Kamis, 21 Agustus 2008

Berdoa Bersama Anak-Anak

Keluarga Kristen terbentuk dan berdiri di atas satu-satunya dasar, yaitu Yesus Kristus. Sumber nilai keluarga Kristen adalah Firman Allah. Firman itu harus ditanam di dalam rumah tangga. Nilai itu ibarat benih, dan benih itu adalah Firman.(Prof. Taliziduhu Ndraha)

Rumah nikah kita sudah dibangun oleh Tuhan (Maz 127-128). Salah satu cara kita membiarkan Tuhan memelihara rumah nikah ini adalah dengan menjadikan Tuhan sebagai pusat keluarga kita (Ulangan 6:4-9) dan menjadikan keluarga sebagai pusat kehidupan kita sehari-hari.

Setiap kegiatan kita hendaknya berpusat pada keluarga. Semua suami (laki-laki) bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga (isteri dan anak-anak). Tetapi di balik usaha kerasnya dia tidak melupakan peran (tugas)-nya sebagai ayah bagi anak-anaknya dan suami bagi istrinya. Demikian juga para istri. Mungkin bos kita di kantor tidak mau kehilangan kita sebagai manajer pemasaran yang handal atau sekretaris yang cekatan. Apapun diberikan asal kita tidak keluar dari pekerjaan. Jangan lupa, itu dilakukannya demi perusahaannya, bukan demi keluarga kita.

Memulai Persekutuan Keluarga

Ibadah keluarga adalah salah satu cara mendidik anak-anak mengenal firman Tuhan. Itu kita tahu, tapi tidak mudah melaksanakannya. Tapi kalau kita menyadari dampaknya bagi keturunan kita kelak, kita akan terus berusaha melakukannya. Orangtua saya (Wita) sudah memulai persekutuan dalam keluarga kami ketika kami masih kecil. Sekarang itu menjadi modal saya untuk keluarga saya sendiri. Saya berharap, anak-anak saya meneruskannya untuk keturunan saya.

Suatu hal penting yang tidak boleh dilupakan oleh orangtua dalam mendidik anak adalah membangun persekutuan keluarga - suasana rohani dalam keluarga. Tetapi, memulai sesuatu yang baru tidaklah mudah. Diperlukan komitmen yang teguh antara ayah dan ibu. Saya ingin menceriterakan pengalaman dalam keluarga saya. Orangtua saya memulai ibadah keluarga saat saya berusia 7, di tahun 1969. Saat itu saya punya lima adik, terkecil baru 7 bulan. Saya ingat, ibadah keluarga kami dimulai ketika ibu mengalami perubahan secara spiritual (dikenal dengan istilah lahir baru). Perilakunya berubah drastis. Ini mempengaruhi ayah saya, yang selama kami tinggal di Malang (dari 1963), tidak pernah ke gereja. Sejak itu kami makan malam bersama pukul 6, kemudian kebaktian. Kami beruntung, karena saat itu kami tidak punya TV, jadi TV tidak menjadi
halangan.

Acara-nya sederhana saja. Mulai dengan menyanyi. Waktu saya SMP, saya dan seorang adik saya main gitar, adik yang lain main organ. Papa seringkali menyanyi dengan suara bas. Tiap malam kami bernyanyi (itu saat-saat terindah yang saya ingat dalam hidup saya bersama orangtua saya). Kalau tidak bisa main musik, kami tepuk tangan. Kalau anak-anak masih kecil, pakai gerakan tubuh atau tangan.

Sesudah menyanyi, papa/mama atau salah seorang anak, membuka ibadah dengan doa syukur. Pendek saja, nanti ada yang menggerutu kalau kepanjangan. Setelah itu, boleh menyanyi atau langsung membaca Alkitab. Jika anak-anak masih kecil, setelah membaca Alkitab kita membuat cerita aplikasi, sehingga anak-anak mengerti nilai Kristiani yang terkandung dalam bacaan tersebut. Tetapi kalau anak-anak sudah cukup besar, tanyakan pada mereka ayat mana yang paling berkesan, mengapa.

