Selasa, 30 Desember 2008

Tujuh Karakter Sukses yang Sejati
oleh: Pdt. Eddy Fances, D.Min.

Sebagai seorang yang telah ditebus oleh Kristus dan ditempatkan dalam dunia ini, seharusnya kita berpikir bahwa Allah memiliki tujuan yang mulia dalam kehidupan kita. Tujuan yang termulia adalah agar kita semua dapat mencerminkan "gambar dan rupa Allah" yang telah dipulihkan dalam Kristus. Dengan kata lain, kita akan berfungsi maksimal dalam hidup dan pelayanan di dunia ini sesuai dengan kehendak-Nya; yaitu mencapai "kesuksesan" menurut definisi dan ukuran Allah sendiri.

Sukses menurut definisi Allah adalah adalah sukses yang dicapai ketika di dunia ini, dengan melakukan kehendakNya, dan pada saat kematian nanti, kita disambut oleh Tuhan Allah dengan berkata: "Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia; engkau telah setia dalam perkara kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang besar. Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu." (Matius 25:21&23). Tidak ada kesuksesan yang melebihi pujian ini, bukan? Saya yakin tidak ada seorang pun di dunia ini yang tidak merindukan pujian langsung dari Allah yang Maha Pencipta, Maha Pengasih, Maha Baik an Maha Besar itu. Dua bagian Firman Tuhan di atas memberikan kita fondasi dalam hidup dan pelayanan yang sungguh sukses di mata Tuhan dan di mata manusia. Sungguh benar, dari pihak Tuhan, Dia menjanjikan kesuksesan yang sejati sebagai sesuatu yang dapat dicapai, nyata, dan sungguh membahagiakan. Sedangkan dari pihak kita, manusia, dituntut tanggung jawab yang baik dan setia dalam menggunakan apa yang sudah dipercayakan kepada kita. Tentunya hal ini akan berhasil jikalau kita bersandar penuh kepada Firman Tuhan, yang adalah satu-satunya standard iman, moral, dan aktivitas kita sehari-hari.

Sekali lagi saya ulangi, sukses bukan soal kekayaan, bukan soal sex, bukan soal kuasa, bukan soal kesehatan, bukan soal tercapainya sebuah cita-cita, bukan soal nomor satu, bukan soal bebas dari permasalahan. Bukan. Bukan soal sesuatu yang bersifat materi yang fana, melainkan sesuatu yang bernilai kekal; namun bisa dicapai ketika masih di dunia ini. Inilah anugerah yang besar. Dengan karunia yang Tuhan titipkan kepada kita ketika masih hidup di dunia dengan waktu yang terbatas dan fana ini, kita diberikan kesempatan untuk menghasilkan sukses yang bersifat kekal, tidak terbatas dan baka. Fondasi kesuksesan ini sesungguhnya bukan bersifat eksternal, melainkan internal. Bukan soal materi atau sesuatu lain yang lahiriah; melainkan lebih soal batiniah. Soal karakter yang internal, namun bisa dinyatakan dalam hidup dan pelayanan yang eksternal dan nyata. Selanjutnya saya akan membagikan tujuh karakter utama sukses yang sejati, yang merupakan modal utama dalam membangun sukses di dunia dan di akhirat.



1. Integritas
Sebagian orang sukses di dunia ini dikenal dengan ketidak-jujurannya. Sebagian lagi sungguh telah mengkombinasikan kesuksesan dan kejujuran. Kita harus berani jujur dan berpegang pada kebenaran dan prinsip walaupun kadangkala merasa dirugikan. Integritas sebenarnya jauh melampaui apa yang disebutkan sebagai kejujuran. Integritas adalah sebuah karakter yang di dalamnya terdapat hati yang tulus, jujur, berani membayar harga atau mengambil resiko demi mempertahankan kebenaran, kebaikan dan keadilan. Integritas juga mencakup semua aspek kehidupan secara utuh dan satu. Tidak ada karakter yang lebih penting daripada sebuah integritas karena ia merupakan modal utama untuk mencapai kesuksesan baik dalam hidup, karier, pelayanan, dan dalam membangun relasi dengan sesama manusia. Setiap orang yang sudah percaya kepada Kristus ibarat ciptaan yang baru dalam Kristus yang akan tarus dibentuknya agar mencerminkan karakter Tuhan sendiri. Dengan demikian dunia akan melihat refleksi Kristus dalam diri orang percaya. Rasul Paulus menuliskan Firman Tuhan, "Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang." (2Kor. 5:17).

Tahukah Saudara bahwa piano yang paling baik dan mahal harganya adalah piano Steinway? Keberhasilan piano ini duduk pada tingkat paling atas karena pembuatannya yang unik dan khusus. Lebih kurang 143 tahun yang lalu Henry Steinway menyewa 200 orang seniman dan para ahli di bidang perkayuan untuk dikombinasikan dalam pembuatan piano Steinway yang pertama. Mereka berhasil membuat bagian-bagian dari piano itu yanag terdiri dari 12.000 potongan. Bagian yang paling penting dan sulit adalah proses pembuatan bagian yang melengkung dengan menyatukan 18 lapisan kayu 'maple' yang panjangnya kira-kira 7 meter; lalu ditekan dengan tekanan tinggi dan dilengkungkan dengan mesin yang khusus dalam suhu tertentu. Proses ini menghasilkan bentuk dari sebuah "grand piano" yang diisi dengan tali senar piano yang panjangnya bervariasi. Selanjutnya harus digosok dan dipernis dengan kualitas yang terbaik sebanyak lima lapisan yang kesemuanya dikerjakan dengan tangan, agar bisa menghasilkan piano yang berkilauan penampilannya. Setelah itu dimasukkan dalam Ruangan Pemukul di mana 88 kunci piano dikerjakan secara teliti dan diuji sampai 10.000 kali untuk kemudian dipasang dengan sangat hati-hati sehingga hasil akhirnya sungguh-sungguh halus dan sempurna tanpa cacat.

Ibarat piano Stenway yang terkenal dan mahal harganya karena 'integritasnya' yang tinggi, demikian pulalah orang yang sukses di dunia dan di akhirat memiliki intergritas yang tinggi, yang mencerminkan kehidupan dan pelayanan Kristus di dunia ini. Janganlah Anda pernah 'menjual' integritas Anda dengan harta kekayaan walalupun jumlahnya sebesar bola dunia. Ibarat Yudas Iskariot yang menjual Tuhan Yesus dengan 30 keping perak dan akhirnya gagal dan mati bunuh diri, demikianlah orang yang tidak berintegritas suatu saat akan terjatuh dan gagal total.


2. Disiplin
Kesuksesan sebuah negara tidak tergantung dari berapa banyak sumber alamnya. Lihatlah Jepang yang penuh dengan tanah bergunung batu dengan sumber alam yang amat minim. Namun ia menjadi negara yang sangat sukses dalam teknologi, ekonomi, dan industri, bahkan dalam pertanian modern. Kesuksesan sebuah negara tidak tergantung dari usianya. Lihatlah Australia, Canada, dan Amerika yang usianya jauh lebih muda dari India dan Mesir. Namun negara tersebut jauh lebih maju dan sukses dibandingkan dengan India dan Mesir. Kesuksesan sebuah negara tidak tergantung dari luas wilayahnya. Lihatlah misalnya Singapura dan Swiss yang sempit, namun banyak orang kaya yang menyimpan tabungan mereka di negara tersebut. Bagaimana dengan Indonesia? Kita memiliki wilayah yang luas dan sumber alam yang berlimpah, namun dapatkah Indonesia digolongkan sebagai negara sukses? Mengapa negara-negara yang kita sebutkan diatas bisa disebut sukses? Apa rahasianya? Kata kuncinya adalah disiplin. Ya. Disiplin dalam banyak hal – penggunaan waktu, energi, hukum, pendidikan, dan berbagai aspek lainnya.

Untuk sukses kita harus bekerja lebih rajin dan lebih keras. Jikalau kita bangun lebih pagi satu jam dari biasanya setiap pagi, kita akan memiliki 365 jam setahun lebih daripada orang lain untuk mengerjakan pekerjaan yang lebih baik, efektif, kreatif, dan produktif. Untuk berdisiplin seseorang perlu membayar harga dengan "memaksa diri" terlebih dahulu hingga akhirnya menemukan bahwa disiplin itu adalah sebuah harta yang perlu dikejar dan dijalankan dengan baik dan teratur daripada sesuatu yang ditunggu-tunggu. Tentunya sekali lagi, harus ada keseimbangan yang baik dan bijaksana. Bukan asal kerja keras, ngotot, dan memaksa diri yang mengakibatkan dampak-dampak yang negatif. Sebenarnya hidup disiplin itu tidak harus hanya dalam bekerja dan berproduksi. Dalam hal-hal lain yang membuat rileks pun, disiplin tidak kalah pentingnya. Misalnya: waktu untuk keluarga, olah raga, piknik, dan lain sebagainya. Orang yang menjaga disiplin secara seimbang dalam semua aspek hidup ini akan mendapatkan kesukesan secara seimbang pula.

Saya mendengar kesaksian tentang Johan (bukan nama sebenarnya), seorang pemuda Kristen yang setia beribadah, hidup bahagia dengan istri dan anak-anaknya, dan setia melayani Tuhan dalam Komisi Sekolah Minggu Anak-Anak. Suatu hari ia ditawari pekerjaan baru dengan gaji dua kali lipat plus bonus mobil baru dan rumah dinas. Tanpa berpikir panjang Johan menerima tawaran pekerjaan baru itu dengan syarat bersedia msuk kantor jam berapa saja dan kerja lembur jika diminta oleh boss. Bulan pertama dijalani dengan baik dan normal. Bulan kedua bertambah sibuk karena jam kerja yang panjang plus sering lembur pada akhir pekan. Berulang kali janji yang sudah dibuat untuk acara keluarga dibatalkan. Istri dan anak-anak mulai merasakan kekecewaan. Bulan-bulan ternyata bertambah buruk karena hari Minggu juga sering dipakai untuk kerja lembur. Akibatnya ibadah Johan dan pelayanannya terganggu sama sekali. Mau tidak mau ia harus absen dari ibadah dan membatalkan pelayanan demi pekerjaan yang memang menghasilkan uang yang lebih banyak.

Apakah Johan dan keluarganya lebih bahagia dengan uang dan fasilitas yang lebih limpah? Tidak. 100% tidak. Istrinya sering merasakan kesepian karena Johan jarang sering pulang malam dan ke luar kota. Anak-anak merasa kehilangan tokoh ayah yang bisa diajak berkomunikasi, tempat meminta nasihat, bermain bersama, bersenda gurau, dan belajar bertumbuh dalam banyak hal. Johan sendiri merasakan kelelahan fisik karena volume kerja yang tidak normal dan kurang istirahat. Jiwanya terasa kering karena tidak ada waktu berdoa, membaca Firman, beribadah, bersekutu dan melayani. Hidupnya sesungguhnya hanya untuk bekerja dan bekerja dan bekerja tanpa mendapatkan kepuasan dalam aspek-aspek lainnya.

Akhirnya Johan sadar bahwa dirinya telah menjadi budak pekerjaan dan budak uang. Hidupnya telah dikontrol oleh uang yang telah menutup mata hati dan pikirannya sehingga ia kehilangan banyak berkat Tuhan dan kebahagiaan yang tidak mungkin dibeli dengan uang. Dengan hikmat dan kekuatan dari Tuhan Johan berani mengambil keputusan untuk meninggalkan pekerjaan yang telah membuatnya "keluar dari jalur" sesuai dengan Firman Tuhan. Kini Johan dan keluarganya kembali menikmati hidup yang bahagia dan penuh berkat dalam segala aspek yang ada. Tuhan telah menyadarkannya hingga ia kembali ke jalur yang benar, yaitu jalur Tuhan.

Sekali lagi, disiplin yang menbuat seseorang lebih rajin dan lebih bekerja keras tentunya tidak sama dengan keserakahan yang tidak pernah puas dengan apa yang dikaruniakan Tuhan. Keserakahan dapat membuat orang lupa diri, disilpin menyadarakan seseorang akan keterbatasan dirinya. Keserakahan membuat orang tidak tahu bersyukur, disiplin membuat seseorang senantiasa rendah hati dan beryukur atas karunia Tuhan. Alkitab memberikan peringatan secara serius, "Janganlah kamu menjadi hamba uang dan cukupkanlah dirimu dengan apa yang ada padamu. Karena akar segala kejahatan ialah cinta uang. Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka." (Ibr. 13:5a; 1Tim. 6:10). Orang yang sukses adalah orang yang memiliki disiplin dalam kerangka dan pagar kebenaran Firman Tuhan.


3. Cinta Kasih
Cinta kasih adalah karakter selanjtunya yang harus dimiliki seseorang yang nginhidupnya sukses di dunia dan akhirat. Cinta kasih ini bukan sembarang cinta kasih, namun cinta yang diterimanya dari Kristus yang sudah rela mati baginya diatas kayu salib di Golgota. Kasih yang rela berkorban, kasih yang tidak mementingkan diri, kasih yang membayar 'harga mahal', kasih yang ilahi, kasih yang tak bersyarat. Rasul Paulus menuliskan karakter kasih ini dalam suratnya kepada jemaat Korintus yang sedang berselisih dan bertengkar. Dia ingin mereka mengajar karakter ini sebagai 'alat' yang memulihkan luka-luka perselisihan dan membangun kembali hidup yang sukses dan berkenan kepada Allah. Dia sebutkan bahwa kasih itu, "sabar, kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu. Kasih tidak berkesudahan." (1Kor. 13:4-8a).

Cinta kasih yang sedemikian dapat menjadi alat yang memberikan kestabilan emosi kepada seseorang. Dengan demikian dia akan terhindar dari sifat keserakahan, pemarah, keras kepala, otoriter, dan kasar. Untuk mendapatkan cinta kasih ini, sekali lagi diulangi, seseorang harus terlebih dahulu mengalami cinta kasih Kristus dari Kalvari. Kasih Kristus itulah yang memotivasi, dan memacu emosinya untuk berbelas kasih dan berbuat kasih yang nyata kepada orang lain. Dengan senantiasa mengingat kasih Kristus yang dinyatakan-Nya di atas kayu salib, hati kita akan diluluhkan dan dibentuk agar menyerupai Kristus. Jikalau kita membangun relasi kita dengan orang lain dengan cinta kasih dari Kristus, pastilah kehadiran kita senantiasa menjadi berkat yang membangun semangat orang lain, dan mendorong orang lain untuk hidup dengan saling mengasihi. Hasilnya, kebencian, dendam, iri hati, marah, dan hati yang egois akan lenyap dan digantikan dengan sukacita, damai, dan kebahagiaan. Dengan demikian kesuksesan yang sejati akan tercapai dengan nyata pula.

Sekelompok anak muda yang menamakan diri "Ketupat Agape" (Kelompok Tukar Pendapat Agape) berkumpul bersama di senuah kolam renang sambil makan-makan dan berdiskusi. Topik diskusi sesuai dengan nama kelompoknya yaitu tentang "agape" (kasih ilahi). Si A memulai percakapan dengan menanyakan apa itu definisi kasih ilahi. Si B mencoba menjawab dengan mengatakan bahwa kasih adalah sebuah kata benda yang perlu dijelaskan secara vertikal. Si C meramaikan diskusi dengan mempersoalkan apakah perlu menjabarkan kasih secara vertikal atau horizontal, atau sirkular, dls. "Yang penting kan kasih itu sesuatu yang ada di dalam hati kita", lanjutnya dengan semangat. Si D menambahkan: "Bagi saya kasih itu yang penting bertujuan baik, lepas dari caranya bagaimana, definisinya apa, yang penting untuk kebaikan." Si E tak mau kalah. Dia menangkis: "Lho, tetapi kebaikan itu kan relatif dan subjektif. Ukurannya apa dong?"

Sedang asyik-asyiknya, tiba-tiba seorang anak kecil yang kira-kira berumur 4 tahun terjatuh ke dalam kolam renang. Tangannya mengapai-gapai sambil mulutnya mulai meminum air. Si A berteriak: "Hei, anak siapa itu?" Si B menyahut: "Siapa yang pintar berenang?" Si C ikut berdiri namun hanya berteriak: "Panggil orang tuanya dong!" "Gawat, dia mulai tenggelam", kata si D sambil menunjuk kepada si anak. Tiba-tiba, "byuuurrrr." Salah seorang anggota ketupat melompat ke dalam kolam dan menolong sang anak dan membawanya ke pinggir kolam. Selamatlah dia dari ancaman maut. "Wow, siapa itu yang menolong?", tanya si E antusias. Ternyata dia bernama "Agapao", anggota ketupat yang sejak tadi belum bersuara dalam diskusi kasih, namun telah mempraktikkan kasih yang nyata. Kasih itu sesungguhnya adalah 'kata kerja' yang aktif dan dinamis. Bukan kata benda yang pasif dan mati.

Alkitab menyaksikan bahwa kasih Allah menjadi nyata ketika diberikanNya Anak-Nya yang Tunggal, Yesus Kristus, menjadi pendamaian bagi dosa-dosa kita (baca: 1Yoh. 4:9-10). Demikianlah setiap orang kepunyaan Allah juga diperintahkan untuk mengasihi dengan kasih yang sudah diterima dari Allah. Yakni kasih yang aktif, dinamis, yang rela memberi bahkan berani berkorban, yang berani mengamnbil resiko, berani membayar harga yang mahal. Rasul Yohanes menuliskan, "Di dalam kasih tidak ada ketakutan; kasih yang sempurna melenyapkan ketakutan; sebab ketakutan mengandung hukuman dan barang siapa takut, ia tidak sempurna di dalam kasih." (1Yoh. 4:18). Adakah sesuatu yang menghalangi Anda mempraktikkan cinta kasih dari Kristus untuk membangun, melayani, dan menlong orang lain? Kalahkan kekuatiran, ketakutan, dan keraguan Anda sekarang juga! Dan mulailah mengasihi secara nyata dan secara maksimal.


