dan cenderung menghina dengan mengatakan bahwa hari begini tidak usah mengurusi masalah Tuhan segala, yang penting apa yang kita anggap baik, jalankan saja. Dengan kata lain, para penganut GZB tidak mau diusik konsep tujuan hidupnya oleh orang lain, tetapi secara kontradiksi, mereka suka mengusik dan menghina konsep tujuan hidup orang lain yang lebih tinggi. Inilah ketidakkonsistenan konsep GZB. Hal ini juga nampak dalam dunia pendidikan, di mana para anak didik diarahkan untuk terus memikirkan apa yang menjadi cita-cita mereka, bukan apa yang Tuhan kehendaki. Cita-cita mereka ini digenjot dengan training motivasi baik dari guru/dosennya atau mengundang para motivator untuk mengajarkan bahwa cita-cita mereka itu baik dan harus dikembangkan (bukan menurut apa yang Tuhan kehendaki). Hal ini tercermin di dalam falsafah pendidikan Maria Montessori di dalam Sekolah Baby Smile di Surabaya di mana mereka percaya bahwa setiap orang secara moral itu baik, maka pendidikan dimaksudkan untuk membuat anak didik semakin baik.

Kedua, mengabaikan dogma. Orang yang cuek dengan tujuan hidup adalah orang yang mengabaikan dogma. Dogma bagi mereka adalah dogma yang kaku, kolot, otoritatif, dan mengikat. Akibatnya, bagi mereka, ketika dogma dijalankan, mereka tidak bisa bebas lagi. Pengabaian dogma juga berdampak pada dunia pendidikan yang tidak mau diintegrasikan dengan dogma apalagi dogma Kristen. Di dalam dunia pendidikan, hal ini juga nampak. Tidak heran seorang dosen yang mengaku diri “Kristen” di sebuah universitas “Kristen” di Surabaya berani mengatakan bahwa sains dan agama tidak ada hubungannya.

· Anti-Patriarchy: GZB memercayai bentuk feminin dari spiritualitas, termasuk bentuk feminin dari ilah, misalnya Aeon Sophia di Gnostisisme.[9]
Konsep lain dari GZB adalah munculnya anti kepemimpinan pria atau yang lebih dikenal dengan Feminisme. Meskipun terdapat beragam variasi feminisme, ide dasarnya adalah penyamarataan pria dan wanita di dalam tugas dan kewajiban. Jika pria bisa menjadi presiden, wanita pun berhak menjadi presiden, dll. Hal ini dimulai dari ide Grika tentang adanya ilah yang feminin (dewi) yaitu adanya dewi Aeon Sophia. Gambaran ilah yang agung dijadikan feminin (kewanita-wanitaan), begitu pula hal ini berimplikasi di dalam dunia kita sekarang. Gambaran malaikat yang cowok sekarang digambarkan oleh banyak gereja dengan peran cewek yang feminin. Di dalam dunia pendidikan pun, para pria tidak diajar bagaimana menjadi seorang pria yang berintegritas, bertangungjawab, berbijaksana, dll, sedangkan para wanita diajar bagaimana menjadi wanita yang sopan, lembut, perhatian, dll, tetapi semuanya dikaburkan. Pria dan wanita diajarkan hal yang sama tanpa adanya perbedaan penekanan. Akibatnya, tidak heran, ada seorang wanita yang kelakuannya maskulin (tomboi): tidak sopan, tidak lembut, dll. Tetapi herannya, kalau di angkutan umum, para cewek minta diperhatikan/dikhususkan, misalnya para cowok harus memberikan tempat duduk kepada seorang wanita/ibu. Selain itu, banyak wanita yang menjadi wanita karier adalah wanita yang berintegritas, keras, tegas, dll, seperti layaknya seorang pria, lalu ketika wanita karier ini menjadi seorang istri, ia pun memperlakukan suaminya seperti seorang pegawai.