Apakah ada ayat yang menegur Saudara (ayah/ibu) atau anak-anak dalam bacaan itu? Apakah ada kelakuan yang perlu diubah? Apakah iman dan pengenalan kita kepada Allah Tritunggal dikuatkan melalui bacaan tersebut? Cobalah diskusikan dengan singkat. Terakhir, doakanlah hal-hal yang sudah dibahas tadi; agar Tuhan menguatkan kita menjalani kehidupan baru hari ini (kalau ibadah pagi) atau besok (ibadah malam). Ibadah keluarga kami biasanya diakhiri dengan menyanyi bersama.

Papa saya menambahkan satu acara lagi dalam kebaktian keluarga kami, saat kami memasuki masa remaja. Yaitu: dia selalu menanyakan kegiatan apa yang akan kami lakukan besok sepanjang hari. Kami tujuh bersaudara. Jadi satu-satu ditanyakan, termasuk pukul berapa pulang, kalau pergi dengan siapa. Kepada kami ditanyakan juga apakah ada masalah dengan pelajaran, uang, teman, buku-buku, kendaraan (setelah kami bisa dapat SIM, papa berusaha memberikan mobil untuk sekolah/kuliah), dsb.

Sekarang saya mengerti bahwa melalui tanya-jawab itu papa sedang melatih kami untuk merencanakan kegiatan esok hari. Kebiasaan itu mendarah daging, karena dilakukan selama lebih dari limabelas tahun. Kemudian saya meninggalkan rumah untuk menikah.Sekarang saya sudah berkeluarga dengan dua anak. Waktu anak-anak kami belum sekolah, kami kebaktian keluarga pagi hari. Setelah anak-anak sekolah, kami kebaktian sore hari (sehabis makan malam) - karena pagi hari saya sibuk menyiapkan anak-anak sekolah. Jadi, soal waktu, kita sediakan waktu yang paling memungkinkan bagi seluruh anggota keluarga.

Awalnya tidak perlu lama; apalagi kalau anak-anak masih kecil. Mereka perlu dilatih, didorong; tapi jangan dipaksa. Nanti mereka bisa tidak suka kebaktian. Saat ini kami membaca Alkitab berurutan dari Matius, sekarang sampai di Markus 15, sehari satu perikop. Sebelumnya kami pernah membaca berurutan Pengkotbah dan Amsal, juga Mazmur.

Nah, yang penting lagi, orangtua memberi waktu membacakan atau menceritakan
kisah-kisah Alkitab kepada anak-anaknya. Ayah atau ibu yang pernah mengajar sekolah
minggu, tentu bisa menyiapkan cerita-cerita praktis yang berkaitan dengan perikop yang kita baca. Saya seringkali memikirkan cerita-cerita rakyat atau dongeng yang berkaitan dengan firman Tuhan atau yang saya akan ceritakan kepada anak-anak, saat saya di salon, sambil memasak atau menyetir mobil.

Sekarang ini, anak-anak saya sangat suka lagu-lagu himne. Bukan hanya suka, mereka pun menghafalkannya. Kalau kami ke luar kota atau melakukan perjalanan jauh, lagu-lagu itulah yang berkumandang sepanjang jalan.

Beberapa percakapan dalam ibadah

Beberapa waktu lalu saat persekutuan keluarga, anak sulung saya bertanya, “Mengapa Tuhan menentukan bangsa Israel sebagai bangsa pilihan-Nya?”

Kami sedang mempelajari Kitab Keluaran. Kemarin tiba di Keluaran 15 yang berisi puji-pujian umat Israel karena Tuhan sudah melepaskan mereka dari bangsa Mesir. Pada bagian akhir ada cerita tentang bagaimana Tuhan mengabulkan sungut-sungut bangsa ini. Tuhan memberikan air yang baik untuk mereka di Mara.