4. Fleksibel
Seorang yang sukses adalah seorang yang dapat membaca situasi, kondisi, dan tantangan dengan sigap. Selain itu ia dapat segera mengadaptasi, mengubah kondisi dan mengantisipasi segala hal dengan baik pula. Bagi dia perubahan itu baik, bukan menakutkan, asalkan sesuai dengan kebenaran Firman Tuhan. Sesungguhnya orang percaya yang sudah ditebus Kristus akan menampakkan "perubahan" yang dikerjakan oleh kuasa Roh Kudus dalam dirinya yang mengubahnya ke arah yang baik, benar, dan adil. Inilah yang disebut dengan "proses pengudusan." Selain itu dia juga berfungsi sebagai "agen perubahan" yang membawa dampak yang positif – baik, benar, dan adil bagi lingkungan dan sesamanya. Namun bukan secara paksa, melainkan secara fleksibel, yaitu: dengan arif, kreatif, efektif, dan produktif, tanpa harus mengorbankan Firman Tuhan (kebenaran) yang mutlak dan tidak berubah.

Fleksibel tidak sama dengan kompromi. Orang yang feksibel adalah orang toleran – artinya dia dapat menerima perbedaan pendapat dan perbedaan lainnya dari orang lain. Dia menghargai perbedaan, namun tidak harus menjadi "serupa" dengan orang lain. Orang yang kompromis adalah orang yang tidak memiliki pendirian dan prinsip kebenaran. Dia berubah-ubah sesuai "arus" yang ada. Dia bersedia menjual 'kebenaran' untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Orang yang fleksibel jelas harus toleran, namun tidak menjadi kompromis.

Coba perhatikan contoh cerita di bawah ini. Suatu kali seorang pejabat mencari seorang sekretaris pribadi yang akan membantu dalam menjalankan tugas-tugasnya. Datanglah tiga pelamar yang mendaftarkan diri. Lalu diadakanlah wawancara. Si A masuk ke kantor sang pejabat. Lalu kepadanya diajukkan sebuah pertanyaan: "Berapa dua dikali dua?" Si A menjawab tegas dan sigap: "Empat pak!" Sang pejabat berkata dalam pikirannya: "Wah, orang ini tegas dan berwibawa, dia tidak bisa diajak kompromi. Pasti kelak akan merepotkan saya." Lalu dia berkata kepada A: "Kamu tidak diterima, keluarlah!" Lalu masuklah B dan ditanyakan pertanyaan yang sama: "Berapa dua dikali dua?" B berpikir sebentar: "Tadi A jawab empat tidak diterima." Kemudian dia menjawab: "Tiga pak!" Sang pejabat berkata dalam hatinya: "Wah, ini manusia licik, saya kelak bisa ditipunya!" Kemudian dia berkata kepada B: "Kamu tidak diterima, pulanglah!" Akhirnya masuklah si C. Ditanyakan pertanyaan yang sama. C berkata dalam hatinya: "A jawab empat ditolak, B jawab tiga juga ditolak." Lalu dia menjawab pejabat itu: "Terserah bapak sajalah. Asal bapak senang!" Sang pejabat berkata dalam hatinya: "Ini yang saya cari!" Akhirnya si C yang diterima.

Inilah salah satu contoh dunia kita sekarang. Dunia yang tidak mengenal Allah ingin kehidupan yang kompromistis, yang tanpa ukuran absolut, yang bisa sesuka-sukanya. Orang-orang sedemkian nampaknya seperti sukses, namun sesungguhnya sedang menuju ke lobang kegagalan yang mengerikan. Firman Tuhan mengingatkan kita bahwa seluruh hidup kita adalah milik Kristus, bukan milik sendiri atau milik dunia. Sebab itu kita tidak bisa sembarangan dengan hidup ini. "Atau tidak tahukah kamu, bahwa tubuhmu adalah bait Roh Kudus yang diam di dalam kamu, Roh Kudus yang kamu peroleh dari Allah, dan bahwa kamu bukan milik kamu sendiri? Sebab kamu telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar: Karena itu muliakanlah Allah dengan tubuhmu!" (1Kor. 6:19-20). Istilah "tubuh" di sini sama dengan seluruh aspek dalam hidup ini. Konsep yang sama diajukan Rasul Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Roma. "Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati. Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna." (Rm. 12:1-2). Perubahan yang dimaksudkan di sini tentunya perubahan dalam kerangka dan pagar "kehendak Allah" yaitu yang baik, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah. Fleksibilitas yang membuat seseorang semakin mencerminkan refleksi hidup dan pelayanan Kristus.


5. Pantang Putus Asa:
Pantang berputus asa adalah sebuah karakter yang amat penting, berharga, dan amat menentukan dalam perjalanan sukses di dunia dan di akhirat. Suatu karakter yang percaya sepenuhnya kepada karya Allah yang Maha Baik dan Maha Bijaksana. Mereka yang sukses hari ini adalah mereka yang tetap bangun lagi setelah terpukul, terjatuh, dan gagal. Bagi mereka kegagalan atau kejatuhan senantiasa dilihat sebagai "jalan baru" menuju sukses, atau sebagai "batu lompatan" menuju ke tingkat yang lebih tinggi. Bukan sebagai "batu sandungan" yang menjatuhkan dan mendatangkan keterpurukan tanpa dapat bangkit kembali. Bukan! Sebaliknya sebagai "alat pendidikan" yang mengajar dan menolongnya agar bisa maju dan sukses dengan lebih gemilang secara progresif dan dinamis. Orang yang pantang berputus asa tahu bahwa Allah akan memberikan kekuatan baru dan berkat baru sesuai dengan janji-Nya di dalam segala situasi dan kondisi. Walaupun menurut ukuran manusia, hal itu kurang menguntungkan, namun dengan mata iman dia melihat bahwa Allah dapat mengubahnya 180 derajat hingga menjadi sesuatu yang indah, baik, dan berhasil.

Alkitab menjelaskan kepada kita bahwa Allah kita adalah Allah yang hidup, dinamis, dan terus bekerja tanpa henti untuk membentuk anak-anak-Nya agar semakin menyerupai Kristus dalam seluruh aspek hidup dan pelayanan kita demi menjadi kemuliaan bagi NamaNya dan menjadi berkat bagi banyak orang. Dia tidak pernah menjanjikan bahwa seluruh proses perjalanan itu akan mulus, lancar, tanpa tantangan dan kesulitan. Tidak, melainkan dia menjanjikan untuk terus 'menambahkan energi-Nya' demi mendatangkan kebaikan bagi anak-anakNya. Perhatikan tulisan rasul Paulus, "Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah. Sebab semua orang yang dipilih-Nya dari semula, mereka juga ditentukan-Nya dari semula untuk menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya, supaya Ia, Anak-Nya itu, menjadi yang sulung di antara banyak saudara." (Roma 8:28-29). Ungkapan kunci dalam ayat diatas adalah, "Allah turut bekerja." Hal ini tidak berarti Allah turut mendatangkan penderitaan, kejatahan, dan kesulitan bila hal itu menimpa. Tidak! Karena pada diri Allah hanya ada natur kebaikan, kasih, dan kesucian. Segala yang jahat datangnya dari Iblis dan perbuatan dosa manusia. "Allah turut bekerja" berarti "Allah akan menambahkan energi-Nya" – kuasa-Nya, hikmat-Nya, karya-Nya, dan kasih-Nya – untuk mengubah yang tidak baik, yang gagal, yang terjatuh, dan penderitaan, dan kesusahan lainnya menjadi "kebaikan" bagi anak-anak-Nya yang mengasihi Dia. Ungkapan kedua yang penting dalam ayat diatas adalah "menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya." Ini menjadi tujuan akhir yang akan dicapai dlaam proses perjalanan hidup dan pelayanan orang-orang yang percaya. Mereka yang ingin hidup dan pelayanannya sukses di dunia dan dia akhirat akan berpegang teguh kepada janji Tuhan diatas untuk memimpin seluruh hidupnya.

Coba perhatikan perjalanan hidup salah satu tokoh besar Amerika Serikat yang pantang berputus asa:
Umur 22: Dia gagal dalam bisnisnya.
Umur 23: Dia mencalonkan diri dalam badan legislatur – dikalahkan.
Umur 24: Sekali lagi, dia gagal dalam bisnisnya.
Umur 25: Dia terpilih dalam badan legislatur.
Umur 26: Kekasihnya meninggal dunia.
Umur 27: Dia mengalami kerusakan dalam sistim urat syarafnya.
Umur 29: Dia ikut dalam pemilihan Parlemen – dikalahkan.
Umur 31: Dia ikut dalam pemilihan Badan Pemilih – dikalahkan.
Umur 34: Dia ikut dalam pemilihan Badan Kongres – dikalahkan.
Umur 37: Dia terpilih menjadi anggota Badan Kongres.
Umur 39: Dia kalah dalam pemilihan Badan Kongres.
Umur 46: Dia ikut dalam pemilihan Badan Senat – dikalahkan.
Umur 47: Dia ikut dalam pemilihan Wakil Presiden – dikalahkan.
Umur 49: Dia ikut dalam pemilihan Badan Senat – dikalahkan.
Umur 51: Dia terpilih menjadi presiden Amerika Serikat.

Siapakah dia? Tidak lain adalah presiden Abraham Lincoln. Catatan perjalanan hidupnya hingga menuju ke kursi kepresidenan memberikan kita semangat untuk berjuang pula dengan pantang berputus asa. Firman Tuhan menjanjikan "Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku." (Flp. 4:13). Paulus yakin 100% bahwa dengan bersandar diri, seseorang akan gagal. Namun bersandar kepada kekuatan ang diberikan Kristus, orang yang beriman akan sukses. Dia mengalami hal ini. Walaupun dia ada di dalam penjara, dia menuliskan surat yang indah dan menguatkan jemaat di Filipi.


6. Rasa Humor
Karakter lain yang amat penting dalam hidup sukses adalah rasa humor. Orang yang sukses adalah orang yang mampu tertawa kepada banyak hal termasuk kepada diri sendiri. Namun, bukan berarti 'tertawa sendiri'. Itu lain artinya, ha ha ha. Orang yang tidak memiliki rasa humor, pribadinya tidak stabil dan hidupnya rapuh alias kering, mudah patah dan cepat hancur, karena kekakuan hidupnya. Sebab itu memupuk rasa humor adalah syarat untuk menciptakan semua aspek kehidupan menjadi lentur, luwes, dan indah. Mulailah memperhatikan hal-hal yang detail dari setiap aspek hidup ini tanpa harus mengritiknya dan mengejeknya. Sebaliknya nikmati dengan rasa syukur dan belajarlah memandangnya dari berbagai sudut yang berbeda. Maka, secara normal dan bertahap semua aspek hidup ini terasa menjadi lebih indah, manis, dan penuh canda tawa yang membahagiakan. Cobalah! Maka Anda akan mulai banyak tertawa dengan penuh kebahagiaan. Ha ha ha!

Rasul Paulus yang menderita di penjara bukan karena salahnya pun dapat menuliskan surat Filipi yang disebut dengan "surat cinta" atau "surat sukacita." Dia menasihati jemaat Filipi untuk senantiasa bersukacita karena tidak ada alasanbagi orang percaya untuk tidak bersukacita walaupun dalam kesukaran dan tantangan dalam kehidupan ini. Dia menuliskan demikian, "Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan! Sekali lagi kukatakan: Bersukacitalah! Hendaklah kebaikan hatimu diketahui semua orang. Tuhan sudah dekat! Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apa pun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur." (Filipi 4:4-6). Salah satu rahasia untuk memiliki rasa humor juga adalah senantiasa berpikir positif dan kebaikan dalam banyak perkara yang sering kali belum atau tidak dimengerti. Lalu, dengan hati yang penuh ucapan syukur senantiasa menyerahkan semua kekuatiran yang muncul dalam kehidupan ini. Maka Allah akan mencurahkan sukacita demi sukacita setiap hari dalam hati dan pikiran kita; yang selanjutnya diwujudkan dalam wajah kita yang cerah dan tersenyum, dan dalam pola tingkah laku yang membangkitkan rasa humor yang sehat dimanapun kita berada, dan bagaimanapun situasinya.

Seorang ibu berulang tahun dan kami diundang untuk datang ke rumahnya dan saya diminta untuk menaikkan doa. Lalu saya bertanya kepada isstrinya demikian: "Bila Tuhan akan mengabulkan satu permintaanmu malam ini, apa yang akan ibu minta?" Dia terdiam dan tersenyum sebentar lalu menjawab: "Saya akan minta tubuh yang sehat!" Saya berkata: "Bagus! Bagaiman kalau ditambah awet muda dan tetap cantik?" Saya berkata demikian karena memang ibu ini kelihatan awet muda dan tetap cantik walaupun usianya sudah lebih 50 tahun. Lalu saya berpaling kepada suaminya dan bertanya pertanyaan yang sama: "Kalau bapak, apa yang akan bapak minta?" Sang suami menjawab: "Saya akan minta agar istri saya tetap cantik dan awet muda. Kalau bisa lebih muda 30 tahun dari sekarang." Semua hadirin tertawa dan bertepuk tangan. Kami sungguh bersukacita dengan humor yang ringan ini. Lalu, saya berkata: "Wah, kalau demikian permintaannya, ada kemungkinan nanti bapak yang akan diubah menjadi usia 80 tahun. Jadi, bukan istri yang tambah muda 30 tahun, tetapi bapak yang tambah 30 tahun. Jadi, bedanya tetap 30 tahun, bukan?" Serentak semua hadirin tertawa lagi terbahak-bahak sebelum kami berdoa bersama-sama.

Perlu diperhatikan bahwa rasa humor yang dipupuk dan dikembankan oleh orang yang sukses haruslah humor yang sehat dan bersih. Bukan humor jorok yang berbau porno, atau yang diskriminatif, atau yang menjatuhkan orang lain. Melainkan yang membangun, yang bersih, yang membangkitkan urat syaraf tertawa yang sehat dan positif. Dunia cenderung mempromosikan humor yang kotor, jorok, porno, dan/atau yang diskriminatif, bahkan yang membangkitkan karakter yang mendiskreditkan golongan atau pribadi atau lainnya, baik secara politis, agama, dan latar belakang lainnya. Hati-hatilah! Jangan terjebak dalam karakter ini. Alkitab mengingatkan kita, "Janganlah ada perkataan kotor keluar dari mulutmu, tetapi pakailah perkataan yang baik untuk membangun, di mana perlu, supaya mereka yang mendengarnya, beroleh kasih karunia." (Ef. 4:29).


7. Tahu Berserah
Berserah bukanlah menyerah atau patah semangat. Tetapi senantiasa sadar dan tidak lupa meminta pimpinan, berkat, dan kekuatan dari Allah sebelum melangkah, sedang melangkah, dan akan melangkah dalam setiap aspek kehidupan ini. Orang yang sukses adalah orang yang tidak berjalan sendiri, melainkan dia berjalan bersama Roh Kudus yang memimpin setiap kepurtusan dan langakah-langkah dalam hidup dan pelayannnya di dunia ini.

Orang yang berserah adalah orang yang bersyukur, bukan bersungut-sungut. Orang yang berserah adalah orang yang beriman, bukan orang yang kuatir. Orang yang berserah adalah orang yang rendah hati, bukan yang mengandalkan diri sendiri. Orang yang berserah adalah orang yang membangun hubungan yang akrab dengan Tuhan tanpa mengajukan syarat apa pun. Karena dia tahu jelas bahwa tanpa Allah yang membukakan "kran berkat," segala sesuatu yang diusahakan manusia akan sia-sia belaka. Bacalah lagi: Mazmur 127:1-2.

Allah kita adalah Allah yang baik dan yang mengerti pergumulan kita. Dia memberikan "hak istimewa" bagi kita untuk datang berdoa kepada-Nya. Dia sungguh hanya sejauh doa. Perhatikan perkataan Tuhan Yesus, "Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat; ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagimu. Karena setiap orang yang meminta, menerima dan setiap orang yang mencari, mendapat dan setiap orang yang mengetok, baginya pintu dibukakan. Adakah seorang dari padamu yang memberi batu kepada anaknya, jika ia meminta roti, atau memberi ular, jika ia meminta ikan? Jadi jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di sorga! Ia akan memberikan yang baik kepada mereka yang meminta kepada-Nya." (Matius 7:7-11).

Seorang teman saya menceritakan kesaksiannya ketika dia harus menjalani operasi kista yang ada di indung telurnya. "Saya belum pernah dibius total dan saya mendengar cukup banyak cerita yang bernada negatif, saya sungguh menjadi kuatir dan takut" ceritanya dengan cemas. Memang ada saja cerita yang menguatirkan. Misalnya: soal dokter yang ceroboh hingga gunting ketinggalan di dalam perut, soal pasien yang setelah dibius tidak bangun lagi, soal efek samping obat bius, soal penyakit yang sedang dihadapinya, dan lain sebagainya.

Tibalah hari operasi yang akan dijalankannya. Sebelumnya sudah berdoa dan didoakan, namun kekuatiran itu nampaknya masih ada. Dia berkata: "Ketika persiapan operasi tersebut, saya berbaring di ranjang menunggu didorong masuk ke ruang operasi. Saat itu hati saya amat kuatir dan takut. Tangan saya dingin dan pikiran gundah. Namun, saya ingat kepada Tuhan. Saya berdoa kepada-Nya, dan menyerahkan hidupku kepada-Nya. Ajaib sekali! Tiba-tiba semua kekuatiran dan ketakutan saya hilang. Saya merasa damai dan tenang sekali. Tanpa sedikitpun kuatir dan takut. Saya yakin waktu itu Tuhan mengangkat semua ketakutan dan kekuatiran saya, dan menggantikan dengan damai sejahtera dari sorga. Lalu, saya diberitahu bahwa saya akan dipindahkan ke meja operasi. Saya jawab 'ya' dan seketika itu juga saya tidak ingat apa-apa lagi. Ketika saya terbangun, ternyata operasi itu sudah selesai dengan baik dan sukses."

Puji Nama Tuhan! Allah kita adalah Allah yang Mahahidup dan Maha Mendengar. Dia bukan Alllah yang jauh di sorga sana dan tidak peduli dengan keadaan kita. Memang Dia bertahta di sorga, namun Dia juga dekat dengan manusia yang mau datang memohon kepada-Nya. Firman Tuhan mengingatkan kita: "Serahkanlah segala kekuatiranmu kepadaNya (Tuhan Allah), sebab Dia yang memelihara kamu." (1Ptr. 5:7). Apakah Anda kuatir dan takut menghadapi hidup ini? Jangan lupa datang kepada Bapa dalam Nama Yesus Kristus yang siap menolong dan memberkati hidup Saudara. Dia bukan saja mengerti dan mengetahui pergumulan Saudara; tetapi Dia juga mampu dan mau menolong Saudara lepas dari kekuatiran dan ketakutan yang ada. Ingatlah, Dia hanya sejauh doa!

Orang yang sukses adalah orang yang tahu menyerahkan kekuatirannya dan segala pergumulannya kepada Tuhan melalui doa dan ucapan syukur serta senantiasa mencari dan mendahulukan Kebenaran Allah dan Kerajaan Allah. Karena dia tahu itulah rahasia dari Allah untuk mencurahkan berkatNya dengan berkelimpahan. Tuhan Yesus mengatakan, "Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu. Sebab itu janganlah kamu kuatir akan hari besok, karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari." (Mat. 6:33-34).

Rabu, 12 November 2008

The Act of Grace, Faithful, and Fruitful
oleh: Pdt. Effendi Susanto, S.Th.

Nats: 2 Kor. 9:6-15; 8:1-5

Dalam suratnya kepada jemaat Korintus, Paulus memuji mereka karena di dalam pelayanan firman, jemaat Korintus memiliki ketaatan. “They praise God for your confession of the gospel of Jesus Christ which is faithful…” (2Kor. 9:13). Ini hal yang terpenting. Tetapi pelayanan hidup Kekristenan kita bukan saja perlu kesetiaan, tetapi juga perlu hidup yang berbuah. Not only faithful but also fruitful. Kita tidak hanya membuktikan kesetiaan kita, tetapi kita juga dipanggil untuk menyatakan satu hidup yang berkelimpahan. Paulus memuji jemaat Korintus di dalam pelayanan Injil, di dalam hidup mengikut Tuhan, mereka sudah menyatakan ketaatan terhadap pengakuan akan Injil Kristus. Tetapi bukan itu saja, sekarang Paulus ingin mendesak satu hal yaitu apakah mereka juga menyatakan hidup Kristen mereka adalah hidup Kristen yang berbuah dengan melimpah.

Titus diutus oleh Paulus ke Korintus untuk membereskan persoalan yang berat yang terjadi di sana. Paulus kemudian mendengar beberapa kabar melalui Titus, ada good news tetapi ada juga bad news. Kabar baiknya ialah teguran Paulus yang keras melalui suratnya telah memberikan perubahan di dalam jemaat Korintus. Maka Paulus bersyukur untuk perkembangan baik ini. Dulu dia merasa menyesal karena teguran itu telah mendukakan hati mereka. Tetapi sekarang dia bersyukur karena ada hasil yang baik melalui berita yang disampaikan oleh Titus terjadi transformasi hidup, terjadi pertobatan, terjadi perubahan hidup.

Tetapi ada kabar kurang baik yang disampaikan Titus. Kita akan melihat konteksnya terlebih dahulu di pasal 8 dan 9. Di pasal 9:1-2 kita melihat Korintus adalah ibukota dari negara bagian Akhaya, satu kota yang makmur dan jemaatnya rata-rata orang kaya. Sedangkan tidak jauh dari sana ada negara bagian Makedonia, di mana jemaatnya terdiri dari orang-orang yang sederhana. Jemaat Korintus yang kaya itu telah memulai satu proyek untuk mengirim bantuan uang kepada gereja di Yerusalem. Paulus mengatakan dengan bangga kepada jemaat di Makedonia dan daerah-daerah yang lain, “Akhaya sudah siap sejak tahun yang lalu…” Tetapi sekarang dia menjadi malu karena jemaat Korintus tidak lagi mengumpulkan uang untuk jemaat Yerusalem. Kita tidak tahu apa sebabnya. Maka dengan latar belakang ini, di pasal 8 dan 9 ini Paulus bicara mengenai konsep apa artinya kita memberi. Jadi sudah ada kerinduan, sudah ada hal yang baik untuk memulai karena mereka sadar mereka sudah mendapat berkat karena gereja Yerusalem mengutus misionari pergi sampai akhirnya mereka bangsa kafir bisa mendengar Injil. Tetapi ada perbedaan status sosial. Orang-orang Kristen non-Yahudi ini jauh lebih kaya daripada orang-orang Kristen Yahudi. Maka jemaat Korintus yang merasa berhutang budi dan berhutang Injil kepada jemaat Yerusalem memutuskan untuk mengirim uang kepada mereka. Ini yang membuat Paulus begitu bangga kepada mereka. Kerinduan ini lalu Paulus sampaikan juga ke daerah-daerah yang lain. Cuma akhirnya terjadi hal ini, Makedonia gereja yang begitu sederhana dan miskin justru bereaksi dengan sukacita dan merealisasikan proyek ini dengan baik. Mereka mengumpulkan uang, tetapi gereja Korintus justru tidak melakukannya. Maka Paulus bilang kepada mereka, jangan sampai kebanggaanku kepadamu menjadi luntur. Sebagai jemaat yang begitu berlimpah dengan kekayaan dan juga telah berinisiatif untuk melakukan sesuatu, tetapi tidak boleh berhenti sampai di angan-angan, cita-cita dan ide saja. Jadi seorang Kristen jangan hanya suka melontarkan ide, tetapi harus juga diselesaikan, dijalankan dan dilakukan.

Maka di pasal 8 dan 9 ini Paulus khusus bicara mengenai “persembahan kasih”, the act of grace. Jadi dari konteksnya ini bukan bicara mengenai persembahan syukur yang rutin dijalankan, tetapi persembahan bantuan kepada jemaat di Yerusalem. Paulus menyebutnya sebagai ‘the act of grace,’ istilah ini menjadi satu hal yang penting sekali. Pertama, pemberian kasih kita tidak mungkin keluar dari hidup kita kalau tidak didorong dengan satu perasaan bahwa kita terlebih dahulu sudah mendapatkan anugerah Allah. Yang kedua, semakin sadar kita betapa besar anugerah yang datang kepada kita itu maka kita akan merasa apa pun yang kita beri tidak bisa melampaui anugerah yang kita sudah terima itu. Itu sebab di pasal 9:15 Paulus menutup dengan satu kalimat yang saudara dan saya harus akui sampai kapanpun tetap berhutang kepada Tuhan. Paulus mengatakan, “thanks to the Lord for His unspeakable gift…” Syukur kepada Allah oleh karena kasih karuniaNya yang tak terkatakan itu. Apakah ‘the unspeakable gift’ itu? Tidak lain dan tidak bukan adalah Yesus Kristus. Dia adalah the unspeakable gift dari Allah. Paulus sadar sesungguh-sungguhnya, ini adalah anugerah Tuhan yang tidak sanggup kita ungkapkan dengan kata-kata, yang hanya bisa melahirkan rasa syukur kita kepada Tuhan. Hidup kita sebagai orang Kristen dilandasi dengan pemahaman seperti itu. Sehingga pada waktu kita memberi sesuatu, itu adalah ‘the act of grace.’ karena kesanggupan untuk memberi itu bukan datang dari kita. Kita sanggup untuk memberi sebab kita terlebih dahulu sudah diberi. Dan berapa besar hati kita untuk bisa memberi itu depends on berapa besar kita menilai dan menghargai anugerah itu. Maka Paulus mengingatkan kita, that grace is the unspeakable gift.

Jemaat Korintus merupakan jemaat yang jauh berbeda dibandingkan dengan jemaat Makedonia. Paulus bukan ingin mempermalukan jemaat Korintus, tetapi dia ingin komparasi dengan jemaat Makedonia itu boleh menjadi cambukan kepada jemaat Korintus. Pertama, jemaat Korintus yang sudah memulai tetapi malah yang lain yang menyelesaikannya. Kedua, di pasal 8:7 Paulus jelas-jelas mengatakan jemaat Korintus ini adalah jemaat yang kaya dibandingkan jemaat yang lain. Mereka kaya di dalam segala sesuatu, di dalam iman, di dalam perkataan, di dalam pengetahuan, di dalam kesungguhan dan di dalam kasih. Dan sekarang hendaklah juga mereka kaya di dalam pelayanan kasih itu. Kalau kita membaca surat-surat Paulus kepada jemaat yang lain, saudara dansaya akan melihat jelas jemaat Korintus memang adalah jemaat yang penuh dengan karunia. Mereka adalah jemaat yang ‘high class,’ jemaat yang memiliki pendidikan yang tinggi. Maka sekarang Paulus katakan, mari engkau juga kaya di dalam hidup yang memiliki generosity. Hidup yang sanggup bisa memberi kepada orang lain. Paulus membandingkan mereka dengan jemaat Makedonia, yang Paulus begitu sungkan karena mereka jemaat yang sangat sederhana dan miskin. Tetapi Paulus bersaksi kepada Korintus bahwa jemaat Makedonia ini memberi melampaui apa yang mereka punya. Itu sebab di sini kita bisa belajar sebagaimana kesadaran gereja Makedonia di dalam dua hal ini. Pertama, saya bisa memberi bukan karena saya punya, tetapi karena saya sudah terlebih dahulu menerima. Kedua, saya bisa memberi berlebih karena saya menghargai anugerah itu begitu indah di dalam hidupku.

Immanuel Kant, seorang filsuf yang mengajarkan “Imperative Ethics” bagi saya merupakan salah satu etika yang tinggi sekali, mengatakan, “Kalau engkau melakukan satu kebaikan for the goodness itself, itu baru suatu kebaikan yang benar. Sebab jikalau engkau melakukan satu kebaikan “karena”, kebaikanmu itu belum merupakan satu kebaikan tertinggi.” Ini adalah konsep yang luar biasa. Kalau engkau baik kepada seseorang “karena” dia sudah baik kepadamu, itu belum merupakan kebaikan yang tertinggi. Yang lebih rendah lagi adalah kalau engkau baik kepada seseorang “supaya” dia berbuat baik kepadamu. Kalau engkau memberi karena memberi itu sendiri , itu baru satu kebaikan tertinggi. Tuhan Yesus pernah mengatakan, kalau tangan kananmu memberi, janganlah tangan kirimu mengetahuinya (Mat. 6:3). Maksudnya apa? Mana ada tangan kanan memberi tanpa diketahui tangan kiri? Maksud Tuhan Yesus di sini, tangan kanan memberi, tangan kiri tidak boleh meminta balas. Jadi kalau kita memberi untuk mendapat balasan, itu bukan satu pemberian yang indah.

Maka Paulus mengatakan, pemberianmu adalah the act of grace. Kita memberi karena kita sudah mendapatkan anugerah yang kaya dan melimpah dari Tuhan. Jemaat Makedonia walaupun di dalam kesulitan dan kemiskinan bisa melakukan sesuatu melampaui apa yang ada di dalam hidup mereka. Itu adalah suatu hal yang sangat indah. Paulus memberikan beberapa prinsip di mana hidup kita adalah hidup karena sudah ditopang oleh anugerah Allah yang tak terkatakan itu, yang hanya bisa melahirkan hati yang bersyukur. Tetapi kita tidak boleh hanya sampai kepada satu sensasi syukur atas apa yang Tuhan sudah beri kepada kita, tetapi kita belajar menyatakan secara nyata bagaimana menjadi orang Kristen yang lebih murah hati.

Paulus mengatakan beberapa hal yang penting. Pertama, Tuhan tidak pernah menuntut orang untuk memberi melampaui apa yang dia tidak punya. Belajar memberi dari apa yang engkau punya (8:12). Kedua, belajar memberi karena engkau rela (9:7). Kata “rela” adalah kata yang tidak mudah. Rela itu merupakan kunci yang paling penting di dalam hidup kita yang membuat segala sesuatu menjadi enteng dan ringan. Kalau tidak rela, barang 1 kilo pun di tangan terasa berat bukan main. Jadi bukan berapa besar dan beratnya yang menentukan sesuatu tetapi berapa besar perasaan hati kita rela itu yang membuat keringanannya. Paulus bilang, kalau engkau punya hati yang rela, engkau memberi dengan sukacita. Kemudian Paulus memberikan prinsip bagaimana menjadi orang Kristen yang generous di pasal 9:6-15. Pertama, “camkanlah ini: orang yang menabur sedikit akan menuai sedikit, orang yang menabur banyak akan menuai banyak.” Artinya apa? Artinya, orang yang memberi tidak akan pernah kehilangan daripada apa yang dia sudah beri. Jadi pada waktu saudara memberi, saudara jangan berpikir ada sesuatu yang terhilang dari hidupmu. Prinsip ini memberitahukan kita, apa yang kita beri itu tidak akan pernah terhilang dari hidupmu. Sehingga the giver is never become the loser. Seorang yang memberi tidak akan pernah menjadi loser. Barangsiapa yang menabur banyak, dia akan menuai banyak. Barangsiapa menabur sedikit, dia akan menuai sedikit. Secara prinsip sederhana, logisnya kalau saudara tabur 10 benih padi, benih itu akan mengeluarkan 10 batang padi yang akan menghasilkan lebih banyak dari 10 benih yang tadi saudara tabur. Tetapi kalau yang kita tabur itu sesuatu yang abstrak, analogi tadi akan sulit untuk kita pahami.

Banyak hamba Tuhan dari Prosperity “Theology” memakai ayat ini mengatakan, “Kalau saudara memberi $100, maka Tuhan akan memberkatimu $1000.” Itu penafsiran yang keliru, karena kalau kita membaca dengan teliti bagian ini Paulus tidak bicara seperti itu. Maksud ayat ini adalah apa yang engkau tabur itu tidak akan pernah hilang. Dia pasti akan menghasilkan buah. Buahnya adalah, pada waktu kita memberi sesuatu pasti akan mendapatkannya dengan berkelimpahan. Tetapi yang kita akan dapat itu tidak boleh dipersempit pengertiannya. Kalau saudara memberi perhatian dan waktu kepada orang, maka saudara mungkin akan mendapat bukan sekadar perhatian saja, tetapi hal-hal yang lain. Kalau saudara memberi bantuan uang kepada orang lain, saudara tidak hanya mendapat balik uang tetapi juga akan mendapatkan lebih daripada itu. Ayat 10, “engkau akan menghasilkan buah-buah kebenaran..” Dengan memberi sesuatu, the act of grace itu akan membuatmu lebih fruitful. Ada buah-buah kebenaran yang dihasilkan. Engkau menjadi orang yang kaya.

Rockefeller sendiri mengatakan, “Orang yang paling miskin di dalam dunia ini adalah orang yang tidak punya apa-apa selain uangnya.” Kekayaan kita tidak boleh hanya diukur dari satu aspek saja. Maka Paulus bilang, engkau akan melipat-gandakan dan menumpukkan buah-buah kebenaran. Engkau akan menjadi kaya. Dalam hal apa? Melalui the act of grace itu, melalui perhatian, waktu, doa dan pelayanan, saudara memberi uangmu untuk membantu orang, semua itu tidak pulang dengan sia-sia tetapi akan menghasilkan begitu banyak buah-buah kebenaran. Engkau akan menjadi seorang Kristen yang kaya, kaya di dalam kasih dan generosity, kaya di dalam kemurahan hati, kaya di dalam hal membangkitkan syukur kepada Allah (ayat 11). Pelayanan kasihmu itu bukan saja mencukupkan keperluan orang tetapi melimpahkan ucapan syukur orang itu kepada Tuhan. Engkau akan berlimpah dengan begitu banyak teman yang berdoa bagimu (ayat 14). Kaya dengan orang-orang yang banyak mendoakanmu. Betapa besar kekayaan ini, kalau saudara memiliki banyak teman-teman yang mendukung dan mendoakanmu, bukan? Betapa kayanya kalau saudara bukan hanya merupakan orang yang berlimpah dengan kemurahan hati memberi kepada orang lain tetapi berlimpah karena kebesaran hatimu. Betapa kayanya kalau melalui hidup yang memberi kepada orang, begitu banyak orang mengucap syukur kepada Tuhan. Apa lagi yang kita butuhkan selain hasil dan buah yang indah seperti itu?

Prinsip yang kedua, ayat 8 dan 10 “Dia yang menyediakan benih itu dan yang memberi roti untuk dimakan…” Prinsipnya, saya memberi sebab Tuhan yang provide terlebih dulu. Menjadi seorang Kristen adalah saya bersyukur kepada Tuhan. Saya memberi bukan karena saya berkelimpahan saja. Saya memberi oleh sebab Tuhan memberi dan menyediakannya kepada saya. Prinsip yang kedua, belajar menjadi seorang jurukunci yang setia terhadap apa yang Tuhan kasih kepada kita. Kenapa kita memberi? Sebab memang ini bukan punya kita, ini bukan milik saya selama-lamanya. Kita datang tidak membawa apa-apa, kita kembali kepada Tuhan kita juga tidak membawa apa yang kita punya selama di dunia. Kita datang dengan telanjang, waktu kita pergi kita hanya memakai stelan jas yang cukup baik. Paulus mengingatkan, semua yang kita punya itu Tuhan yang sediakan. Artinya, Tuhan memberi kepada kita, berarti kita hanya penatalayan Tuhan, orang yang belajar setia mengelola dan memakai apa yang sudah Tuhan beri kepada kita. Prinsip ini penting, prinsip ini menjadikan hidup orang Kristen menjadi hidup yang indah. Tuhan memberi kita anak, ini bukan anak kita. Tuhan memberi kita pekerjaan dan karir, ini bukan milik saya. Tuhan memberi kita keluarga, kita harus selalu berpikir ini semua adalah dari Tuhan dan saya mau kelak ini semua menjadi alat yang Tuhan pakai dan menjadi berkat bagi orang lain. Jiwa memberi selalu keluar dari hati seorang yang menyadari bahwa dia dipanggil Tuhan sebagai penatalayan yang setia terhadap apa yang Tuhan kasih.

Prinsip yang ketiga, ayat 8 “Allahku sanggup melimpahkan segala kasih karunia kepadamu supaya kamu senantiasa berkecukupan di dalam segala sesuatu dan malah berkelimpahan di dalam berbagai kebajikan.” Dalam Fil.4:19 Paulus mengatakan, “Allahku akan memenuhi segala keperluanmu…” Ingat akan hal ini, Allah kita itu kaya dan mulia. Artinya, Dia punya unlimited resources dan Dia sanggup mencukupkan segala keperluanmu, tetapi bukan keinginanmu. Tuhan tidak berjanji untuk mencukupkan segalanya. Orang sering bilang, bukankah Dia Allah yang kaya berarti Dia bisa memberi sebanyak yang saya mau, bukan? Saudara perhatikan, kalau Allah hanya memberimu $100, bukan berarti uang-Nya cekak. Tetapi Dia berjanji memberikan dan memenuhi apa yang kau perlukan. Dia Allah yang kaya, yang sanggup mencukupkan segala sesuatu, sehingga engkau hidup di dalam berkecukupan. Jadi Paulus menggabungkan dua hal, Tuhan berjanji Tuhan tidak pernah lalai di dalam mem-provide anak-anak-Nya yang berada di dalam pemeliharaan-Nya. Jangan berpikir bahwa Tuhan itu careless. Dia berjanji akan memberikan danmencukupkan apa yang kau perlukan. Itu sebab kenapa menjadi orang Kristen yang selalu kuatir dan merasa harus menyimpan sesuatu karena takut tidak punya? Tetapi muncul hal kedua, Allah juga adalah Allah memberi supaya kita berkecukupan. Kata ‘berkecukupan’ di dalam bahasa aslinya ‘autarke’, mungkin diterjemahkan: kesanggupan untuk hidup cukup dan puas dari apa yang ada. Sanggup untuk bisa hidup dari apa yang ada di tangan kita. Kita kadang-kadang sudah pikir lebih dahulu, kita tidak bisa hidup kalau tidak punya ini dan itu di tangan kita.

Berapa banyak sebenarnya yang kita rasa cukup untuk hidup satu hari? Orang sering berpikir bahwa yang dia perlu untuk hidup itu banyak sekali dan dia tidak bisa hidup kalau tidak punya semua itu. Coba kalau kita berada di dalam satu situasi di mana kita cuma punya satu potong roti untuk satu hari, kita baru sadar ternyata sepotong roti itu cukup untuk kebutuhan kita. Orang yang tersesat di hutan membuktikan dia bisa survive beberapa hari dengan dua potong permen di tasnya. Itu artinya bagaimana kita belajar hidup mencukupkan diri dengan yang kita perlu, itu artinya autarke. Tidak ada gunanya Tuhan kasih banyak kalau tidak ada hati yang berkecukupan. Hati yang berkecukupan itu membuat hati kita punya dasar dan alas. Kalau tidak, dia akan bocor terus, tidak pernah merasa cukup dikasih berapa banyakpun tidak akan penuh. Maka ayat ini menjadi indah sekali, Tuhan sanggup memenuhi segala sesuatu, namun engkau perlu belajar hidup berkecukupan. Bukan itu saja, engkau akan berlimpah di dalam kebajikan. Tanpa memiliki hati yang berkecukupan ini, maka prinsip untuk hidup menjadi berkat bagi orang lain menjadi tidak ada di dalam hidup kita. Itu sebab saya selalu mendefinisikan kata ‘cukup’ bukan kalau kita sudah mencapai satu standar tertentu sebab standar itu tidak akan pernah statis dan standar itu bersifat relatif pada setiap orang. Maka saya lebih setuju melihat cukup itu bukan berdasarkan apa yang saya bisa capai dan raih tetapi cukup itu ditandai dengan apa yang bisa keluar dari hidup seseorang. Kalau ada sesuatu mengalir dari hidup saudara, itu berarti saudara cukup dan puas dengan apa yang kau punya sehingga itu bisa mengalir keluar dari hidupmu.

Bukan Allah tidak sanggup mencukupkanmu. Dia memberi kasih karunia yang membuatmu bisa hidup berkecukupan, bahkan hidup berkelimpahan. Kelimpahan itu keluar dari kecukupan. Itu rahasianya. Kelimpahan tidak akan keluar kalau orang berpikir dia dapat yang banyak dulu baru berlimpah keluar. Kalau hatimu tidak dipenuhi dengan hati yang puas, you tidak akan pernah merasa cukup. Kelimpahan mengalir dari kecukupan. Jadilah seorang Kristen yang setia dan jadilah seorang Kristen yang berbuah. Hidup sebagai orang Kristen yang faithful dan hidup sebagai orang Kristen yang fruitful. (kz)

Sumber:
http://www.griisydney.org/ringkasan-khotbah/2008/2008/09/14/the-act-of-grace-faithful-and-fruitful/

Pengoreksi: Denny Teguh Sutandio
DI PERSIMPANGAN JALAN TERDENGARLAH AJAKANNYA!

Rekan-rekan yang budiman!

Dalam Mat 22:1-14 ditampilkan perumpamaan mengenai siapa yang akhirnya masuk ke dalam Kerajaan Surga dan bagaimana mereka sampai ke sana. Ada orang-orang yang sebenarnya sejak awal beruntung karena "diundang ke perjamuan" tetapi malah meremehkannya. Karena itulah keberuntungan yang sebenarnya akan mereka nikmati kemudian beralih kepada orang-orang lain yang tadinya tak masuk hitungan. Apa artinya semua ini bagi kehidupan kini?

DUA MACAM PENYAMPAIAN
Selain dalam Mat 22:1-14, perumpamaan tentang undangan yang menolak datang itu didapati juga dalam Luk 14:15-24. (Untuk penjelasan versi Lukas, lihat _Langkahnya...Langkahku!_ [Kanisius, Yogyakarta 2005], hlm. 155-156.) Namun ada tiga hal yang khas pada versi Matius.

1. Dalam Injil Matius, undangan itu ke perjamuan makan siang (Yunani "ariston", Latin "prandium") dalam pesta nikah seorang anak raja. Lukas menyebut perjamuan makan malam (Yunani "deipnon", Latin "coena") yang besar yang sudah disanggupi para undangan. Seperti kebiasaan kita, pada zaman itu jamuan meriah untuk membangun keakraban biasanya diadakan pada malam hari. Lebih relaks, lebih membangun suasana. Kesempatan seperti itu tidak diadakan siang hari kecuali peristiwanya amat penting dan resmi seperti halnya pesta nikah. Inilah yang lebih ditonjolkan Matius. Perjamuan dalam pesta nikah lebih resmi daripada perjamuan untuk membangun keakraban. Hadirin diajak ikut menjadi saksi peristiwa itu. Apalagi pesta nikah anak raja.

2. Dalam perumpamaan Matius, sang raja sampai dua kali mengundang. Yang kedua kalinya bahkan nadanya memohon. Tetapi orang-orang yang diundang tetap tidak mau datang. Matius menggarisbawahi penolakan yang makin keras. Ada yang tak peduli, ada yang meremehkan undangan, malah menyiksa dan membunuh suruhan raja. Ini sama dengan memutuskan hubungan. Lukas lain. Ia lebih menekankan pengingkaran janji dan dalih para undangan yang sudah bersedia datang ketika diundang.

3. Matius dan Lukas sama-sama mengatakan bahwa akhirnya orang-orang lain yang tadinya tidak diundang kini didatangkan ke perjamuan. Tetapi Matius masih menceritakan bahwa sang raja mendapati orang yang datang tanpa pakaian pesta. Orang itu kemudian tidak diperbolehkan ikut pesta dan dikeluarkan. Lukas tidak menyinggung adanya orang yang tak pantas ikut perjamuan malam. Tetapi ia meneruskan perumpamaan itu dengan menyampaikan pengajaran Yesus mengenai perlunya komitmen utuh di dalam mengikutinya.

Matius berbicara kepada umat yang berasal dari lingkungan Yahudi. Bagi mereka "perjamuan nikah" dan datang dengan "pakaian pesta" memiliki arti yang khusus yang tidak segera ditangkap oleh orang dari kalangan lebih luas seperti halnya umat Lukas. Marilah kita lihat dari dekat kedua gambaran yang dipakai Matius itu.

PERJAMUAN NIKAH
Disebutkan "Kerajaan Surga seumpama seorang raja yang mengadakan perjamuan nikah untuk anaknya". Bagi pembaca Matius, "perjamuan nikah" membangkitkan gagasan yang lebih dari pada sekedar hadir dalam resepsi, melainkan mengikuti upacara religiusnya dan berbagi dalam hikmatnya. Dalam kesempatan seperti itu dulu kerap didendangkan lagu-lagu kasih antara mempelai lelaki dan mempelai perempuan. Lagu-lagu itu dapat amat erotik, tapi sekaligus juga amat religius. Salah satu bentuk yang paling dikenal dan sudah menjadi bagian Kitab Suci ialah Kidung Agung. Ada saling pujian antar mempelai mengenai keelokan masing-masing (Kid 1:9:2:7), mengenai kerinduan untuk semakin dekat satu sama lain (Kid 3:1-5; 5:2-8), mengenai nikmatnya kasih antara keduanya (Kid 7:6-8:4). Di dalam kidung-kidung itu kasih antara kedua mempelai tampil sebagai tempat kehadiran yang ilahi tanpa perlu mengatakannya demikian. KehadiranNya memanusia dalam ujud yang paling bisa dirasakan. Bagi orang Yahudi, ikut serta dalam upacara dan perjamuan nikah dalam arti ini dapat mendekatkan orang pada kemanusiaan dan keilahian sekaligus. Karena itu juga penolakan ikut serta perjamuan lebih daripada sekedar tidak hadir dalam pesta.

Menolak ajakan untuk menyaksikan pesta nikah juga membuat pesta menjadi sepi dan hambar. Panggilan pertama tidak dipenuhi. Raja yang sebetulnya penuh wibawa kemudian bersikap menghimbau. Ia merendah. Satu kali tidak digubris, ia berusaha lagi. Malah seakan-akan memohon belas kasihan para undangan: jangan biarkan pesta jadi rusak, hidangan sudah siap, lembu dan ternak piaraan sendiri telah dipotong. Tetapi yang diundang semakin meninggikan diri, dan menjadi takabur, dan akhirnya malah membunuh pesuruh sang raja. Mereka tidak mau diganggu lagi. Mereka memutus hubungan. Terlihat betapa kerasnya penolakan terhadap ajakan untuk ikut serta dalam kesempatan yang sebenarnya bakal membuat siapa saja yang ikut semakin utuh hidupnya, semakin memasuki Kerajaan Surga!

Mereka yang menolak kehilangan dua hal. Pertama rusaklah hubungan dengan raja yang bisa melindungi mereka. Kedua mereka kehilangan kesempatan ikut pesta nikah yang meriah yang memiliki arti khusus tadi. Jadi mereka itu semakin menjauhkan diri dari yang bakal membuat hidup mereka berarti. Mereka menjauh dari Kerajaan Surga. Inilah yang hendak ditunjukkan dalam perumpamaan ini.

ORANG-ORANG DI PERSIMPANGAN JALAN
Kerap dijelaskan bahwa para undangan yang menolak datang itu ialah orang Yahudi dan mereka yang didatangkan dari jalanan itu ialah pengikut Yesus. Yang pertama kehilangan Kerajaan Surga, yang kedua memperolehnya. Para hamba yang disuruh mengundang ialah nabi-nabi dan kemudian yang diperlakukan dengan buruk ialah para rasul. Tafsir alegori ini sudah lama dikerjakan. Dan bahkan sudah mulai pada zaman Injil sendiri ditulis. Namun demikian masih ada keleluasaan untuk memahami perumpamaan ini sebagai perumpamaan untuk membaca kehidupan orang zaman ini, untuk mengartikan kehidupan kita.

Karena perjamuan nikah telah tersedia tapi yang diundang tak layak datang, maka raja menyuruh hamba-hambanya ke persimpangan jalan, membawa orang-orang yang mereka temui di sana, siapa saja, ke perjamuan nikah tadi. Tak pilih bulu siapa saja didatangkan. Dan pesta itu diselamatkan oleh kehadiran mereka-mereka ini.

Yang dimaksud dengan persimpangan jalan ialah lapangan tempat orang biasanya berkumpul dengan macam-macam maksud: istirahat, menunggu kesempatan kerja, melewatkan waktu, berjualan, membeli. Apa saja. Kegiatan sehari-hari yang bermacam-ragam. Orang-orang yang di situ dengan macam-macam keadaan itulah yang diminta datang ke perjamuan nikah. Di persimpangan jalan...hidup itulah disampaikan ajakannya.

Bagaimana membacanya dengan cara yang lebih cocok bagi zaman ini? Perumpamaan tadi mulai dengan "Kerajaan Surga seumpama.." Jadi dimaksud membantu agar orang menyadari bagaimana cara Yang Mahakuasa mengajak siapa saja ikut masuk ke dalam kehidupan keluargaNya, ke dalam keintiman yang tidak bisa sembarangan dimasuki. Dengan mengajak orang ikut serta dalam kegembiraan pesta nikah anaknya, sang raja tadi ingin berbagi kegembiraan. Bahkan boleh dikatakan, kegembiraannya itu baru menjadi nyata bila ikut dirasakan orang lain. Ia berusaha mendatangkan orang-orang untuk ikut. Bahkan ia memohon agar mereka datang. Tetapi permohonan ini dihadapi dengan sikap keras hati dan penolakan. Tidak mau mengambil bagian dalam kehidupan yang sebenarnya tidak dapat sebarangan dibagikan. Penolakan ini makin memisahkan dan menjauhkan mereka satu sama lain. Juga membuat sang raja putus asa dan merasa pestanya bakal rusak. Tetapi ia tidak menyerah. Pestanya itu kemudian dibuka bagi siapa saja yang tadinya tidak termasuk hitungan.

PAKAIAN PESTA
Pesta nikah itu terlaksana justru karena hadirnya orang-orang jalanan tadi. Kerajaan Surga semakin menjadi kenyataan karena dimasuki, dihuni, dikembangkan. Kepada pembaca diberikan ajakan yang amat kuat. Ayo ikut membuat kehidupan yang nyata ini bagian dari Kerajaan Surga. Bisakah dibalik sehingga dikatakan membuat Kerajaan Surga menjadi bagian dari kehidupan? Sama sekali tidak! Seolah-olah kerajaan itu sudah ada dan jadi dan tinggal dimasuki, seperti menaiki kereta yang akan jalan. Tiap orang diminta menemukan wujud Kerajaan Surga baginya. Bahan mentahnya: kehidupan sehari-harinya, kehidupannya di persimpangan jalan. Namun untuk itu perlu memakai pakaian pesta.

Dalam alam pikiran Semit, pakaian memberi bentuk kepada orang yang memakainya sehingga dapat dikenali. Tidak mengenakan pakaian pesta berarti datang tanpa sungguh mau mengikuti pesta. Orang baru dapat dikatakan datang ikut perjamuan pesta bila memang mau menghadiri pesta itu, bukan untuk urusan lain. Datang tanpa pakaian yang cocok berarti tidak membiarkan diri dikenal sebagai yang datang untuk itu. Komitmen setengah-setengah ini kurang dapat menjadikan hidup orang menjadi bagian dari hidup dalam Kerajaan Surga. Kebalikannya, datang dengan mengenakan pakaian pesta berarti datang tanpa maksud atau tujuan lain. Yang bersangkutan akan dikenali sebagai orang yang hidupnya sedang berubah dari yang ada di persimpangan jalan menjadi dia yang hidup dalam perjamuan yang makin memanusiakan dan makin mendekatkan ke keilahian.

Salam hangat,
A. Gianto
MUSA, PEMIMPIN PILIHAN TUHAN

oleh: Ev. Ir. Pieters K. Pindardhi, M.Div.
(salah satu dosen di Sekolah Tinggi Theologi Reformed Injili Indonesia–STTRII Jakarta yang meraih gelar Master of Divinity–M.Div. dari STTRII Jakarta)

Nats: Keluaran 3:1-10

Kali ini kita akan merenungkan satu topik tentang “Musa Pemimpin Pilihan Tuhan.” Topik ini dapat dikembangkan lebih jauh berkaitan dengan bagaimana Allah memimpin orang-orang Kristen untuk melayani Dia dan menjadi hamba-hamba-Nya.

Topik mengenai “Musa pemimpin pilihan Allah” itu dapat dikaitkan dengan bagaimana prinsip-prinsip yang terjadi dalam Allah memanggil Musa, jikalau dikaitkan dengan kita. Hari ini saya mengajak kita belajar lima alasan Musa yang hampir saja mengubur Musa. Alasan musa ini merupakan alasan yang hebat dan itu secara orisinil bisa juga muncul dalam benak kita yang kita pikir inilah alasan yang hebat namun setelah kita bandingkan dengan Musa ternyata alasan itu pernah dipakai oleh Musa juga. Dan jikalau itu alasan hebat bagaimanakah Tuhan memberikan alasan yang tepat sehingga Musa akhirnya harus mengikuti apa yang Tuhan mau.

