Kamis, 21 Agustus 2008

Berdoa Bersama Anak-Anak

Keluarga Kristen terbentuk dan berdiri di atas satu-satunya dasar, yaitu Yesus Kristus. Sumber nilai keluarga Kristen adalah Firman Allah. Firman itu harus ditanam di dalam rumah tangga. Nilai itu ibarat benih, dan benih itu adalah Firman.(Prof. Taliziduhu Ndraha)

Rumah nikah kita sudah dibangun oleh Tuhan (Maz 127-128). Salah satu cara kita membiarkan Tuhan memelihara rumah nikah ini adalah dengan menjadikan Tuhan sebagai pusat keluarga kita (Ulangan 6:4-9) dan menjadikan keluarga sebagai pusat kehidupan kita sehari-hari.

Setiap kegiatan kita hendaknya berpusat pada keluarga. Semua suami (laki-laki) bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga (isteri dan anak-anak). Tetapi di balik usaha kerasnya dia tidak melupakan peran (tugas)-nya sebagai ayah bagi anak-anaknya dan suami bagi istrinya. Demikian juga para istri. Mungkin bos kita di kantor tidak mau kehilangan kita sebagai manajer pemasaran yang handal atau sekretaris yang cekatan. Apapun diberikan asal kita tidak keluar dari pekerjaan. Jangan lupa, itu dilakukannya demi perusahaannya, bukan demi keluarga kita.

Memulai Persekutuan Keluarga

Ibadah keluarga adalah salah satu cara mendidik anak-anak mengenal firman Tuhan. Itu kita tahu, tapi tidak mudah melaksanakannya. Tapi kalau kita menyadari dampaknya bagi keturunan kita kelak, kita akan terus berusaha melakukannya. Orangtua saya (Wita) sudah memulai persekutuan dalam keluarga kami ketika kami masih kecil. Sekarang itu menjadi modal saya untuk keluarga saya sendiri. Saya berharap, anak-anak saya meneruskannya untuk keturunan saya.

Suatu hal penting yang tidak boleh dilupakan oleh orangtua dalam mendidik anak adalah membangun persekutuan keluarga - suasana rohani dalam keluarga. Tetapi, memulai sesuatu yang baru tidaklah mudah. Diperlukan komitmen yang teguh antara ayah dan ibu. Saya ingin menceriterakan pengalaman dalam keluarga saya. Orangtua saya memulai ibadah keluarga saat saya berusia 7, di tahun 1969. Saat itu saya punya lima adik, terkecil baru 7 bulan. Saya ingat, ibadah keluarga kami dimulai ketika ibu mengalami perubahan secara spiritual (dikenal dengan istilah lahir baru). Perilakunya berubah drastis. Ini mempengaruhi ayah saya, yang selama kami tinggal di Malang (dari 1963), tidak pernah ke gereja. Sejak itu kami makan malam bersama pukul 6, kemudian kebaktian. Kami beruntung, karena saat itu kami tidak punya TV, jadi TV tidak menjadi
halangan.

Acara-nya sederhana saja. Mulai dengan menyanyi. Waktu saya SMP, saya dan seorang adik saya main gitar, adik yang lain main organ. Papa seringkali menyanyi dengan suara bas. Tiap malam kami bernyanyi (itu saat-saat terindah yang saya ingat dalam hidup saya bersama orangtua saya). Kalau tidak bisa main musik, kami tepuk tangan. Kalau anak-anak masih kecil, pakai gerakan tubuh atau tangan.

Sesudah menyanyi, papa/mama atau salah seorang anak, membuka ibadah dengan doa syukur. Pendek saja, nanti ada yang menggerutu kalau kepanjangan. Setelah itu, boleh menyanyi atau langsung membaca Alkitab. Jika anak-anak masih kecil, setelah membaca Alkitab kita membuat cerita aplikasi, sehingga anak-anak mengerti nilai Kristiani yang terkandung dalam bacaan tersebut. Tetapi kalau anak-anak sudah cukup besar, tanyakan pada mereka ayat mana yang paling berkesan, mengapa.