Saya memperhatikan wajah Josephus, mencari tahu apa yang ingin dia sampaikan lewat kalimat itu. Saya bilang, ”Kita tidak tahu alasan Tuhan memilih. Ini adalah kedaulatan Tuhan. Dia bisa pilih siapa saja. Sekarang ini, pemilihan Tuhan meluas. Tuhan juga memilih kamu, Moze, papa dan mama menjadi umat-Nya. Tahukah kamu mengapa Tuhan memilih kita, dan orang lain tidak?”

Hal ini sudah berkali-kali mereka tanyakan dalam berbagai kesempatan. Saya mengingatkan dia kembali percakapan kami bulan-bulan lalu. ”Memang tidak gampang menjadi orang pilihan Allah. Karena kita tidak bisa sembarangan hidup. Itu sebabnya umat Israel berkali-kali diajar dan dihajar Tuhan agar mereka tetap konsisten sebagai umat pilihan.”

Jo menarik nafas panjang. ”Mengapa?” tanya saya, ”apakah itu sulit?”

Dia mengangguk. ”Kalau kamu disuruh pilih: menjadi umat Allah atau tidak, apa pilihanmu?”

Jo terdiam, lalu menjawab, ”Aku mau jadi umat pilihan.”

”Walaupun ada konsekuensinya?” Jo mengangguk lagi.

Melalui percakapan tadi malam saya mengerti isi hati anak saya. Tetapi saya tahu, itu tidak akan mudah. Tugas kami sebagai orangtua-lah untuk terus-menerus menanamkan nilai-nilai dan pola hidup Kristiani dalam hati anak-anak kami. Josephus dan Moze memerlukan bantuan kami untuk mengingatkan mereka berulang kali apabila kami sedang duduk di dalam rumah, apabila kami sedang dalam perjalanan, apabila kami berbaring dan apabila kami bangun.

Berbicara Positif

Ini adalah hal yang kami lihat perlu dibangun dalam keluarga kami. Anak-anak sudah lebih besar. Sebagaimana anak pada umumnya, mereka juga sering berbantah atau memperebutkan sesuatu. Kadang-kadang keluar kalimat yang meremehkan yang lain, mempersalahkan, bahkan dengan kalimat yang kurang baik.

Di awal tahun 2008 ini pembacaan Alkitab kami tiba di surat-surat Paulus. Sekolah Moze menjadikan Efesus 5:8 sebagai tema tahunan. Waktu tiba di perikop tersebut, Moze menceriterakan pemahamannya. Apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan anak-anak terang.

Filipi 4 ayat 8 kami baca beberapa hari kemudian: Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu.

Ayat ini mengingatkan kami untuk memelihara lidah dan pikiran. Saya mengusulkan agar kami membuat ”resolusi tahun baru” dengan berusaha berbicara positif setiap saat.

”Mama ingat kalimat yang mama baca di buku Little House on The Prairie saat mama masih seusia kalian,” kata saya. Suatu kali Pak Ingals mengingatkan Laura, ”Kalau kita tidak bisa berbicara hal yang baik tentang seseorang, lebih baik kita tidak usah bicara.”

Kalimat itu sungguh berbicara dalam hati saya ketika itu. Maka saya kembali mengingatkan hal itu dalam suatu acara ibadah keluarga kami. Anak-anak senyum-senyum. Walaupun tidak menjawab dengan tegas, nampaknya mereka tidak keberatan atas usul ”resolusi tahun baru” yang saya sampaikan. Maka sejak itu, tiap kali ada yang bicara kurang baik mengenai seseorang atau bicara dengan cara yang buruk, salah seorang dari kami akan mengingatkan.

Tadi pagi anak-anak seperti malas ke sekolah. Mereka sudah mandi, makan dan bersiap. Kami baru selesai berdoa pagi, tapi mereka tidak beranjak juga. Ini adalah hari Senin. Bagi kebanyakan orang mungkin Senin adalah hari yang ”kurang memberi semangat” karena baru saja libur sehari sebelumnya.