Pertama, Musa merasa kurang mampu (Kel. 3:10-11). Di dalam bagian ini kita melihat bagaimana jawaban Musa terhadap pertanyaan Tuhan. Jawaban Musa terhadap Tuhan merupakan suatu pertanyaan retoris yang seolah-olah suatu pertanyaan yang sulit bagi Tuhan. Di sini alasan yang pertama yang Musa berikan adalah Musa merasa kurang mampu. Hal ini dapat kita mengerti, karena pada waktu seseorang memasuki usia yang kira-kira melebihi 50 tahun maka secara biopsikososial ia tidak mengalami kebugaran lagi atau biopsikososial itu hampir tidak ada lagi. Jadi kebugaran secara biologis, secara psikologis, secara sosiologis itu mengalami pengurangan yang banyak sekali. Seorang ahli mengatakan seorang yang berusia 50 tahun ke bawah 10% nya mengalami sumbatan serotik di batang leher. Sumbatan ini akan mengakibatkan kekurangan pengurangan saluran darah ke otak dan itu akan mengakibatkan penurunan daya pikir. Dan 40% orang yang berusia 50 tahun ke atas mengalami penyumbatan semacam ini. Perhatikan Musa sudah berusia 80 tahun tatkala Tuhan memanggil sehingga dia merasa sudah tua, sudah rapuh dan sudah tidak berdaya. Siapa saya Tuhan? Ini merupakan satu ungkapan yang dilontarkan Musa kepada Tuhan yang seolah-olah logis dari sisi Musa. Waktu Musa memberikan sanggahan ini, apakah yang menjadi jawaban Tuhan? Tuhan menjawab, “Bukankah Aku akan menyertai engkau.” Di sini waktu Musa mengungkapkan aku tidak mampu Tuhan, sanggahannya dihadapkan dengan keberadaan diri Allah. Kamu akan berhadapan dengan Firaun bukankah Aku menyertai engkau. Dengan demikian Tuhan sedang menegaskan diri dengan satu pribadi yang lebih besar daripada Firaun, yang lebih perkasa, lebih hebat daripada Firaun. Dan jikalau Musa mengatakan tugasku terlalu besar Tuhan membawa bangsa Israel, Tuhan juga mengatakan, “Lihatlah Aku, Aku menyertai engkau.” Itu berarti Tuhan yang berkarya melalui hidup Musa. Lihatlah pribadi Tuhan, lihatlah Tuhan adalah Tuhan yang berkarya. Itu yang dimaksud Tuhan dengan jawaban ini. Jangan pandang dirimu yang merasa tidak mampu atau tidak berdaya, ada Tuhan yang berkarya melalui dirimu. Itu menjadi alasan yang cukup untuk engkau bergerak. Musa pasti menjadi gentar karena kalau kita lihat di pasal tiga dia dari seorang gembala sekarang dia dipanggil untuk menjadi pemimpin bangsa Israel dan harus memimpin orang yang begitu banyak. Ini tidak mudah! Tapi Tuhan mengatakan, "Bukankah Aku menyertai engkau? (ay. 12) Di sini kita dapat menyimpulkan bahwa Allah adalah oknum yang ribuan tahun pakar di dalam menolong manusia." Hal ini harus menjadi kesimpulan dari setiap anak Tuhan dari jawaban terhadap Musa.

Kedua, Musa merasa kurang mengerti (Kel. 3:13). Sanggahan Musa yang kedua Musa merasa kurang mengerti, merasa kurang mampu. Musa berpikir kalau nanti dia bertemu dengan orang-orang apa yang harus saya katakan, Tuhan? Saya tidak tahu harus bicara apa? Setelah Musa memberikan sanggahan semacam ini. Tuhan memberikan jawaban kepada Musa, “Aku adalah Aku.” Di sini Allah memberikan solusi kepada Musa dengan menjelaskan tentang diriNya. Allah menjawab, “Aku adalah Aku.” (I Am that I Am) Ini menunjukkan bahwa Allah merupakan keberadaan yang terus ada dan tidak berubah. Di dalam kalimat ini Allah mengatakan, “Inilah aku Allah yang tidak berubah di dalam janji-Ku untuk menjaga umat keturunan Abraham ini, Aku yang tidak berubah di dalam rencana-Ku.” Ini adalah ketidakberubahan yang menjadi ciri kesempurnaan Allah dan semua ini akan digenapi. Ketidakberubahan ini menjadi ciri kesempurnaan Allah yang diperkenalkan Allah kepada Musa. Waktu Musa merasa kurang mengerti, Allah memberikan pertolongan melalui cara: (1) Tuhan memberikan pengertian tentang siapa diri-Nya? (2) Allah menyatakan strategiNya (ay. 15-16). Di sini Allah menyuruh Musa untuk menemui para tua-tua Israel di mana melalui mereka nanti diberikan dan dijabarkan hal yang Allah akan sampaikan. Dan Tuhan akan memberikan bimbingan untuk apa yang harus dia katakan. (3) Allah juga memberikan pengharapannya (ay. 18). Kata ‘dan bilamana mereka mendengar perkataanmu’ di dalam ayat 18 ini terjemahanan lain, “mereka akan mendengar perkataanmu.” Ini solusi yang Tuhan berikan atas ketidakmengertian Musa.

Ketiga, Musa merasa kurang kredibilitas (Kel. 4:1) Sanggahan ketiga Musa merasa kurang kredibilitas. Aristoteles mengatakan kalau kita mau menjadi pembicara yang meyakinkan minimal kita harus memiliki tiga kriteria yaitu (1) good sense yaitu pengertian yang baik, logikalisasi yang baik yang sistematika yang tertata baik itu akan menolong orang akan memahami berita kita. (2) good motivation. Jadi waktu kita bicara mereka sadar bahwa itu untuk keuntungan mereka jikalu pendengar sadar sepenuhnya ini akan menjadi kekuatan pengaruh yang meyakinkan didalam pembicaraan kita. (3) good moral character yaitu pribadi yang berintegritas baik perkataan maupun tingkah laku itu menjadi satu kesatuan dan hidupnya menjadi seorang yang menunjukkan moralitas yang baik. Jikalau tiga hal ini dipadukan ini adalah hal-hal natural yang jikalau dibentuk dan dilatih akan menjadikan orang diyakinkan terhadap perkataan kita. Musa pada waktu itu berkata Tuhan saya ini kurang kredibilitas kalau mereka tidak percaya bagaimana? Musa belum pernah bertemu mereka tiba-tiba bertemu mereka lalu menyebut diri sebagai pemimpin. Kalau mereka tidak percaya bagaimana Tuhan? Secara natural Musa merasa tidak mempunyai syarat sebagai pemimpin mereka. Musa jawabannya dalam hal ini seolah-olah logis. Lalu jawaban Tuhan bagaimana dalam hal ini? Dalam Kel. 4:2, Tuhan menjawab yang intinya Tuhan berkuasa untuk menolong secara supernatural. Musa merasa tidak meyakinkan secara natural untuk dipakai oleh Tuhan, tetapi di mata Allah hal-hal natural tidak menjadi keterbatasan bagi Tuhan, karena Tuhan berkuasa menolong secara supernatural. Di dalam pelayanan kerajaan Allah hal-hal natural memang tidak cukup untuk melayani Tuhan perlu kuasa supernatural. Jadi apa yang dikemukakan oleh Aristoteles yang bersifat natural masih belum cukup, kita masih memerlukan hal yang supernatural. Apalagi waktu kita memberitakan firman Tuhan itu perlu pertolongan Roh Kudus. Tongkat menjadi ular itu baru mungkin jikalau kuasa supernatural Tuhan yang menolongnya.

Keempat, Musa merasa dia tidak mampu bicara (Kel. 4:10; Kel. 6:29). Musa berpuluh-puluh tahun di Mesir menjadi gembala domba. Lalu sekarang dia harus mengurus bangsa Israel, manajemennya bagaimana, logistiknya bagaimana. Lalu bagaimana mengkoordinasi orang-orang dan tua-tua. Lalu nanti menghadap Firaun bagaimana? Tuhan saya tidak bisa bicara Tuhan. ini menjadi keluhan dari Musa. Ini jikalau kita pikirkan seolah-olah menjadi hal yang logis. Tuhan menjawab, “Siapakah yang membuat lidah manusia. Siapakah yang membuat orang bisu atau tuli, yang membuat orang buta melihat. Bukankah Aku ini Tuhan. Oleh sebab itu pergilah aku akan menyertai lidahmu dan mengajar engkau apa yang harus engkau katakan. Di sini prinsipnya, “Pergi dulu baru Tuhan akan mengajar engkau.” Ini berkaitan dengan providensia Allah di dalam pemerintahan Allah. Providensi Allah di sini didefinisikan sebagai kekuatan Ilahi yang bekerja sama dengan hukum-hukumnya yang telah ditetapkan oleh Tuhan bekerja sama begitu rupa sehingga mencapai apa yang dikehendaki oleh Tuhan. Di dalam providensia Allah Tuhan akan menggarap. Tuhan mengatakan kepada Musa, “Pergi Aku akan menyertai lidahmu.” Saudara mari kita juga mengambil tekad dihadapan Tuhan dan melibatkan diri lalu Tuhan akan menggarap itu. Jikalau tidak kita akan sepeti jemaat Korintus yang mubazir semua karunia dan akan menjadi kengerian pengajaran bagi jemaat digenerasi berikutnya.

Kelima, di sini Musa merasa kurang berani (Kel. 4:13). Di dalam bagian-bagian sebelumnya Tuhan sudah memaparkan diri-Nya, memaparkan strategi-Nya, memaparkan pengharapan-Nya dan sudah memaparkan cara Dia menolong secara supernatural. Lalu Musa masih mengatakan Tuhan itu semua masih tidak ada artinya buat aku. Utus orang lain saja. Pada titik inilah Tuhan marah sekali dengan Musa. Saudara, pada titik tertentu kadang-kadang kita memilih mana yang kita takuti. Musa harus memilih dia harus takut pada Firaun atau pada firman Tuhan. Pada waktu Tuhan murka baru Musa sadar dan pada detik itu Musa tidak bisa berdalih lagi. Tuhan sudah memberikan suatu prinsip-prinsip di mana kita harus mengambil sikap di dalam pelayanan. Jikalau tidak, pada saat tertentu Tuhan memberikan pilihan maka hanya ada dua kemungkinan: melayani Tuhan atau melayani diri. Melibatkan diri atau membuang diri. Saudara jikalau pada titik terakhir Tuhan tidak murka, Tuhan tidak marah ini akan menjadi pelajaran buruk bagi generasi berikutnya. Jikalau Tuhan sudah panggil seseorang Tuhan akan tuntut dan orang tersebut tidak mungkin lari dari Tuhan. Mengapa kita harus mengalami murka Tuhan lebih dahulu? Kenapa harus membangkang dan mengalami kesialan lebih dahulu? Alangkah baiknya kalau kita mau taat dan menggarap apa yang Tuhan mau kita kerjakan. Musa akhirnya mau karena dia sadar memang itu harus digarap. Musa memiliki visi dari Tuhan yaitu suatu pemahaman yang jelas tentang realita di depan yang seharusnya. Dibandingkan fakta sekarang yang membuat dia tidak rela dan bertekad untuk menjadi yang seharusnya sesuai dengan kehendak Tuhan. Visi adalah satu pemahaman tentang realitas di depan yang harus terjadi. Dan ketidakrelaan akan fakta sekarang menuntut diri untuk merealisir di kemudian hari. Ketika Musa memahami ini, maka dia mau melibatkan diri. Mari kita pikir hidup kita tahun ini. saya berdoa kiranya Firman Tuhan yang kita dengar pagi ini boleh menjadi kekuatan bagi kita untuk melayani Tuhan. Amin!

Sumber:
Ringkasan Khotbah Ev. Pieters K. Pindardhi di Gereja Reformed Injili Indonesia (GRII) Andhika, Surabaya tanggal 17 Januari 1999

"Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati." (1Samuel 16:7b)
MUTIARA DI BALIK PENGALAMAN PAHIT
oleh: Pdt. Manati Immanuel Zega, S.Th.
(Pendeta di Gereja Utusan Pentakosta di Indonesia–GUPdI Pasar Legi, Solo)

Nats: Kejadian 39:1-23

Perjalanan hidup manusia merupakan sebuah misteri. Misteri yang saya maksudkan, bukanlah seperti yang kita saksikan akhir-akhir ini di media TV, yakni sesuatu yang horor, menakutkan dan membahayakan. Misteri yang dimaksud adalah sesuatu yang rahasia, belum kita tahu persis apa yang bakal terjadi di hadapan kita. Setengah jam mendatang, kita tidak tahu dengan tepat apa yang akan melanda hidup kita.

Dalam menjalani hidup yang misteri ini, seringkali kita mendapatkan berbagai pengalaman. Pengalaman tersebut bisa berupa pengalaman pahit, atau bisa juga pengalaman manis dan menyenangkan. Berbicara mengenai pengalaman, maka harapan kebanyakan orang adalah mendapatkan pengalaman manis dan menyenangkan. Tidak ada orang yang merindukan pengalaman-pengalaman pahit. Mengapa? Karena pada dasarnya, orang lebih suka yang menyenangkan daripada yang pahit.

Atau, hal lain banyak orang Kristen yang salah mengerti, karena pikirnya pengalaman-pengalaman pahit, disebabkan Tuhan tidak mengasihinya atau Tuhan telah jauh dari hidupnya. Oleh karenanya, kalau bisa pengalaman pahit ditolak dan tidak usah terjadi dalam hidup ini.

Tetapi sebagai anak Tuhan, sebagai orang percaya, pertanyaan yang harus kita gumulkan adalah apakah semua pengalaman pahit merupakan indikasi bahwa Tuhan tidak menyertai umat-Nya? Apakah benar bahwa pengalaman pahit merupakan sesuatu yang sangat negatif sehingga kita harus menolaknya?

Dari pembacaan Firman Tuhan tersebut di atas, marilah kita belajar bahwa pengalaman-pengalaman hidup yang pahit sesungguhnya ada manfaatnya agar kita dapat mengenal dengan lebih baik Tuhan yang kita ikuti.

Dalam perjalanan hidupnya, Yusuf diizinkan Tuhan untuk mengalami berbagai pengalaman pahit, pengalaman yang secara manusiawi tidak menyenangkan atau tidak disukai. Pengalaman apa itu?
· Pengalaman ditolak oleh saudara sendiri.
Alkitab memberikan informasi bahwa ketika Yusuf berusia 17 tahun, dia bersama saudara-saudaranya menggembalakan domba. Ketika mereka menggembalakan domba, Yusuf menyaksikan saudara-saudaranya melakukan kejahatan. Lalu, sebagai seorang yang mengasihi Tuhan dan saudara-saudaranya, Yusuf memberitahukan kejahatan tersebut kepada ayahnya, dengan harapan mereka tidak terlalu jauh masuk ke dalam kejahatan-kejahatan berikutnya. Bagaimana respon saudara-saudaranya? Apakah mereka terima dengan senyum dan berkata: “terima kasih ya.” Alkitab memberitahukan, mereka justru sangat membenci Yusuf. (Kej. 37:2)

· Pengalaman tidak disapa dengan ramah oleh saudara sendiri.
Mengapa? Karena kasih sayang ayahnya lebih besar kepada Yusuf dibandingkan dengan saudara-saudaranya yang lain. Akibatnya, Yusuf semakin dibenci. (Kej. 37:4)

· Pengalaman dianggap sebagai pembual.
Hal ini, disebabkan adanya mimpi. Dalam mimpi pertamanya, Yusuf menceritakan demikian: “sementara kita di ladang sedang mengikat berkas-berkas gandum, lalu bangkitlah berkasku dan berdiri tegak, lalu berkas-berkasmu datang dan sujud menyembah pada berkasku.” (Kej. 37:7). Akhirnya, mereka marah lagi kepada-Nya. Dalam mimpinya yang kedua, Yusuf menceritakan, tampak matahari, bulan dan sebelas bintang sujud menyembah kepadaku. Lalu, saudara-saudaranya iri hati kepadanya. Bahkan ayahnya sendiri marah dengan mimpi itu. Ayahnya berkata: “bagaimana mungkin aku dan ibu serta sudara-saudaramu menyembah kepadamu sampai ke tanah?” (Kej. 37:9-10)

· Pengalaman dijual kepada pedagang Midian-orang Ismail.
Kebencian yang sudah ditumpuk sekian lama akhirnya memuncak. Saudara-saudaranya memutuskan untuk memasukkannya ke sumur kosong dan dijual kepada pedagang Midian.

· Pengalaman dijual dengan berpindah tangan.
Orang Midian – orang Ismael yang membeli Yusuf, menjualnya kembali kepada pegawai istana Firaun, kepala pengawal raja.

· Pengalaman menjadi narapidana.
Istri tuannya, Potifar menuduhnya telah melakukan pemerkosaan atas dirinya. Karena itu, dia harus dimasukkan penjara. (Kej. 39:20)

Saudara-saudara, kalau dilihat sepintas, mungkin kita akan berkomentar bahwa Yusuf adalah orang yang telah ditinggalkan oleh Tuhan. Mengapa? Karena sebagian orang – masyarakat Kristiani menduga bahwa orang yang terlalu banyak pengalaman pahitnya tidak dibela oleh Tuhan. Benarkah demikian? Bagaimana pengalaman pahit berubah menjadi sebuah mutiara iman yang berharga. Marilah kita belajar dari Yusuf.

Pertama, Penyertaan Tuhan Adalah Segala-galanya (Kej. 39:2, 21)
Di dalam dunia ini, ada sebagian orang yang merasa sangat bangga jika memiliki kenalan, atau sahabat seorang pejabat pemerintah. Bahkan, tidak jarang orang mengaku-ngaku familinya si A yang terkenal itu. Mengapa? Karena, dengan kedekatannya pada pejabat tertentu dapat menolong dia untuk mencapai cita-cita. Atau katakanlah sebagai sarana baginya untuk mencapai keberhasilan. Kalau, saya dekat dengan si A itu, kemungkinan besar dapat memuluskan jalannya usaha yang sedang kubangun ini.

Tetapi, bagaimana kenyataannya? Banyak orang menjadi kecewa karena ternyata orang yang dianggapnya hebat tersebut, ternyata ikut andil menghancurkan usaha yang mati-matian dibangunnya.

Namun, Yusuf berbeda. Yusuf tidak dibela oleh pejabat yang hebat, tetapi Yusuf dibela oleh satu pribadi, yakni TUHAN sendiri. Alkitab berkata: Tetapi TUHAN menyertai Yusuf, sehingga ia menjadi seorang yang selalu berhasil dalam pekerjaannya; maka tinggallah ia di rumah tuannya, orang Mesir itu. (Kej. 39:2). Di dalam terjemahan Alkitab Bahasa Indonesia sehari-hari, ayat ini berbunyi: “TUHAN menolong Yusuf sehingga ia selalu berhasil dalam semua pekerjaannya. Ia tinggal di rumah tuannya, orang Mesir itu.”

Perhatikan ayat Firman Tuhan ini. Ada hubungan yang sangat erat antara keberhasilan dalam pekerjaan dengan penyertaan Tuhan. Dan, itulah keberhasilan yang sejati. Ada orang yang berkata: usaha ini berhasil karena management yang saya terapkan sangat baik. Atau, mungkin yang lain berkata: usaha ini berhasil karena gaya kepemimpinanku yang sangat berwibawa, sehingga tidak ada karyawan yang berani macam-macam.

Saudara, jangan berbangga dulu. Firman Tuhan berkata: “keberhasilan datang karena penyertaan Tuhan.” Kalau Tuhan tidak sertai usahamu, mungkin sudah lama failit, sudah lama bangkrut. Kalau usahamu berhasil, ingat itu semata-mata karena penyertaan Tuhan. Kalau engkau tidak di PHK, ingat baik-baik semua karena anugerah Tuhan.

Pengalaman apa yang dimiliki oleh Yusuf? Apakah pernah belajar management dari sebuah universitas ternama? Apakah pernah belajar leadership dari universitas terkemuka? Tidak! Tetapi bagaimana mungkin seorang yang selalu disalah mengerti orang, bagaimana mungkin seorang yang tidak punya bekal ilmu yang memadai dapat memanage rumah kepala pengawal raja? Alkitab memberitahukan Tuhan menyertai Yusuf. Penyertaan Tuhanlah yang memungkinkan Yusuf berhasil melakukan semua tugas yang berat itu.


Kedua, Keberhasilan Tanpa Integritas Akan Hancur (Kej. 39:7, 8)
Integritas adalah menyatunya kata dan perbuatan atau menyatunya iman di dalam tindakan nyata. Alkitab berkata: .”..TUHAN menyertai Yusuf, sehingga ia menjadi seorang yang selalu berhasil dalam pekerjaannya...”

Keberhasilan merupakan anugerah Allah. Tetapi, pada tingkat tertentu keberhasilan menjadi jerat yang membuat dia lupa diri. Karena itu, keberhasilan yang sejati harus disertai dengan integritas yang teruji.

Biasanya, ada tiga hal yang menjadi ujian terhadap integritas yang biasanya orang menyebutnya TIGA TA, yakni TAHTA, HARTA, dan WANITA. Mengapa sebagian orang melakukan KKN? Alasannya sederhana, agar memperoleh harta benda yang banyak. Agar kekayaannya melimpah sebagai jaminan hari tua. Mengapa ada pemimpin yang menghalalkan segala cara, atau “money politic”? Kalau sudah terpilih, tujuannya apa? Jawabannya sederhana, supaya kembali memperoleh TAHTA. Mengapa banyak keluarga berantakan? Salah satunya, menurunnya integritas seseorang dalam hal lawan jenis atau WANITA.

Alkitab memberitahukan kita bahwa Yusuf diuji integitasnya dalam hal WANITA. Yusuf adalah seorang yang tampan, gagah dan bersikap manis. Rupanya, nyonya rumah-istri Potifar sudah lama mengamati hal itu. Dia memandang Yusuf dengan birahi, dengan nafsu seksual yang tinggi dan setiap hari merayu Yusuf agar jatuh ke pelukannya. Itu sebabnya, ketika rumah kosong – dia mengajak Yusuf berselingkuh dengannya.

Sekarang ini, banyak kasus perselingkuhan terjadi di mana-mana. Bahkan, mereka mencoba menghaluskan istilahnya dengan berkata SELINGKUH adalah Selingan Indah Yang Penting Keluarga Utuh. Dunia menganggap bahwa perselingkuhan itu sebagai selingan indah.

Tetapi kita memuji Tuhan karena Yusuf terbukti berintegritas tinggi. Buktinya? Tetapi Yusuf menolak dan berkata kepada istri tuannya itu: “Dengan bantuanku tuanku itu tidak lagi mengatur apa yang ada di rumah ini dan ia telah menyerahkan segala miliknya pada kekuasaanku, bahkan di rumah ini ia tidak lebih besar kuasanya dari padaku, dan tiada yang tidak diserahkannya kepadaku selain dari pada engkau, sebab engkau isterinya. Bagaimanakah mungkin aku melakukan kejahatan yang besar ini dan berbuat dosa terhadap Allah?” (Kej. 39:7-8).

Perhatikan kalimat ini, ....berbuat dosa terhadap Allah. Yusuf tidak melakukan tindakan bejat itu karena takut berbuat dosa terhadap Allah. Berbeda dengan orang zaman sekarang, mereka tidak melakukannya karena takut ketahuan dosanya, bukan karena takut terhadap dosa itu sendiri.

Jikalau Tuhan izinkan kita berhasil dalam hidup ini, mari ingat baik-baik bahwa semua itu hanya karena campur tangan Tuhan dan bukan karena kehebatan kita. Karena itu, pegang teguh integritas kita sebagai anak terang yang tidak mau kompromi dengan dosa sedikit pun.


Ketiga, Promosi Datangnya dari Tuhan (Kej. 41:40-41)
Jikalau kita memperhatikan latar belakang Yusuf, maka dengan cepat orang berkata, orang seperti dia tidak bakal menjadi orang yang berguna. Tidak mungkin menjadi orang yang akan menjadi saluran berkat. Mengapa? Karena memang secara kasat mata, tidak ada modal baginya, tidak ada sesuatu yang dapat diandalkan. Orang sering kali tergoda untuk sesuatu yang kelihatan.

Namun Alkitab memberi kesaksian bahwa Yusuf menjadi penguasa di Mesir. Allah memakai cara yang mungkin tidak pernah dipikirkan Yusuf. Allah membuat Firaun bingung dengan mimpinya. Allah memang sengaja melakukan hal itu. Firaun mendapat mimpi demikian. “Ketika Firaun berdiri di tepi sungai Nil, tampaklah dari sungai Nil itu keluar tujuh ekor Lembu yang indah bangunnya dan gemuk badannya; lalu memakan rumput di tepi sungai itu. Kemudian tampak juga tujuh ekor lembu yang lain, yang keluar dari dalam sungai Nil itu, buruk bangunnya dan kurus badannya, lalu berdiri di samping lembu-lembu yang tadi, ditepi sungai itu. Lembu-lembu yang buruk bangunnya dan kurus badannya itu memakan tujuh ekor lembu yang indah bangunnya dan gemuk itu.” Sementara itu, dalam mimpinya yang kedua Firaun mendapat mimpi demikian: “Tampak timbul dari satu tangkai tujuh bulir gandum yang bernas dan baik. Tetapi kemudian, tampaklah juga tumbuh tujuh bulir gandum yang kurus dan layu oleh angin timur. Bulir yang kurus itu menelan ketujuh bulir yang bernas dan berisi tadi.”

Kedua mimpi itu, membuat Firaun gelisah karena tidak tahu apa maksudnya. Dia mencari orang-orang yang dianggapnya pakar, dianggap ahli diseluruh negeri. Namun tidak ada seorangpun yang mampu mengartikan mimpi itu.

Atas informasi dari juru minuman, Yusuf dipanggil untuk mengartikan mimpi itu. Dan ternyata dengan terus terang Yusuf memberitahukan artinya. Yusuf berkata, tujuh ekor lembu yang baik dan tujuh bulir gandum yang baik artinya sama yaitu tujuh tahun. Sementara ketujuh ekor lembu yang kurus dan buruk, juga tujuh bulir gandum yang hampa dan layu artinya adalah tujuh tahun kelaparan (Kej. 41:26-27).

Dari kemampuan yang Tuhan berikan tersebut, akhirnya Yusuf dipakai oleh Tuhan sebagai penguasa di Mesir. Tuhan promosikan Yusuf dengan caraNya yang ajaib dengan tujuan untuk menjadi saksi bagi-Nya.

Saudara, saya hendak mengatakan apa yang dianggap hina oleh dunia, justru dipakai Allah untuk mempermalukan dunia. Di tangan Allah, yang hina, dianggap rendah justru alat yang indah untuk menyatakan kebesaran-Nya. Puji Tuhan.

Sebagai anak Tuhan, jangan pernah merasa malu menjadi anak Tuhan. Jangan pernah minder karena status kita sebagai anak Tuhan. Sebaliknya, berbanggalah karena engkau dipanggil untuk menjadi bagi dunia ini.

Kadang-kadang Allah memakai proses-proses menyakitkan dalam hidup kita agar terjadi mutiara iman, demi kemuliaan namaNya. Jangan salah mengerti rencana-Nya.

Surakarta, 01 Mei 2004
Menjadi murid, harus berani bayar harga
oleh: Pdt. Manati Immanuel Zega, S.Th.
(Pendeta di Gereja Utusan Pentakosta di Indonesia–GUPdI Pasar Legi, Solo)

Nats: Luk. 14:25-34


Ada bermacam-macam motivasi yang timbul di dalam hati seseorang ketika mengambil keputusan untuk menjadi murid Tuhan. Misalnya, agar mendapat berkat materi yang berkelimpahan. Atau, bagi mereka yang mengagung-agungkan “theologi” kemakmuran meyakini bahwa menjadi anak Tuhan pasti serba enak, sebab setiap hari kita akan mendapatkan berkat yang berkelimpahan. Bahkan orang-orang tertentu yang berani mengklaim apabila seseorang tidak diberkati, di dikutuk Tuhan. Walaupun dalam kenyataannya, banyak orang yang cinta Tuhan dengan serius, tetapi hidupnya tidak berkelimpahan secara materi, melainkan berkelimpahan dalam hal rohani.

Injil Lukas 14:25-34 memberikan prinsip-prinsip penting bagaimana seharusnya seorang Kristen mengikut Tuhan. Untuk lebih memahami ayat-ayat tersebut, tidak dapat dilepaskan dari pasal-pasal sebelumnya, khususnya pasal 9. Dalam pasal ini Yesus menguraikann makna mengikut Tuhan dalam pengertian yang sesungguhnya.

Di bawah ini ada beberapa pokok pikiran penting yang akan kita pikirkan bersama.
Pertama, Yesus memandang kehidupan Kristen dengan realistis
Bacaan Firman Tuhan di atas menjelaskan banyak orang berbondong-bondong mengikuti Yesus. Berarti Yesus telah menjadi populer di masyarakat, atau menjadi tokoh idola banyak orang. Yesus sebagai Pemimpin yang bijaksana ternyata menyampaikan hal-hal di luar dugaan para pendengar-Nya. Yesus menyampaikan hal yang sangat prinsip bagi iman Kristiani. Dia berkata: “Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak dapat menjadi murid-Ku” (ayat 27). Kata tidak dapat pada ayat di atas, dalam bahasa aslinya mengguakan kata “Ouk Dunatai.” Kata ini bisa berarti tidak punya hak atau tidak punya kuasa. Dengan kata lain, Yesu ingin menegaskan barangsiapa tidak memikul salibnya dalam mengikut Tuhan, sama sekali tidak berhak menyebut dirinya sebgai murid Tuhan.
Pernyataan ini jelas dan tegas agar umat Tuhan, para intelektual Kristen memahami makna mengikut Tuhan dalam porsi yang benar dan bertanggung jawab. Yesus tidak menjanjikan fasilitas bagi orang-orang yang mendengarkan pernyataan-Nya itu. Yesus tidak berkata seperti para pemimpin organisasi dunia yang menjanjikan ini dan itu. Pada umumnya, para pemimpin dunia menjanjikan fasilitas-fasilitas yang nantinya akan dinikmati setelah terpilih menjadi pemimpin, walaupun dalam kenyataannya janji tinggal janji.

Yesus memberikan syarat-syarat mendasar bagi setiap Pengikut-Nya. Syarat-syarat tersebut harus dipenuhi apabila ingin menjadi murid yang diperkenan-Nya. Pada ayat 26 “Jikalau seseorang datang kepada-Ku dan ia tidak membenci bapanya, ibunya, istrinya, anak-anaknya, saudara-saudaranya laki-laki atau perempuan bahkan nyawanya sendiri, ia tidak dapat menjadi murid-Ku.” Penyataan ini memberi pengertian bahwa ikut Tuhan harus disertai dengan pengorbanan, termasuk nyawa kita sekalipun.

Di dalam Matius 22:37-39 Yesus menegaskan “Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu, segenap jiwami, segenap akal budimu.” Inilah prinsip iman yang tidak bisa ditawar-tawar. Ikut Tuhan harus siap baik dalam keadaan suka maupun duka.

Dalam abad I Rasul Paulus berkata “Cross is my glory,” kemudian pada abad XIX Fanny J. Crosby mengulangi perkataan yang sama “Cross is my glory.” Para pendahulu kita ini menderita bukan karena melakukan suatu tindakan kriminal yang naif, tetapi menderita karena berjuang demi iman serta mempertahankan makna salib Kristus sebagai puncak pengorbananNnya bagi manusia yang berdosa.


Kedua, ikut Yesus harus punya dasar dan alasan yang kuat
Pernahkah Anda bertanya pada diri sendiri “mengapa saya memilih menjadi murid Tuhan atau anak Tuhan? Mengapa saya memilih menjadi Kristen? Padahal, banyak agama yang secara hukum diberi kesempatan berkembang di negeri ini? Perlu dipikirkan! Anak-anak Tuhan dalam gereja awal mwngalami tantangan bahkan penganiayaan, tetapi justru mereka setia ikut Tuhan karena mareka punya landasan dan alasan yang kokoh untuk mengikut Tuhan.

Polikarpus seorang anak Tuhan yang sungguh-sungguh cinta Tuhan, dia ditangkap oleh pemerintah Romawi, kemudian diancam untuk dibunuh. Kepadanya ditanyakan : “Polikarpus, apakah enkau masih mau ikut Yesus? Kalau engkau tetap ikut Dia, saat ini pasti engkau tidak akan selamat. Tetapi jika engkau menyangkalNya engkau pasti akan selamat dari ancaman kematian.”

Dengan serius dan tegas Polikarpus menjawab: “pada usia sembilan tahun aku telah mengenal kasih-Nya, sekarang aku telah berusia delapan puluh empat tahun, aku tidak pernah disakiti-Nya, bagaimana mungkin aku menyangkal Dia?”

Polikarpus memiliki alasan yang kuat untuk mengikut Yesus. Ayat 28-33 di atas, Yesus memberikan suatu gambaran tentang seseorang yang akan mendirikan suatu menara, atau raja yang akan berperang. Seorang perancang bangunan agar hasil yang dicapai maksimal, terlebih dahulu harus duduk diam untuk memikirkan dan mempertimbangkan apa saja yang akan dilakukannya agar bangunan itu jadi dan hasilnya tidak memalukan. Demikian juga seorang raja yang akan maju berperang harus memikirkan kekuatan dan kelemahan prajurit yang dimilikinya, kalau tidak, lebih baik berdamai saja dengan lawannya.
Contoh ini memberikan inspirasi bahwa kalau mau ikut Tuhan pertimbangkan baik-baik bahwa ada pengorbanan, ada resiko tinggi yang mungkin akan ditanggung setiap orang uang mengambil keputusan untuk ikut Tuhan.

Sejarah gereja telah mencatat pengorbanan dan penderitaan yang dialami orang Kristen sepanjang zaman. Yesus tidak pernah berkata: “If You Follow Me Everithing is going well.” Kitab Suci mencatat dengan jujur ikut Tuhan juga harus bersedia menderita. Di dalam Lukas pasal 9, Yesaya memberikan teladan tentang pribadi-Nya sendiri. Khususnya ayat 58 menuliskan demikian: “Yesus berkata kepadanya: serigala mempunyai liang dan burung mempunyai sarang, tetapi Anak Manusia tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepalaNya.”


Ketiga, ikut Yesus harus menjadi pembawa misi
Allah punya misi yang tidak pernah berubah sepanjang abad untuk dunia ini. Misi itu dalam rangka penyelamatan dunia yang berdosa. Lalu misi tersebut diberi tanggung jawab oleh Alah kepada setiap generasi sepanjang zaman. Allah bukan tidak mampu melakanakannya sendiri, tetapi Allah ingin melibatkan manusia karena manusia adalah Peta dan Rupa Allah (Imago Dei). Allah sangat menghargai manusia karena itu setiap generasi diberi tanggung jawab untuk melayani zamannya. Rev. Dr. Stephen Tong menyebut misi untuk setiap generasi dengan istilah “Serve Your Time.”

Generasi yang hidup di abad XXI bertanggung jawab melayani manusia yang hidup di abad yang bersangkutan. Dari generasi ke generasi Allah memberi tanggung jawab mengambil bagian dalam rencana-Nya yang agung.

Ayat 34, Yesus memberi tanggung jawab kepada para murid-Nya dan kepada setiap generasi, untuk melakukan sesuatu yakni panggilan suci. Panggilan suci tersebut adalah untuk menjadi “garam” bagi dunia. Garam adalah kebutuhan manusia yang penting. Garam termasuk kebutuhan primer dalam hal masakan. Masakan yang tidak ada garamnya pasti tidak enak, meskipun semua bumbu yang lainnya lengkap. Pekerjaan garam memang tidak kelihatan, bahkan kesannya garam itu diam tetapi khasiatnya sangat terasa. Masakan tanpa garam hambar dan pasti tidak punya rasa. Bisa dipastikan sangat sedikit ada orang yang ingin mencicipinya.

Menjadi terang bagi generasi kita adalah kerinduan Allah yang terdalam agar banyak orangg yang percaya dan menerima-Nya sebagai Tuhan dan juruselamat. Dunia ini akan binasa apabila tidak ada terang yang terus-menerus memancari kegelapan hati manusia.
Siapakah terang itu? Alkitab menjelaskan Kristuslah terang. Hanya Kristus yang mampu menerangi kegelapan hati nurani manusia yang setiap saat selalu bengkok dan melawan Allah.

Manusia semakin sombong dengan kemajuan teknologi yang semakin canggih. Manusia sombong dan berkata “Science is my god.” Benarkah? Ternyata, sejarah mencatat bahwa ilmu pengetahuan tidak mampu menyelamatkan manusia. Ilmu pengetahuan tidak mampu memberi solusi bagi peroalan manusia yang mendasar yakni dosa. Dosa tidak mampu diatasi oleh kemajuan teknologi mutakhir apapun. Penyelesaian masalah dosa hanya ketika seseorang datang kepada Kristus mengakui-Nya sebagai Tuhan secara pribadi. Di sinilah panggilan pelayanan Kristen.


Sumber:
Artikel di situs Gereja Utusan Pentakosta di Indonesia (GUPdI).
Seberapa Dalam Kita Mengasihi-Nya?
oleh: Denny Teguh Sutandio

Jawab Yesus kepadanya: "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu.
(Matius 22:37)

Inilah tandanya, bahwa kita mengasihi anak-anak Allah, yaitu apabila kita mengasihi Allah serta melakukan perintah-perintah-Nya.
Sebab inilah kasih kepada Allah, yaitu, bahwa kita menuruti perintah-perintah-Nya. Perintah-perintah-Nya itu tidak berat,
sebab semua yang lahir dari Allah, mengalahkan dunia. Dan inilah kemenangan yang mengalahkan dunia: iman kita.
(1Yoh. 5:2-4)


I. PENDAHULUAN DAN LATAR BELAKANG
Apakah kasih itu? Dunia kita banyak memiliki definisi kasih. Mereka mengajarkan dan menilai kasih/cinta itu hanya sebatas hal-hal fenomenal. Misalnya, jika seseorang memberikan sesuatu kepada pasangan atau teman/rekannya, itulah cinta/kasih. Bahkan tidak sedikit orang Kristen masih memiliki pandangan serupa bahwa kasih/cinta itu adalah sesuatu yang fenomenal sifatnya. Bagaimana pandangan Alkitab sendiri mengenai kasih khususnya berkenaan dengan Allah adalah Kasih?


II. KONSEP ALKITAB MENGENAI KASIH: ALLAH ADALAH KASIH
Kasih pertama kali ditunjukkan oleh Allah yang adalah Kasih (1Yoh. 4:16). Kasih Allah ditunjukkan dengan menciptakan dunia dan manusia ini. Kasih-Nya juga ditunjukkan dengan memelihara ciptaan-Nya. Tetapi dosa mengakibatkan manusia tidak lagi melihat dan merasakan cinta kasih Allah. Dosa mengakibatkan manusia curiga kepada Allah, seolah-olah Allah itu tidak lagi mengasihi mereka dengan memberikan pengecualian untuk tidak makan buah pohon pengetahuan yang baik dan jahat. Kecurigaan itu akhirnya berakhir dengan dikeluarkannya Adam dan Hawa dari Taman Eden. Dari Taman Eden, manusia terus berdosa dan makin tidak menghormati dan mengasihi-Nya. Mengapa? Karena di titik pertama, mereka sudah terlepas dari kasih-Nya. Semakin seseorang terlepas dari kasih Allah, maka orang tersebut tentu tidak mampu mengasihi Allah. Orang yang tidak mengasihi Allah tentu akan mengasihi diri dan hal-hal lain di luar Allah yang mengenakkan. Bagi orang ini, Allah hanyalah pengganggu bagi kebebasannya. Tidak heran juga, peristiwa Menara Babel adalah peristiwa di mana manusia mulai menyingkirkan Allah dengan mendirikan menara yang tingginya sampai ke langit (Kej. 11). Untuk menyadarkan manusia ini, Allah mengacaukan bahasa mereka, sehingga akhirnya mereka terserak. Karena manusia sudah tidak lagi mampu mengasihi Allah akibat dosa, maka tidak ada jalan lain bagi keselamatan manusia, kecuali satu-satunya jalan yang Allah sendiri sediakan, yaitu Allah mengutus Putra Tunggal-Nya, Tuhan Yesus Kristus untuk menebus dosa umat-Nya, sehingga mereka dapat mengasihi Allah kembali. Penebusan Kristus menjadi satu-satunya teladan penting bagi umat-Nya untuk memiliki Kasih sejati dan mengasihi Allah. Penebusan Kristus mengajarkan adanya kasih yang rela berkorban. Kristus yang adalah Putra Tunggal Allah (Pribadi kedua Allah Trinitas) rela merendahkan diri-Nya menjadi manusia (tanpa meninggalkan atribut Ilahi-Nya) untuk menyelamatkan umat-Nya dari dosa dan membawanya kepada kehidupan kekal (Yoh. 3:16). Kristus yang tidak berdosa rela membuat diri-Nya “berdosa” untuk menyelamatkan manusia berdosa. Kristus yang tidak seharusnya menanggung murka Allah rela menanggung murka Allah demi menyelamatkan manusia berdosa dari murka Allah. Kristus rela mendamaikan Allah yang Mahakudus dengan manusia yang berdosa. Semua itu dilakukan-Nya karena kasih-Nya kepada umat-Nya. Manusia yang sudah diselamatkan oleh penebusan Kristus dan mengalami penebusan itu pasti memiliki suatu kerinduan untuk mengasihi Allah lebih dalam lagi atas dorongan Roh Kudus di dalam hati umat-Nya.


III. SEBERAPA DALAM KITA MENGASIHI-NYA
A. Mengasihi Allah
Setelah kita mengetahui konsep Alkitab tentang kasih di mana Allah adalah Kasih, lalu, pertanyaan selanjutnya, bagaimana kita mengasihi Allah?
1. Kita mengasihi Allah dengan totalitas hidup kita
Di dalam Matius 22:37, Tuhan Yesus mengajar bahwa kita harus mengasihi Allah dengan hati, jiwa, dan akal budi kita. Di sini, Ia menyebut: hati, jiwa, dan akal budi. Mengasihi Allah dimulai dari hati kita. Hati berbicara mengenai inti hidup kita. Tuhan Yesus mengajar bahwa segala sesuatu keluar dari hati (Mat. 15:18-19). Ketika hati kita busuk, maka kita berkata hal-hal yang busuk. Oleh karena itulah, di titik pertama, Ia mengajar kita bagaimana hati kita terlebih dahulu harus mengasihi-Nya. Percuma saja, seorang Kristen aktif pergi ke gereja, membaca Alkitab dan buku-buku theologi, berdoa, melayani Tuhan, dll, tetapi hatinya tidak lagi mengasihi Allah. Mereka melakukan syariat-syariat agama, tetapi hatinya menjauh dari Allah, persis seperti yang dilakukan oleh orang Israel. Bacalah peringatan Allah kepada umat-Nya di dalam Yesaya 29:13, “Dan Tuhan telah berfirman: "Oleh karena bangsa ini datang mendekat dengan mulutnya dan memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya menjauh dari pada-Ku, dan ibadahnya kepada-Ku hanyalah perintah manusia yang dihafalkan,” Bagaimana kita bisa memiliki hati yang mengasihi Allah? Kita bisa memiliki hati yang mengasihi Allah ketika hati kita benar-benar diserahkan kepada Allah, sehingga hati kita sinkron dengan hati Allah. Ketika Allah sedih, kita ikut sedih. Ketika Allah bersukacita, kita pun ikut bersukacita. Konsep ini mirip seperti sebuah judul/kalimat lagu rohani kontemporer, “Brikanku hati seperti hati-Mu.” Bagaimana dengan kita? Apakah kita memiliki hati seperti hati Allah yang mencintai: kebenaran, keadilan, kejujuran, kesucian, dan kemuliaan (dignitas)? Ataukah hati kita lebih condong kepada setan yang lebih mencintai diri, kejahatan, dusta, kenajisan, dll? Biarlah kita mengintrospeksi diri kita masing-masing.
Kemudian, setelah hati kita mengasihi Allah, pikiran kita pun perlu mengasihi Allah. Caranya adalah mensinkronkan pikiran kita dengan pikiran Allah, sehingga kita memikirkan apa yang dipikirkan Allah, yaitu: yang baik, menyenangkan Allah (berkenan kepada Allah), dan sempurna (bdk. Rm. 12:1-2; Flp. 4:8).

2. Kita mengasihi Allah dengan mengasihi firman-Nya
Lalu, bagaimana kita mensinkronkan hati dan pikiran kita dengan hati dan pikiran Allah? Cara kedua kita mengasihi Allah adalah kita mengasihi firman-Nya. Firman-Nya menundukkan dan membawa hati dan pikiran kita kepada hati dan pikiran Allah. Dengan mengasihi firman-Nya dengan membacanya, kita beroleh hati dan pikiran yang bijaksana sesuai dengan hati dan pikiran Allah (meskipun tidak 100% sempurna). Pemazmur menyingkapkan bagi kita betapa agung firman-Nya di dalam Mazmur 119. Mari kita menyelidikinya.
Mazmur 119:16, “Aku akan bergemar dalam ketetapan-ketetapan-Mu; firman-Mu tidak akan kulupakan.” Di ayat 24, pemazmur mengatakan, “Ya, peringatan-peringatan-Mu menjadi kegemaranku, menjadi penasihat-penasihatku.” Pemazmur bersukacita akan ketetapan-ketetapan-Nya dan bahkan ia tidak akan melupakan firman-Nya. Luapan sukacita ini bisa timbul karena ia mengasihi firman-Nya. Orang yang mengasihi firman-Nya tidak akan pernah melupakan firman-Nya. Ia bahkan menyimpan terus firman-Nya dan menggunakan firman-Nya untuk diaplikasikan di dalam kehidupannya sehari-hari. Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita mengasihi firman-Nya seperti yang pemazmur inginkan dan lakukan ini?
Di ayat 36, pemazmur berucap, “Condongkanlah hatiku kepada peringatan-peringatan-Mu, dan jangan kepada laba.” Bukan hanya menjadi kegemaran pemazmur saja, firman-Nya juga menjadi tambatan hati pemazmur. Ia tidak mau dicondongkan hatinya kepada apa pun termasuk laba, sebaliknya ia hanya mau dicondongkan hatinya hanya kepada peringatan-peringatan-Nya. Firman-Nya menjadi satu-satunya pembimbing jalan hidup pemazmur. Bagaimana dengan kita? Benarkah firman Tuhan (Alkitab) menjadi satu-satunya sumber penuntun hidup kita (dan bukan uang, diri, dll)?
Di ayat 66, pemazmur mengajarkan kepada kita, “Ajarkanlah kepadaku kebijaksanaan dan pengetahuan yang baik, sebab aku percaya kepada perintah-perintah-Mu.” Bagi pemazmur, firman Allah juga sebagai jalan untuk mendapatkan kebijaksanaan dan pengetahuan yang baik (bdk. ay. 104). Pemazmur mengajarkan kepada kita bahwa kita percaya kepada firman-Nya baru setelah itu kita beroleh kebijaksanaan dan pengetahuan yang baik (bdk. Ams. 1:7a). Mengapa ia bisa menyimpulkan bahwa firman-Nya adalah sumber bijaksana dan hikmat sejati? Karena ia tahu bahwa firman-Nya adalah firman Allah yang tidak bersalah (bdk. ay. 89).
Sebagai kesimpulan, saya akan mengambil ayat 105 sebagai penutup kesimpulan pemazmur tentang betapa agung firman-Nya, yaitu, “Firman-Mu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku.” Firman-Nya adalah pelita bagi kita kita dan terang yang menerangi jalan kita, sehingga setiap hidup kita mendapat penerangan dan pencerahan terus-menerus di dalam firman-Nya melalui Roh Kudus.
Setelah kita menelusuri sekilas tentang ungkapan sukacita pemazmur akan agungnya firman-Nya, sekarang saya akan membahas tentang bagaimana kita mengasihi firman-Nya. Jangan pernah percaya kepada orang Kristen yang katanya dia mengasihi firman-Nya, tetapi dalam kehidupan sehari-hari, baik hati, pikiran, perkataan, tingkah laku, dan kelakuan mereka tidak sesuai dengan firman-Nya. Lalu, bagaimana kita tahu dan kita mengoreksi diri kita apakah kita benar-benar mengasihi firman-Nya? Ada beberapa prinsip:
a. Mengasihi firman-Nya berarti percaya akan ketidakbersalahan Alkitab dan menjadikan firman-Nya sebagai satu-satunya standar mutlak kebenaran dan kehidupan.
Pertama-tama, seorang yang mengasihi firman-Nya harus mengakui bahwa firman-Nya (Alkitab) itu tidak bersalah. Ini adalah presuposisi iman yang paling penting. Orang yang sudah percaya bahwa firman Tuhan itu tidak bersalah, maka tentu ia akan lebih mengasihi firman-Nya, karena ia percaya bahwa firman-Nya adalah kehendak-Nya baginya. Tidak mungkin ada orang yang berkoar-koar berkata bahwa ia mengasihi firman-Nya, tetapi ia adalah seorang yang curiga akan kebenaran Alkitab. Dengan demikian, jika kita katanya mengasihi firman-Nya, tetapi masih curiga akan kebenaran Alkitab, lebih baik bagi kita untuk membereskan presuposisi iman kita dahulu sebelum terlambat.
Setelah kita percaya akan ketidakbersalahan Alkitab, kita juga perlu menjadikan firman-Nya sebagai satu-satunya standar mutlak kebenaran dan kehidupan. Prinsip Reformasi dari Dr. Martin Luther adalah Sola Scriptura (hanya Alkitab). Berarti, Alkitab adalah satu-satunya standar kebenaran dan kehidupan umat-Nya. Artinya, sebagai standar kebenaran, Alkitab menjadi patokan kita menguji segala doktrin Kristen dan dunia ini. Sebagai standar kehidupan, Alkitab menjadi satu-satunya patokan kita menapaki hidup kita baik dalam pendidikan, pekerjaan, dan pasangan hidup. Tetapi yang sering kali terjadi dengan banyak orang Kristen adalah mereka “sangat memegang teguh” prinsip Sola Scriptura tetapi hanya berlaku untuk masalah doktrin. Ketika sudah menyangkut masalah kehidupan sehari-hari, terutama panggilan Allah di dalam pendidikan, pekerjaan, dan pasangan hidup, mereka tidak lagi memegang Sola Scriptura, tetapi Sola Diri (hanya diri), Sola Orangtua (hanya orangtua), Sola Pacar (hanya pacar), dll. Kehidupan semacam ini adalah kehidupan yang terpecah (fragmented) dan Tuhan tidak suka hidup umat-Nya adalah hidup yang dualisme memisahkan sakral dan sekular. Tuhan menginginkan hidup umat-Nya adalah hidup yang terintegrasi memuliakan-Nya.
b. Mengasihi firman-Nya berarti membaca, mempelajari, dan merenungkan firman-Nya.
Adalah suatu ketidakmasukakalan (absurditas) jika katanya orang Kristen mengasihi firman-Nya, tetapi kita tidak suka menggali kelimpahan firman-Nya itu. Orang yang tidak suka menggali kelimpahan firman-Nya adalah orang yang sebenarnya tidak pernah mengasihi firman-Nya. Mereka hanya mengasihi firman-Nya yang cocok dengan pola pikir mereka yang humanis dan materialis. Sudah saatnya orang Kristen bertobat dan kembali kepada firman-Nya serta mengasihi firman-Nya. Mengasihi firman-Nya tahap kedua adalah dengan menggalinya. Menggali firman-Nya tentu dengan membaca, mempelajari, dan merenungkan firman-Nya.
Tahap pertama menggali firman-Nya dengan membaca firman-Nya. Menggali firman Tuhan tidak mungkin bisa dilakukan jika tidak ada keinginan untuk membaca firman-Nya. Membaca firman-Nya bukan hanya di gereja saja, tetapi di dalam kehidupan kita yang rutin setiap hari. Ini adalah tindakan disiplin rohani kita sebagai umat-Nya. Sungguh suatu keanehan jika kita mengaku diri Kristen, tetapi tidak suka membaca Alkitab, melainkan lebih suka membaca koran, majalah, novel, dll. Sungguh suatu keanehan juga jika kita katanya Kristen, tetapi tidak mau meluang waktu untuk membaca Alkitab, sebaliknya selalu ada waktu untuk membaca koran, majalah, novel, dll. Bagaimana dengan kita? Seberapa rindu kita membaca firman-Nya? Kerinduan kita menandakan tingkat kematangan rohani kita. Semakin matang rohani kita, semakin kita rindu membaca firman-Nya.
Tahap kedua menggali firman-Nya adalah mempelajari firman-Nya. Setelah kita membaca, hendaklah kita juga mempelajari firman-Nya. Mempelajari di sini bukan hanya sekadar membaca sambil lalu, tetapi membaca dengan teliti dengan memerhatikan segala aspek di dalam penafsiran Alkitab, misalnya memerhatikan: konteks, latar belakang, perbandingan terjemahan, dll. Di sini, kita membutuhkan studi intensif yang akurat memerhatikan satu ayat yang kita pelajari. Untuk studi ini, kita memerlukan berbagai peralatan (tools), seperti: Konkordansi Alkitab, variasi terjemahan Alkitab (Inggris, Indonesia, Mandarin, dll), Interlinear (Perjanjian Baru dalam bahasa Yunani), Tafsiran Alkitab yang bertanggung jawab, dll. Semakin kita menggali kedalaman firman-Nya dengan mempelajari Alkitab, semakin kita menemukan banyak berkat yang terkandung di dalamnya. Ini bukan hanya sekadar teori kosong belaka. Saya sudah membuktikannya ketika saya sekali seminggu menggali kekayaan Surat Roma dan secara pribadi saya menemukan banyak berkat yang indah dari penggalian Surat Roma itu yang tidak pernah saya pikirkan sebelumnya. Bagaimana dengan kita? Apakah kita cukup hanya membaca Alkitab saja tanpa mau mempelajarinya secara mendalam? Hari ini, biarlah kita bertobat dari penyakit kemalasan kita mempelajari firman-Nya.
Tahap terakhir menggali firman-Nya adalah dengan merenungkan firman-Nya. Mempelajari firman-Nya itu belum cukup, kita dituntut juga untuk merenungkan firman-Nya. Mengapa? Karena jika kita hanya berhenti pada aspek mempelajari firman-Nya, kita menjadikan firman Tuhan hanya sebagai objek penelitian kita, padahal sesungguhnya, firman Tuhan lah yang mengoreksi hidup kita (subjek). Itu sebabnya, mempelajari firman-Nya harus disertai dengan tindakan selanjutnya yaitu merenungkan firman-Nya. Merenungkan adalah tindakan reflektif yang korektif. Setelah kita mempelajari firman-Nya, kita bertanya kepada diri sendiri, apakah kita sudah melakukan apa yang sudah kita pelajari tersebut? Jika kita pikir kita belum melakukannya, maka komitmen apa yang harus kita buat untuk melakukannya? Jika kita sudah melakukannya, biarlah kita pun mengintrospeksi diri kita, dengan motivasi kita melakukannya, apakah sungguh-sungguh memuliakan Tuhan atau hanya ingin menjalankan syariat agama tertentu supaya tidak dihukum? Semua ini kita lakukan sebagai langkah introspeksi reflektif sekaligus korektif yang mempertumbuhkan iman dan kerohanian kita. Spiritualitas yang dipisahkan dari merenungkan firman-Nya adalah spiritualitas yang berbahaya dan tidak ada bedanya dengan spiritisme ala Gerakan Zaman Baru (spiritualitas tanpa ikatan yang benar). Biarlah spiritualitas kita ditumbuhkan dengan mempelajari dan merenungkan firman-Nya, sehingga hidup kita makin memuliakan-Nya.
c. Mengasihi firman-Nya berarti melaksanakan seluruh kebenaran firman.
Bukan hanya membaca, mempelajari, dan merenungkan firman-Nya, sebagai orang Kristen, kita dituntut untuk melaksanakan seluruh kebenaran firman. Ini adalah tindakan dan bukti terakhir kita benar-benar mengasihi firman-Nya. Adalah suatu keanehan jika kita mengaku diri Kristen dan mengasihi firman-Nya, tetapi itu hanya kita imani dan pelajari saja, tanpa kita praktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Di sini, wilayah prinsip Sola Scriptura lebih luas lagi. Sola Scriptura bukan hanya berlaku di wilayah doktrinal saja, tetapi di seluruh aspek kehidupan sehari-hari (ada kaitannya dengan poin a). Di poin a tadi kita membahas bahwa mengasihi firman-Nya berarti menjadikan Alkitab sebagai satu-satunya fondasi bagi kehidupan kita sehari-hari. Maka di poin terakhir ini, kita mengimplementasikan konsep di poin a itu dengan segala konsekuensinya. Misalnya, jika firman Tuhan mengajarkan bahwa kita harus taat mutlak kepada pimpinan Allah di dalam segala sesuatu (bahkan di dalam memilih pekerjaan paruh waktu), tetapi orangtua, teman, pacar, saudara, dll menghalangi kita untuk menaati-Nya, maka kita harus berani TIDAK mematuhi halangan mereka dan kembali tetap taat mutlak kepada pimpinan Allah. Ini berarti Sola Scriptura bukan hanya berlaku di dalam kehidupan sehari-hari saja, tetapi kita aplikasikan dengan tegas tanpa kompromi, meskipun harus menerima aniaya dan tekanan dari pihak luar. Ingatlah, kita harus lebih taat kepada Sumber Otoritas, yaitu Allah dan bukan pada otoritas turunan, seperti: orangtua, pemerintah, guru, dll. Jika kita lebih menaati otoritas turunan ketimbang Sumber Otoritas, kita pun berdosa karena telah menggantikan Sumber Otoritas dengan otoritas turunan yang merupakan manusia yang dicipta, terbatas, dan berdosa (Pdt. Dr. Stephen Tong: created, limited, and polluted).