Apakah ada ayat yang menegur Saudara (ayah/ibu) atau anak-anak dalam bacaan itu? Apakah ada kelakuan yang perlu diubah? Apakah iman dan pengenalan kita kepada Allah Tritunggal dikuatkan melalui bacaan tersebut? Cobalah diskusikan dengan singkat. Terakhir, doakanlah hal-hal yang sudah dibahas tadi; agar Tuhan menguatkan kita menjalani kehidupan baru hari ini (kalau ibadah pagi) atau besok (ibadah malam). Ibadah keluarga kami biasanya diakhiri dengan menyanyi bersama.

Papa saya menambahkan satu acara lagi dalam kebaktian keluarga kami, saat kami memasuki masa remaja. Yaitu: dia selalu menanyakan kegiatan apa yang akan kami lakukan besok sepanjang hari. Kami tujuh bersaudara. Jadi satu-satu ditanyakan, termasuk pukul berapa pulang, kalau pergi dengan siapa. Kepada kami ditanyakan juga apakah ada masalah dengan pelajaran, uang, teman, buku-buku, kendaraan (setelah kami bisa dapat SIM, papa berusaha memberikan mobil untuk sekolah/kuliah), dsb.

Sekarang saya mengerti bahwa melalui tanya-jawab itu papa sedang melatih kami untuk merencanakan kegiatan esok hari. Kebiasaan itu mendarah daging, karena dilakukan selama lebih dari limabelas tahun. Kemudian saya meninggalkan rumah untuk menikah.Sekarang saya sudah berkeluarga dengan dua anak. Waktu anak-anak kami belum sekolah, kami kebaktian keluarga pagi hari. Setelah anak-anak sekolah, kami kebaktian sore hari (sehabis makan malam) - karena pagi hari saya sibuk menyiapkan anak-anak sekolah. Jadi, soal waktu, kita sediakan waktu yang paling memungkinkan bagi seluruh anggota keluarga.

Awalnya tidak perlu lama; apalagi kalau anak-anak masih kecil. Mereka perlu dilatih, didorong; tapi jangan dipaksa. Nanti mereka bisa tidak suka kebaktian. Saat ini kami membaca Alkitab berurutan dari Matius, sekarang sampai di Markus 15, sehari satu perikop. Sebelumnya kami pernah membaca berurutan Pengkotbah dan Amsal, juga Mazmur.

Nah, yang penting lagi, orangtua memberi waktu membacakan atau menceritakan
kisah-kisah Alkitab kepada anak-anaknya. Ayah atau ibu yang pernah mengajar sekolah
minggu, tentu bisa menyiapkan cerita-cerita praktis yang berkaitan dengan perikop yang kita baca. Saya seringkali memikirkan cerita-cerita rakyat atau dongeng yang berkaitan dengan firman Tuhan atau yang saya akan ceritakan kepada anak-anak, saat saya di salon, sambil memasak atau menyetir mobil.

Sekarang ini, anak-anak saya sangat suka lagu-lagu himne. Bukan hanya suka, mereka pun menghafalkannya. Kalau kami ke luar kota atau melakukan perjalanan jauh, lagu-lagu itulah yang berkumandang sepanjang jalan.

Beberapa percakapan dalam ibadah

Beberapa waktu lalu saat persekutuan keluarga, anak sulung saya bertanya, “Mengapa Tuhan menentukan bangsa Israel sebagai bangsa pilihan-Nya?”

Kami sedang mempelajari Kitab Keluaran. Kemarin tiba di Keluaran 15 yang berisi puji-pujian umat Israel karena Tuhan sudah melepaskan mereka dari bangsa Mesir. Pada bagian akhir ada cerita tentang bagaimana Tuhan mengabulkan sungut-sungut bangsa ini. Tuhan memberikan air yang baik untuk mereka di Mara.

Saya memperhatikan wajah Josephus, mencari tahu apa yang ingin dia sampaikan lewat kalimat itu. Saya bilang, ”Kita tidak tahu alasan Tuhan memilih. Ini adalah kedaulatan Tuhan. Dia bisa pilih siapa saja. Sekarang ini, pemilihan Tuhan meluas. Tuhan juga memilih kamu, Moze, papa dan mama menjadi umat-Nya. Tahukah kamu mengapa Tuhan memilih kita, dan orang lain tidak?”