· Sains (ilmu pengetahuan): GZB memercayai bahwa sains Barat mengabaikan terapi alternatif, seperti parapsikologi, meditasi, dan kesehatan holistik. Bagaimanapun, sains dan spiritualitas akhirnya harmonis. Penemuan-penemuan baru di dalam sains, seperti evolusi dan mekanik quantum (quantum mechanics), ketika secara benar dimengerti, menunjuk pada prinsip-prinsip spiritual.[10]
Konsep terakhir GZB adalah dimunculkannya hal-hal mistik pada dunia sains/ilmu pasti. Mereka mengajar bahwa sains dan spiritualitas pada akhirnya harmonis dengan pengertian bahwa semua hal sains menuju pada prinsip-prinsip spiritual. Akibatnya, para anak didik di dalam dunia pendidikan tidak lagi memelajari sains yang murni/pasti, tetapi sains yang ambigu/tidak pasti, karena mengandung unsur-unsur spiritual. Tidak heran juga, game-game yang digandrungi oleh anak muda zaman sekarang adalah bergenre virtual reality (realita semu).


Prevensi Kristen terhadap Pengaruh Filsafat Gerakan Zaman Baru di dalam Dunia Pendidikan
Sebagai kritik dan pencegahan Kristen terhadap pengaruh filsafat GZB terhadap dunia pendidikan, saya mengusulkan dua hal yang menjadi doktrin Kristen dan aplikasinya dalam kehidupan Kristen khususnya dalam dunia pendidikan.
1. Allah adalah Pencipta
Kekristenan yang berdasarkan Alkitab percaya bahwa Allah adalah Pencipta dunia beserta segala isinya, termasuk manusia. Alkitab mencatat bahwa Allah menciptakan manusia: laki-laki dan perempuan. Manusia diciptakan segambar dan serupa dengan Allah sebagai makhluk ciptaan. Sebagai pribadi yang diciptakan, Prof. Anthony A. Hoekema, Th.D. memaparkan konsep yang menarik, yaitu manusia adalah makhluk yang memiliki “kehendak bebas” (manusia sebagai pribadi) sekaligus manusia yang harus bergantung dan taat mutlak pada Pencipta (yang diciptakan).[11] Karena manusia memiliki “kemandirian yang relatif”, maka manusia berhak menentukan hidupnya sendiri termasuk bagi masyarakat. Tetapi ia harus ingat bahwa manusia tetap adalah ciptaan yang harus bergantung pada Allah. Dosa mengakibatkan manusia tidak lagi sadar bahwa dia hanya manusia, sehingga ia ingin menjadi seperti Allah. Itulah sebenarnya konsep GZB bahwa manusia = Allah. Konsep ini harus dicegah dengan cara para guru/dosen Kristen harus kembali mengajar ulang tentang doktrin Kreasionisme/Penciptaan dan Hamartologi/Dosa kepada para anak didik mereka, sehingga mereka tidak lagi berpikiran bahwa manusia = Allah.

Akibat kedua dari dosa tersebut adalah bingungnya identitas diri. Dosa mengakibatkan manusia sendiri bingung akan identitas/jati dirinya sebagai manusia. Manusia pria bingung tentang natur, tugas, dan kewajiban pria, begitu juga dengan wanita. Karena kebingungan ini, secara pragmatis, manusia postmodern segera menyamaratakan semua tugas dan kewajiban baik pria maupun wanita. Manusia menjadi bingung akan jati diri, mengapa? Karena dosa. Rev. Prof. Cornelius Van Til, Ph.D. di dalam bukunya The Defense of the Faith memaparkan bahwa dosa berarti interpretasi manusia berdosa (yang mengambil alih posisi interpretasi Allah) terhadap dunia ini. Supaya manusia tidak lagi bingung akan jati dirinya, manusia harus disadarkan kembali akan tugas dan tanggung jawabnya sebagai manusia pria dan wanita yang diciptakan sama namun berbeda dalam fungsi dan tanggung jawabnya di hadapan Tuhan. Sudah saatnya para pendidik Kristen mengajar dan mendidik para anak didiknya tentang konsep bahwa manusia pria dan wanita itu sama-sama diciptakan Allah dengan dua tugas, peran, dan tanggung jawab yang berbeda yang nantinya harus dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan.

2. Allah adalah Sumber Segala Sesuatu
Selain sebagai Pencipta, Allah adalah Sumber Segala Sesuatu. Saya membagikan Allah sebagai Sumber Segala Sesuatu ini menjadi 4 pengertian:
Pertama, Allah sebagai Sumber Kehidupan. Karena sebagai Pencipta, Ia tentu memiliki makna dan tujuan hidup yang sesungguhnya. Dengan kata lain, Ia adalah Kehidupan. Kehidupan itu telah dinafaskan kepada manusia sehingga manusia yang dari debu tanah menjadi makhluk yang hidup. Tetapi dosa merusakkan semuanya dan akibatnya, manusia yang hidup tidak lagi memiliki makna dan tujuan hidup. Puji Tuhan, Allah mengutus Putra-Nya yang Tunggal, Tuhan Yesus Kristus yang adalah Jalan dan Kebenaran dan Hidup (Yoh. 14:6) untuk memberikan kehidupan sejati yang Allah maksudkan kepada umat pilihan-Nya, sehingga setiap umat-Nya dapat hidup dan bahkan hidup berkelimpahan (bukan dalam pengertian materi) di dalam-Nya (Yoh. 10:10). Penebusan Kristus mengembalikan natur manusia kepada natur yang sesungguhnya yaitu gambar dan rupa Allah, sehingga manusia yang dahulu tak memiliki tujuan hidup akhirnya memiliki tujuan hidup yang pasti, lalu Roh Kudus menyempurnakan hal tersebut sampai kesudahannya. Sehingga tujuan hidup umat pilihan-Nya menjadi jelas dan pasti karena Allah yang telah mencipta, menebus, dan terus menyempurnakan umat-Nya itulah sebagai Sumber Kehidupan. Kehidupan di luar Allah Trinitas adalah kehidupan yang sia-sia, karena kehidupan itu tidak memiliki dasar, makna, dan tujuan hidup yang jelas.

Kedua, Allah sebagai Sumber Hikmat. Karena Ia telah menciptakan dunia ini, maka Ia tentu juga sebagai Sumber Hikmat yang mengatur dunia ini (pemeliharaan/providensi-Nya). Dengan kata lain, semua dunia ini dan pengetahuannya harus bersumber pada Allah sebagai Sumber Hikmat (Ams. 1:7). Semua pengetahuan di luar Hikmat Allah adalah pengetahuan yang sia-sia. Karena kita percaya bahwa takut akan Tuhan adalah permulaan segala pengetahuan, maka sudah seharusnya semua orang Kristen yang takut akan Tuhan harus mengintegrasikan setiap doktrin iman Kristen dengan setiap bidang pengetahuan, baik ekonomi, sosial, pendidikan, hukum, bisnis, dll. Artinya, setiap doktrin iman Kristen menjadi sumber, penghakim, penuntun dari semua bidang pengetahuan untuk memuliakan Tuhan. Akibatnya, setiap sains atau bidang pengetahuan lain yang tidak sesuai dengan Alkitab (misalnya yang dipengaruhi GZB) harus dihakimi. Itulah tugas dan peran serta tanggung jawab para pendidik Kristen khususnya ketika mengajar sains (baik: Fisika, Matematika, maupun Kimia) yang dikaitkan dengan iman Kristen yang solid.