Jadi, saya berucap, ”Lho, kok kelihatannnya pada malas sekolah, nih?”

Naaahhh, Mama berbicara negatif, ya,” kata Moze. Semua tertawa.

Sorry,” jawab saya, ”mama telanjur. Maksud mama, ayo semangat dong!”

Lama kelamaan, kami menjadikan kesepakatan ini sebagai gurauan yang harus dilaksanakan dengan sungguh-sungguh. Kami berharap kami berhasil. (*)

TUHAN TIDAK BERUBAH
oleh: Prof. James I. Packer, D.Phil.
Mereka mengatakan bahwa Alkitab adalah Firman Allah, pelita bagi kaki kita dan terang bagi jalan kita. Mereka katakan kepada kita bahwa kita akan menemukan dalam Alkitab mengenai pengenalan akan Allah dan kehendak-Nya untuk hidup kita. Kita percaya pada mereka – tepat – karena yang mereka katakan adalah benar. Maka kita mengambil Alkitab kita dan mulai membacanya. Kita baca dengan mantap dan merenungkannya, karena kita tertarik – sungguh ingin mengenal Allah. Tetapi ketika kita baca, makin lama makin bingung. Meskipun terpesona, kita tidak dikenyangkan. Pembacaan Alkitab tidak menolong kita dan membuat kita bingung dan jika kebenaran diungkapkan, terasa sangat menekan. Kita heran sendiri mengapa sampai terjadi demikian.
Apa kesulitan kita? Yang mendasar adalah sebagai berikut. Pembacaan Alkitab membawa kita ke dalam dunia baru yaitu dunia Timur Dekat pada zaman ribuan tahun lalu, primitif dan barbar, dengan sistim agrikultural dan tidak mekanis. Dalam dunia seperti itulah kisah-kisah dalam Alkitab terjadi. Di dalamnya kita bertemu Abraham, Musa, Daud dan lainnya dan memerhatikan cara Allah berhubungan dengan mereka. Kita mendengar nabi-nabi mencela dengan terang-terangan akan penyembahan berhala dan melakukan penghakiman atas dosa. Kita melihat Orang dari Galilea melakukan mujizat, berdebat dengan orang Yahudi, mati bagi orang berdosa, bangkit dari kematian dan naik ke surga. Kita membaca surat-surat dari guru-guru Kristen yang ditujukan untuk melawan kesalahan-kesalahan menyolok yang sejauh kita ketahui sekarang tidak ada lagi. Semua itu sangat menarik tetapi nampaknya sangat jauh. Itu adalah bagian dari dunia dulu, bukan dunia sekarang. Kita merasa berada di luar dunia Alkitab, sebagai orang yang menjenguk ke dalamnya. Kita hanya penonton dan hanya itu. Pemikiran kita yang tak terkatakan adalah: Ya Allah melakukan segalanya, kemudian dan sangat mengagumkan bahwa orang-orang termasuk di dalamnya, tetapi bagaimana hal itu berhubungan dengan kita sekarang? Kita tidak hidup dalam dunia yang sama. Bagaimana catatan perkataan dan perbuatan Allah dalam zaman Alkitab, catatan hubungan Allah dengan Abraham, Musa, Daud dan sebagainya, menolong kita untuk hidup dalam zaman angkasa ini? Kita tidak dapat melihat bagaimana dua dunia ini digabungkan dan lagi-lagi kita menemukan bahwa kita merasa apa yang kita baca dalam Alkitab tidak mempunyai aplikasi bagi kita dan ketika sesering mereka gemetar dan takjub, perasaan tidak berada dengan mereka menekan kita.
Banyak pembaca Alkitab mengenal perasaan ini. Tidak semua tahu bagaimana menghadapinya. Beberapa orang Kristen pasrah, tetap memercayai catatan Alkitab, tapi tidak mencari atau mengharapkan bagi mereka sendiri suatu keintiman dan hubungan langsung dengan Allah sebagai yang diketahui oleh tokoh-tokoh Alkitab. Sikap sedemikian, terlalu biasa pada saat sekarang, merupakan efek dari pengakuan mengenai kegagalan untuk menembus masalah ini.
Tapi bagaimana perasaan terpencil dari pengalaman mengenai Allah yang alkitabiah dapat dikalahkan? Banyak hal dapat dikatakan. Tapi point yang penting adalah ini. Perasaan terpencil adalah ilusi yang lahir dari pencarian mata rantai antara situasi kita dengan beragam karakter Alkitab di tempat yang salah. Benar dalam pengertian ruang, waktu dan kebudayaan, mereka dan epos sejarah yang mereka miliki adalah sangat jauh dari kita.
Tetapi mata rantai antara mereka dan kita tidak ada pada level itu. Mata rantai itu adalah Allah sendiri. Karena Allah dengan siapa mereka harus berhubungan adalah Allah yang sama dengan Allah kita sekarang. Kita dapat mempertegas hal ini dengan mengatakan, pasti Allah yang sama; karena Allah tidak berubah dalam hal sekecil apapun. Terlihat dalam kebenaran yang di dalamnya kita harus tinggal, dengan tujuan untuk membuang perasaan bahwa ada lembah yang tidak terjembatani antara posisi orang-orang dalam zaman Alkitab dan zaman kita sekarang, yaitu kebenaran Allah yang tidak berubah.
Allah tidak berubah. Mari kita pikirkan.
1. Hidup Allah tidak berubah
Ia adalah dari kekekalan (Mazmur 93:2), “Raja Kekal” (Yeremia 10:10), “tidak rusak” (Roma 1:23), “tidak takluk kepada maut” (I Timotius 6:16). “Sebelum gunung-gunung dilahirkan dan bumi dan dunia diperanakkan, bahkan dari selama-lamanya sampai selama-lamanya Engkaulah Allah” (Mazmur 90:2). “Bumi dan langit, demikian kata pemazmur, “akan binasa tetapi Engkau tetap ada dan semuanya itu akan menjadi usang seperti pakaian, seperti jubah Engkau akan mengubah mereka dan mereka berubah. “Akulah yang awal," kata Allah, “Aku juga terakhir.” (Yesaya 48:12). Ciptaan mempunyai awal dan akhir, tetapi tidak demikian Pencipta mereka. Jawaban untuk pertanyaan anak kecil, “Siapa yang menciptakan Allah?” adalah sederhana bahwa Allah tidak perlu dibuat karena Ia selalu di sana. Ia ada untuk selama-lamanya dan Ia selalu sama. Ia tidak bertumbuh lebih tua. Hidupnya tidak bertambah atau menyusut. Tidak bertambah kuasa baru, ataupun kehilangan yang pernah dimiliki-Nya. Ia tidak menjadi dewasa atau berkembang. Ia tidak menjadi lebih kuat, atau lebih lemah atau lebih bijaksana dengan bertambahnya waktu. Ia tidak dapat berubah untuk yang lebih baik, tulis A. W. Piner. Karena Ia telah sempurna; dan menjadi sempurna. Ia tidak dapat berubah menjadi kurang baik. Perbedaan utama dan mendasar antara Pencipta dan makhluk ciptaanNya adalah mereka dapat berubah dan natur mereka mengalami perubahan, sementara Allah tidak berubah dan tidak pernah dapat berhenti untuk menjadi Dia, seperti yang disebutkan dalam hymn:
Kita berbunga dan tumbuh seperti dedaunan di pohon kemudian layu dan binasa namun tidak ada yang merubah Engkau Itulah Allah sendiri – hidup yang tanpa akhir (Ibrani 7:16).
2. Karakter Allah tidak berubah
Tegang atau shock atau leukomoni dapat merubah karakter manusia tetapi tidak ada yang dapat merubah karakter Allah. Dalam kehidupan manusia, rasa, penampilan dan temperamen dapat berubah secara radikal: seorang yang baik dan tidak banyak berubah, dapat berubah menakutkan dan cepat marah, seorang dengan kehendak baik dapat menjadi sinis dan ..... Tetapi tidak pernah hal ini terjadi dengan Pencipta kita. Ia tidak pernah kurang kebenaran atau belas kasihan, atau keadilan atau kebaikan seperti biasanya. Karakter Allah adalah sekarang dan akan selalu tepat seperti dalam zaman Alkitab.
Terbentuk dari hubungan ini pernyataan dua nama Allah dalam kitab Keluaran. Penyataan nama Allah adalah jelas, lebih dari sekadar label; sebuah penyataan apakah Ia dalam hubungan dengan manusia. Dalam Keluaran 3 kita membaca bagaimana Allah menyatakan nama-Nya kepada Musa sebagai “Aku adalah Aku” (ayat 14) – satu frase di mana Yahweh (Jehovah, TUHAN) di dalam bentuk yang dipersingkat (ayat 15). Nama ini bukan gambaran Allah tetapi sebagai deklarasi dari keberadaan-Nya dan kekekalanNya yang tidak berubah; mengingatkan umat manusia bahwa Ia mempunyai hidup dalam diri sendiri, dan bahwa apa Ia sekarang, Ia adalah kekal. Dalam Keluaran 34, kita membaca bagaimana Allah menyatakan nama TUHAN kepada Musa dengan menyatakan beragam sisi dari karakter kudus-Nya: penyayang dan pengasih, panjang sabar, berlimpah kasih-Nya dan setia-Nya, yang meneguhkan kasih setia-Nya kepada beribu- ribu orang, yang mengampuni kesalahan, pelanggaran dan dosa; tetapi tidaklah sekali-kali membebaskan orang yang bersalah dari hukuman, yang membalaskan kesalahan bapa kepada anak-anaknya....” Proklamasi ini melengkapi Keluaran 3 dengan mengatakan kepada kita siapa Yahweh sesungguhnya dan bahwa Keluaran 3 melengkapi dengan mengatakan kepada kita bahwa Allah adalah selama-lamanya sama seperti pada saat itu, 3000 tahun yang lalu, ketika Ia menyatakan kepada Musa siapakah Dia. Karakter moral Allah tidak berubah. Maka Yakobus, dalam bagian yang berhubungan dengan kebaikan dan kesucian Allah, kemurahan-Nya kepada manusia dan permusuhan kepada dosa, berbicara mengenai Allah yang pada-Nya tidak ada perubahan atau bayangan karena pertukaran.
3. Kebenaran Allah tidak berubah
Manusia kadang mengatakan hal-hal yang sebenarnya bukan yang mereka maksudkan, hanya karena mereka tidak tahu pikiran sendiri, juga karena pandangan mereka berubah, mereka sering menemukan bahwa mereka tidak dapat lebih lama berpijak pada hal-hal yang mereka lakukan pada masa lalu. Semua kita kadang harus menarik kembali kata-kata kita, karena mereka tidak lagi mengekspresikan apa yang kita pikirkan; kadang kita harus menelan kata-kata kita, karena fakta jelas menolaknya. Kata-kata manusia adalah hal-hal yang tidak bisa disandari. Tetapi tidak demikian dengan kata-kata Allah. Mereka teguh selama-lamanya, sebagai ekspresi sahih dan kekal dari pikiran Allah. Tidak ada situasi yang memaksa-Nya untuk menarik kembali kata-kataNya, tidak ada perubahan- perubahan dalam pemikiran-Nya sendiri yang menuntutNya untuk merubah mereka. Yesaya menuliskan, “... firman Allah kita tetap untuk selama-lamanya.” Hampir sama, pemazmur mengatakan, “Untuk selama-lamanya, ya TUHAN, firman-Mu tetap teguh di sorga.” (Mazmur 119:89,152). Kata yang diterjemahkan kebenaran dalam ayat terakhir mempunyai ide kestabilan. Oleh sebab itu ketika kita membaca Alkitab, kita harus ingat bahwa Allah tetap teguh dalam janji, tuntutan, pernyataan- pernyataan tujuan dan kata-kata peringatan, semua diperuntukkan kepada orang percaya Perjanjian Baru. Tidak ada sisa dari zaman yang sudah berlalu, tetapi suatu pernyataan sahih yang kekal dari pikiran Allah kepada umat-Nya dalam segala generasi, sejauh dunia ini berjalan. Seperti Tuhan sendiri berkata kepada kita, “Kitab Suci tidak bisa dibatalkan.” (Yohanes 10:35). Tidak ada yang dapat mengakhiri kebenaran Allah yang kekal.
4. Jalan-jalan Allah tidak pernah berubah
Ia terus menerus bertindak terhadap manusia yang berdosa dalam cara yang Ia lakukan dalam kisah-kisah Alkitab. Tetap Ia menunjukkan kebebasan dan KetuhananNya dengan mengadakan diskriminasi di antara orang berdosa, antara mereka yang dapat mendengar Injil dan sebagian yang tidak mendengarkan; menggerakkan sebagian yang mendengar untuk bertobat sementara yang lain tinggal dalam ketidakpercayaan; kemudian mengajar orang-orang kudus-Nya bahwa Ia tidak berhutang belas kasihan kepada siapapun, semua adalah anugerah-Nya. Tidak ada yang melalui usaha mereka sendiri sehingga mereka dapat menemukan hidup. Ia tetap memberkati mereka yang Ia kasihi dengan cara yang merendahkan mereka agar segala kemuliaan hanya untuk-Nya. Tetap Ia membenci dosa umat-Nya dan menggunakan segala macam penderitaan dari dalam dan dari luar dan kesengsaraan untuk menghentikan hati mereka dari kompromi dan ketidaktaatan. Tetap Ia mencari persekutuan umat-Nya dan mengirim penderitaan dan sukacita dengan tujuan memisahkan kasih mereka dari hal-hal lain dan mengarahkan hanya kepada-Nya. Tetap Ia mengajar orang percaya untuk menghargai janji-janji yang diberikan-Nya dengan membuat mereka menantikan janji-janji itu dan memaksa mereka untuk berdoa tanpa henti untuk janji-janji tersebut sebelum Ia mencurahkannya. Maka kita membaca Ia berhubungan dengan umat-Nya dalam catatan Alkitab dan Ia tetap berhubungan dengan mereka. Tujuan dan prinsip-prinsip tindakanNya tetap konsisten; Ia tidak satu kalipun bertindak di luar karakterNya. Jalan manusia, kita tahu, adalah tidak konsisten, tetapi tidak demikian dengan jalan Tuhan.
5. Tujuan Allah tidak berubah
Yang Kuat, Israel tidak akan berdusta atau menyesal” pernyataan Samuel, “karena Ia bukan manusia yang harus menyesal.” (1 Samuel 15:29). Bilangan 23:19, “Allah bukanlah manusia, sehingga Ia berdusta, bukan anak manusia sehingga Ia menyesal. Masakan Ia berfirman dan tidak melakukannya, atau berbicara dan tidak menepatinya?” Menyesal berarti memeriksa kembali penilaian seseorang dan merubah rencana tindakan. Allah tidak pernah melakukan hal ini; Ia tidak perlu melakukan hal itu karena rencana-rencanaNya dibuat pada basis pengetahuan yang sempurna dan mengontrol segala hal masa lalu, sekarang dan yang akan datang, sehingga tidak akan ada keperluan mendadak atau perkembangan yang tidak diketahuiNya. Satu dari dua hal menyebabkan manusia merubah pikirannya dan mengulang rencananya, membutuhkan pandangan ke depan untuk mencegah segala sesuatu atau kurang pandangan ke depan untuk melaksanakannya. Tetapi