B. Kerinduan Kita Mengasihi Allah Lebih Dalam Lagi
Setelah kita membahas mengenai bagaimana kita mengasihi Allah, kita merenungkan terlebih dahulu seberapa dalam kita mengasihi-Nya. “Seberapa dalam” mengindikasikan adanya ukuran/tingkat kita mengasihi-Nya. Kita tidak mengasihi-Nya dengan sembarangan, tetapi kita mengasihi-Nya lebih dalam lagi. Hal ini ibarat seorang pria mengasihi pasangan (pacar/istri)nya. Pria mengasihi pasangannya tentu bukan sebatas rutinitas, tetapi ada suatu hati yang ingin mengasihi pasangannya lebih dalam lagi. Artinya, si pria ini mau memberikan yang terbaik kepada pasangannya, misalnya, memberikan apa yang pasangannya sukai.
Bagaimana kita bisa memiliki kerinduan untuk mengasihi Allah lebih dalam lagi?
1. Kerinduan untuk mengenal Allah lebih dalam lagi
Kita bisa memiliki kerinduan untuk mengasihi Allah lebih dalam lagi ketika kita memiliki kerinduan untuk mengenal-Nya lebih dalam lagi. Di sini, kasih dikaitkan dengan pengenalan. Di dalam dunia sekuler saja, kita mengetahui bahwa seorang cowok baru bisa mengasihi pasangan (pacar/istri)nya lebih dalam lagi tatkala pria tersebut mengenal pasangannya. Artinya, si cowok ini mengenal pasangannya secara keseluruhan. Misalnya, si cewek suka warna tertentu, maka tentu sebagai pasangannya, si cowok harus mengetahui favorit warna pasangannya. Begitu juga sebaliknya dengan si cewek juga harus mengenal warna favorit apa dari cowoknya. Bukan hanya di dalam hal itu, masing-masing pasangan juga harus mengenal karakter, iman, dll dari pasangannya. Misalnya, cowok pasti mengenal ceweknya yang agak sensitif (mudah marah), begitu juga sebaliknya, cewek pasti mengenal cowoknya yang mungkin penyabar. Itulah yang dinamakan pengenalan. Dunia kita mengenal hal ini dengan baik, tetapi anehnya, justru orang Kristen yang tidak mengenalnya dalam kaitan dengan hal-hal kerohanian. Di dalam hal rohani, kita katanya mengasihi Allah, tetapi ketika kita disuruh mengenal Allah, kita malas. Bagaimana kita mengenal Allah lebih dalam lagi? Ya, jelas, melalui Alkitab, kita mengenal Allah, karena di dalam Alkitab, firman Allah, kita mengenal banyak mengenai Allah yang adalah Mahakudus, Kasih, Mahaadil, Mahabijak, Mahaagung, dll. Nah, masalahnya adalah kita malas membaca Alkitab, sehingga kita tidak mengenal Allah secara penuh, tetapi hanya parsial. Bagaimana kita bisa mengasihi Allah jika kita tidak mengenal-Nya lebih dalam lagi? Kita kalau disuruh melayani Tuhan, kita giat sekali, tetapi kalau kita disuruh belajar firman-Nya, kita malasnya bukan main. Ini tanda kita sebenarnya tidak pernah mengasihi Allah dengan sungguh-sungguh, karena kita maunya melayani-Nya tanpa mau belajar Pribadi yang kita layani. Inilah kegagalan orang Kristen di zaman postmodern, suka menonjolkan diri, tetapi tidak mau belajar/merendah. Bagaimana dengan kita? Apakah kita lebih suka melayani Tuhan saja ataukah kita lebih suka mengenal Pribadi yang kita layani sambil melayani-Nya sebagai wujud kita mengasihi-Nya? Biarlah kita mengintrospeksi diri kita masing-masing.

2. Kerinduan untuk menyenangkan hati Allah
Kedua, setelah kita rindu mengenal Allah, selanjutnya kita dituntut untuk menyenangkan hati Allah. Saya akan memberikan ilustrasi. Setelah kita mengenal pasangan kita, kita tentu memiliki kerinduan untuk menyenangkan hatinya. Misalnya, jika pasangan kita menyukai makanan tertentu, kita berusaha menyenangkan hatinya, minimal ikut makan dengannya. Misalnya, jika iman pasangan kita lemah, kita harus menguatkannya. Bagaimana hubungan kita dengan Allah? Setelah kita mengenal Allah, apa yang kita lakukan kemudian? Pengenalan akan Allah tidak cukup hanya sebatas rasio yang mengerti theologi, tetapi pengenalan akan Allah mencakup tindakan bagaimana menyenangkan hati Allah. Kata “berkenan kepada Allah” dalam Roma 12:2 di dalam bahasa Yunani bisa diterjemahkan sebagai disenangi Allah.1 Uniknya, Roma 12:2 ini dikaitkan dengan ibadah sejati. Ibadah sejati adalah ibadah yang tidak dipengaruhi oleh dunia (secara pasif) dan mengubah pola pikir kita sesuai dengan kehendak Allah yang: baik, berkenan kepada Allah, dan yang sempurna (secara aktif). Dengan kata lain, bagaimana kita menyenangkan Allah? Kita menyenangkan hati Allah dengan terus berusaha melakukan apa yang Ia inginkan. Alkitab mengajar, “Inilah tandanya, bahwa kita mengasihi anak-anak Allah, yaitu apabila kita mengasihi Allah serta melakukan perintah-perintah-Nya.” (1Yoh. 5:2) Dengan kata lain, kita dapat mengasihi Allah lebih dalam lagi tatkala kita menyenangkan hati-Nya dan kita bisa menyenangkan hati-Nya tatkala kita melakukan apa yang diperintahkan-Nya. Bagaimana kita bisa melakukan apa yang diperintahkan-Nya?
a. Kerelaan untuk taat mutlak.
Kita bisa melakukan apa yang diperintahkan-Nya dengan pertama-tama kita rela untuk taat mutlak. Apa artinya taat mutlak? Berarti, kita menundukkan diri kita secara mutlak kepada Allah. Menundukkan diri berarti kita patuh dan tidak bertanya apa pun kepada Allah. Menundukkan diri juga berarti mengatakan TIDAK kepada kehendak diri yang bertentangan dengan kehendak Allah. Ketika Allah memanggil Abraham keluar dari Urkasdim, Abraham taat. Artinya adalah Abraham tidak bertanya apa pun kepada Allah tentang masa depannya ketika ia keluar dari Urkasdim. Mengapa Abraham tidak bertanya apa pun? Karena ia beriman pada dan di dalam Allah. Iman inilah yang mengakibatkan ia berkomitmen menjalankan perintah Allah dengan segala risiko yang harus ia tanggung. Iman yang sama juga terdapat di dalam diri Paulus. Karena iman, ia rela taat mutlak akan pimpinan Allah ke mana pun ia diutus. Paulus tak pernah bertanya risiko yang harus ia hadapi. Hanya satu yang ia lakukan yaitu TAAT. Mengapa para tokoh di Alkitab bisa memiliki ketaatan kepada Allah? Karena mereka yang sudah diselamatkan memiliki komitmen iman untuk terus menyenangkan Allah dengan melakukan perintah-Nya. Bagaimana dengan kita? Ketika firman Tuhan diberitakan baik melalui pembacaan Alkitab maupun di dalam khotbah, bagaimana reaksi kita? Ketika firman Tuhan mengajar kepada kita untuk menyangkal diri dan memikul salib, sudahkah kita siap untuk taat mutlak? Apakah kita masih bertanya dan menimbang untung ruginya kita ketika menyangkal diri? Mari kita introspeksi diri masing-masing: seberapa rindukah kita rela taat mutlak kepada perintah Allah?
b. Kerelaan untuk ditegur dan ingin bertumbuh terus-menerus.
Kita sudah taat mutlak, tetapi mungkin sekali di dalam proyek ketaatan kita, ada hal-hal yang belum kita jalankan atau kita belum taat 100%. Di sini, kita membutuhkan kerelaan untuk ditegur oleh saudara seiman kita dan ingin bertumbuh di dalam iman terus-menerus. Orang yang dewasa TIDAK diukur dari seberapa tinggi pendidikan akademis yang dia peroleh atau seberapa hebat dia menguasai segala sesuatu. Orang yang dewasa diukur dari seberapa dia mau DITEGUR. Orang dewasa yang ketika ditegur, langsung marah-marah, itu membuktikan orang itu sebenarnya masih kekanak-kanakan (childish behavior). Dewasa ini, teguran adalah sesuatu yang “haram.” Di dalam Kekristenan postmodern, ketika ada hamba Tuhan yang bertanggung jawab menegur dosa jemaat/gereja lain yang menyeleweng dari Alkitab, hamba Tuhan itu dicap kurang cinta kasih, “menghakimi,” dll, lalu memakai Matius 7:1 untuk mendukung argumentasinya yaitu perkataan Tuhan Yesus yang mengajarkan agar kita jangan menghakimi. Apakah benar Matius 7:1 mengajarkan agar kita jangan menghakimi? TIDAK! Matius 7:1 memang mengajar bahwa kita jangan menghakimi, tetapi jangan lupa, di ayat 2-5, Tuhan Yesus menajamkan makna di ayat 1 yaitu kita harus menghakimi dengan standar/ukuran yang benar. Artinya, kita jangan menghakimi kesalahan orang, jika kita sendiri memiliki kesalahan yang sama dengan kesalahan orang yang kita hakimi. Misalnya, kita adalah koruptor, lalu kita menghakimi koruptor lain. Itu adalah penghakiman yang tidak adil, karena kita menghakimi kesalahan orang lain, padahal kesalahan kita tidak berbeda dengan kesalahan orang yang kita hakimi. Jika memang “benar” bahwa di Matius 7:1, Tuhan Yesus menyuruh kita untuk tidak menghakimi, mengapa di ayat 15-23, Tuhan Yesus yang sama menghakimi siapa yang sesat dan tidak? Di sini, kita harus mengerti totalitas pengertian Alkitab tentang menghakimi yang benar, bukan dengan motivasi yang sembrono dan tidak bertanggung jawab. Kita menghakimi sesuai dengan ukuran yang benar yaitu Kebenaran Allah, selebihnya kita menyerahkannya kepada Allah (bdk. Rm. 12:19).
Konsep teguran atau/dan penghakiman yang benar ini mengakibatkan kita semakin taat kepada Allah dan semakin rindu bertumbuh. Mengapa? Karena dengan teguran itu, kita disadarkan akan kekurangan kita di dalam proyek ketaatan kita, kemudian kita dibangkitkan kembali hasrat untuk terus bertumbuh di dalam pengenalan akan Kristus melalui karya Roh Kudus. Roh Kudus bisa memakai teguran dari saudara seiman kita untuk mempertumbuhkan iman kita. Oleh karena itu, jangan sepelekan teguran dari saudara seiman kita. Pikirkanlah baik-baik teguran itu dari perspektif kebenaran Allah. Jika teguran itu benar, terimalah dengan kerendahan hati dan ubahlah seluruh kekurangan kita dengan bantuan Roh Kudus. Sudahkah hati kita terbuka pada teguran Roh Kudus baik secara langsung maupun melalui saudara seiman kita untuk menjalankan perintah-Nya? Pertumbuhan iman dan karakter kita dimulai dari kerinduan kita ditegur.
c. Kerelaan untuk saling menguatkan sesama umat Tuhan.
Setelah kita rela ditegur, selanjutnya kita bukan hanya menerima teguran, tetapi kita pun dituntut untuk menguatkan sesama umat Tuhan lainnya. Di sini, kita membutuhkan satu komunitas hidup (istilah yang saya pinjam dari Pdt. Sutjipto Subeno ketika mengeksposisi Matius: life community­–komunitas hidup). Komunitas hidup adalah komunitas yang saling menguatkan iman dan karakter satu sama lain. Komunitas yang saling menguatkan adalah komunitas yang ingin bertumbuh bersama untuk menjalankan perintah Tuhan. Misalnya, jika kita sudah menjalankan perintah Tuhan tertentu, kita bisa mengingatkan sesama kita yang belum menjalankannya, begitu juga sebaliknya. Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita sebagai anggota tubuh Kristus mengingatkan dan menguatkan umat Tuhan lainnya ketika mereka berada di dalam jalan yang menyeleweng dari kebenaran?


Setelah kita merenungkan seberapa dalam kita mengasihi-Nya, bagaimana respon kita? Sudahkah kita memiliki kerinduan yang dalam untuk lebih lagi mengasihi Allah dan firman-Nya dengan menaati apa yang difirmankan-Nya? Amin. Soli Deo Gloria.

1 Hasan Sutanto, PBIK Jilid 1: Perjanjian Baru Interlinear Yunani-Indonesia (Jakarta: Lembaga Alkitab


"Faith does not depend on miracles, or any extraordinary sign, but is the peculiar gift of the spirit, and is produced by means of the word … There is to which the flesh is more inclined than to listen to vain revelation."
(Dr. John Calvin)