Ketiga, Allah sebagai Sumber Pengharapan. Selain Sumber Hikmat, Ia juga adalah satu-satunya Sumber Pengharapan kita. Pengharapan di sini berarti pengharapan di dalam hidup kita. Ketika GZB mencoba menawarkan shio, bintang, dll di dalam horoskop, dll, mereka sebenarnya sedang berusaha menuntun manusia untuk melupakan Tuhan sebagai Sumber Pengharapan lalu berbalik kepada setan dan ramalan manusia yang belum tentu benar. Nah, inilah tugas, peran, dan tanggung jawab para pendidik Kristen dalam mendidik dan mengajar para anak didik bahwa mereka harus berharap hanya kepada Tuhan di dalam seluruh hidupnya, baik jodoh, keuangan, pekerjaan, dll, karena di dalam Dia ada Pengharapan yang pasti, di mana Dia sendiri adalah Allah yang kekal (tidak berubah) yang patut dipercayai.
Keempat, Allah sebagai Sumber Keselamatan. Selain Ia sebagai Sumber Pengharapan, Ia juga sebagai Sumber Keselamatan kita yang pasti. Artinya, kita bisa memiliki pengharapan hidup yang pasti tatkala kita sudah diselamatkan oleh satu-satunya Sumber Keselamatan kita, yaitu Allah Trinitas. Allah Bapa merencanakan keselamatan bagi umat pilihan-Nya di dalam Kristus, Allah Anak (Tuhan Yesus) menggenapi apa yang telah direncanakan Allah Bapa, dan Allah Roh Kudus menyempurnakan apa yang telah dikerjakan Kristus. Semua karya keselamatan dari Allah Trinitas ini mengindikasikan bahwa Allah yang mencipta juga adalah Allah yang menyelamatkan dan memelihara keselamatan dan hidup umat-Nya, sehingga sebagai umat-Nya, kita tidak perlu kuatir akan kehilangan keselamatan kita. Ia yang memulai keselamatan, Ia pula lah yang pasti menyempurnakan dan mengakhirinya. Haleluya! Berarti, di dalam Kristus, kita memiliki kehidupan setelah kematian, yaitu hidup bersama-sama dengan Kristus di Surga (Yoh. 11:25). Inilah yang tidak dimiliki di dalam konsep GZB tentang kehidupan setelah kematian. GZB hanya memercayai adanya hidup setelah kematian di dalam pengertian siklis dan tidak pasti, bukan dalam pengertian linear dan pasti. Di sini, Kekristenan menjawab semua problematika GZB tentang kehidupan setelah kematian, karena GZB tidak memiliki pengertian totalitas akan kehidupan, sedangkan Kekristenan memilikinya (bdk. konsep Allah sebagai Sumber Kehidupan di poin atas). Nah, kembali, tugas para pendidik Kristen adalah memberitakan Injil di dalam pendidikan kepada para anak didik mereka sehingga dari kecil, mereka disadarkan akan pentingnya kehidupan, hikmat, pengharapan, dan keselamatan yang dikerjakan Allah Trinitas di dalam hidupnya. Sambil menginjili, para pendidik tetap harus berdoa agar Roh Kudus bekerja melahirbarukan dan mencerahkan hati dan pikiran para anak didik, sehingga mereka boleh bertobat sejak dini. Pendidikan Kristen jangan pernah dilepaskan dari penginjilan.


Biarlah, melalui dua prinsip utama prevensi Kristen terhadap pengaruh filsafat GZB di dalam dunia pendidikan boleh menyadarkan kita akan urgensinya peran, tugas, dan tanggung jawab para pendidik Kristen di era postmodern ini. Sudahkah kita siap menjawab tantangan zaman dan menantang zaman postmodern ini dengan kebenaran Alkitab? Amin. Soli Deo Gloria.

“Hati-hatilah, supaya jangan ada yang menawan kamu dengan filsafatnya yang kosong dan palsu menurut ajaran turun-temurun dan roh-roh dunia, tetapi tidak menurut Kristus.” (Kolose 2:8)

To search for wisdom apart from Christ means not simply foolhardiness, but utter vanity. (Dr. John Calvin)