Allah adalah Mahatahu dan Mahakuasa sehingga tidak perlu bagi-Nya untuk memperbaiki ketetapanNya (A. W. Pink). Mazmur 33:11, “Tetapi rencana TUHAN tetap selama-lamanya, rancangan hatiNya turun temurun.” Apa yang Ia lakukan dalam waktu, Ia rencanakan dari kekekalan. Dan semua yang Ia rencanakan dalam kekekalan Ia bawa ke dalam waktu. Dan semua yang Ia miliki dalam kata-kata perjanjianNya Ia sendiri akan melakukan tanpa salah. Maka kita membaca mengenai ketidakberubahan dari kebijaksanaanNya yang membawa orang percaya kepada kepenuhan dalam menikmati warisan janji-janjiNya, ketidakberubahan sumpah yang Ia janjikan kepada Abraham, nenek moyang orang percaya, jaminan bagi Abraham dan milik kita juga. Ibrani 6:17, “Karena itu, untuk lebih meyakinkan mereka yang berhak menerima janji itu akan kepastian putusanNya, Allah telah mengikat diriNya dengan sumpah, supaya oleh dua kenyataan yang tidak berubah-ubah, tentang mana Allah tidak mungkin berdusta....” Maka demikian juga dengan pernyataan-pernyataan Allah lainnya. Mereka tidak berubah, tidak ada bagian dari rencana kekal-Nya yang berubah.
Memang ada sekelompok ayat Alkitab (Kejadian 6:6; 1 Samuel 15:11; 2 Samuel 24:16; Yunus 3:10; Yoel 2:13) yang berbicara mengenai Allah yang menyesal. Hubungan dalam tiap kasus adalah kebalikan dari tindakan Allah terdahulu kepada orang-orang khusus, konsekwen atas reaksi mereka terhadap perlakuan itu. Tetapi tidak ada sugesti bahwa reaksi ini tidak diketahui sebelumnya atau bahwa Allah dikejutkan dan tidak ada dalam rencana kekekalanNya. Tidak ada perubahan dalam tujuan kekal-Nya jelas dinyatakan ketika Ia mulai berhubungan dengan manusia dalam cara yang baru.
6. Anak Allah tidak berubah
Ibrani 13:8 dan sentuhanNya mengenai mempunyai kekuatan. Tetap benar bahwa Ia mampu untuk menyelamatkan mereka ke tempat tinggi yang datang kepada Allah melalui-Nya. Ibrani 7:25, “Karena itu Ia sanggup juga menyelamatkan dengan sempurna semua orang yang oleh Dia datang kepada Allah. Sebab Ia hidup senantiasa untuk menjadi Pengantara mereka.” Ia tidak pernah berubah. Fakta ini menjadi hiburan bagi umat Allah.
Sekarang di mana pengertian untuk jarak dan perbedaan antara orang percaya dalam zaman Alkitab dengan diri kita sendiri. Itu pengecualian. Atas dasar apa? Atas dasar bahwa Allah tidak berubah. Persekutuan dengan-Nya, memercayai firman-Nya, hidup dengan iman, berdiri atas dasar janji Tuhan, pada intinya adalah realita yang sama bagi kita sekarang seperti bagi mereka yang berada dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Pemikiran ini memberikan penghiburan ketika kita menghadapi kekuatiran tiap-tiap hari; meskipun begitu banyak perubahan dan ketidakpastian hidup di zaman nuklir ini, Allah dan Kristus tetap sama – Mahakuasa untuk menyelamatkan. Tetapi konsep ini membawa kepada sebuah tantangan juga. Jika Allah kita sama seperti Allah dari orang percaya Perjanjian Baru, bagaimana kita dapat membenarkan diri sendiri dalam kepuasan dengan pengalaman persekutuan denganNya, dan dalam tingkatan pimpinan Kristen, akan mereka yang jatuh sedemikian jauhnya? Jika Allah tetap sama, ini bukan suatu masalah yang dapat kita hindari.