Hal ini sudah berkali-kali mereka tanyakan dalam berbagai kesempatan. Saya mengingatkan dia kembali percakapan kami bulan-bulan lalu. ”Memang tidak gampang menjadi orang pilihan Allah. Karena kita tidak bisa sembarangan hidup. Itu sebabnya umat Israel berkali-kali diajar dan dihajar Tuhan agar mereka tetap konsisten sebagai umat pilihan.”

Jo menarik nafas panjang. ”Mengapa?” tanya saya, ”apakah itu sulit?”

Dia mengangguk. ”Kalau kamu disuruh pilih: menjadi umat Allah atau tidak, apa pilihanmu?”

Jo terdiam, lalu menjawab, ”Aku mau jadi umat pilihan.”

”Walaupun ada konsekuensinya?” Jo mengangguk lagi.

Melalui percakapan tadi malam saya mengerti isi hati anak saya. Tetapi saya tahu, itu tidak akan mudah. Tugas kami sebagai orangtua-lah untuk terus-menerus menanamkan nilai-nilai dan pola hidup Kristiani dalam hati anak-anak kami. Josephus dan Moze memerlukan bantuan kami untuk mengingatkan mereka berulang kali apabila kami sedang duduk di dalam rumah, apabila kami sedang dalam perjalanan, apabila kami berbaring dan apabila kami bangun.

Berbicara Positif

Ini adalah hal yang kami lihat perlu dibangun dalam keluarga kami. Anak-anak sudah lebih besar. Sebagaimana anak pada umumnya, mereka juga sering berbantah atau memperebutkan sesuatu. Kadang-kadang keluar kalimat yang meremehkan yang lain, mempersalahkan, bahkan dengan kalimat yang kurang baik.

Di awal tahun 2008 ini pembacaan Alkitab kami tiba di surat-surat Paulus. Sekolah Moze menjadikan Efesus 5:8 sebagai tema tahunan. Waktu tiba di perikop tersebut, Moze menceriterakan pemahamannya. Apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan anak-anak terang.

Filipi 4 ayat 8 kami baca beberapa hari kemudian: Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu.

Ayat ini mengingatkan kami untuk memelihara lidah dan pikiran. Saya mengusulkan agar kami membuat ”resolusi tahun baru” dengan berusaha berbicara positif setiap saat.

”Mama ingat kalimat yang mama baca di buku Little House on The Prairie saat mama masih seusia kalian,” kata saya. Suatu kali Pak Ingals mengingatkan Laura, ”Kalau kita tidak bisa berbicara hal yang baik tentang seseorang, lebih baik kita tidak usah bicara.”

Kalimat itu sungguh berbicara dalam hati saya ketika itu. Maka saya kembali mengingatkan hal itu dalam suatu acara ibadah keluarga kami. Anak-anak senyum-senyum. Walaupun tidak menjawab dengan tegas, nampaknya mereka tidak keberatan atas usul ”resolusi tahun baru” yang saya sampaikan. Maka sejak itu, tiap kali ada yang bicara kurang baik mengenai seseorang atau bicara dengan cara yang buruk, salah seorang dari kami akan mengingatkan.

Tadi pagi anak-anak seperti malas ke sekolah. Mereka sudah mandi, makan dan bersiap. Kami baru selesai berdoa pagi, tapi mereka tidak beranjak juga. Ini adalah hari Senin. Bagi kebanyakan orang mungkin Senin adalah hari yang ”kurang memberi semangat” karena baru saja libur sehari sebelumnya.

Jadi, saya berucap, ”Lho, kok kelihatannnya pada malas sekolah, nih?”

Naaahhh, Mama berbicara negatif, ya,” kata Moze. Semua tertawa.

Sorry,” jawab saya, ”mama telanjur. Maksud mama, ayo semangat dong!”

Lama kelamaan, kami menjadikan kesepakatan ini sebagai gurauan yang harus dilaksanakan dengan sungguh-sungguh. Kami berharap kami berhasil. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar